Kaledupa, Degup Konservasi di Pusat Bumi Kepulauan Tukang Besi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 13 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Tandaki nan rancak dan mewah. Fakhrudin, pembawa bendera Alfarisi pasukan Tambura di Barata Kahedupa, Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Ia mengikuti takdirnya sebagai Natombi atau pembawa bendera seperti leluhurnya. Pasukan Tamburu kerap ditampilkan sebagai penyambutan tamu di Kamali, sebutan untuk istana raja Kaledupa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sabanjara, penjaga ekologi pesisir Kaledupa

Bagaimana masyarakat adat mengawasi pesisir mereka? Saya menjumpai Jawarudin, Miantu'u Sabanjara untuk wilayah barat Kaledupa, yang menjabat selama dua tahun belakangan. Sebutan sabanjara tampaknya terdengar lekat dengan syahbandar yang dipengaruhi bahasa Parsi. Saya pikir bukan kebetulan bila kedua jabatan itu berkait soal pengaturan di laut dan pesisir atau pelabuhan.

Pun, ia juga mengungkapkan bahwa tradisi sunat bagi laki-laki untuk pertama kalinya dilakukan oleh Muhammad Umar Muhadar, salah seorang pedagang asal Persia yang singgah di Kaledupa pada abad ke-13. "Yang di sini turunan Ali, yang di Jawa Habaib itu turunan Husein," ujarnya.

Orang-orang Persia memang menjadi bagian sejarah dari perdagangan rempah dunia. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, mereka menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk kepulauan kita, melalui jalur rempah. Orang Persia umumnya memandang keturunan Ali sebagai pemimpin spiritual yang sah. Hal inilah yang memperkuat hubungan antara keturunan Ali dan orang Persia dalam penyebaran Islam.

Tugas Miantu'u Sabanjara yang diamanatkan kepada Jawarudin meliputi pengawasan wilayah laut, pesisir atau pantai. Sehari-hari ia dibantu oleh Talangkera yang bertugas di darat dan laut. Ketika dalam pengelolaan itu ditemuklan pelanggaran-pelanggaran oleh masyarakat hukum adat, maka Talangkera akan melaporkan ke Sabanjara.

Pemerintahan adat Barata Kahedupa memiliki etika ekologi sehingga warga tidak diperkenankan melakukan kegiatan perusakan atau pengambilan sumber daya alam. Jawaruddin memberikan contoh secara umum aktivitas yang melanggar etika ekologi pada masa silam seperti merusak karang, mengambil pasir, menebang mangrove, sampai membius ikan di kawasan perairan adat.

Warga setempat memiliki sebutan namo untuk padang lamun di perairan pesisir, yang dipahami sebagai tempat bertelur ikan. Pemerintahan adat pun melindungi padang lamun itu melalui aturan adat namonusara. "Ketika ada pelanggaran-pelanggaran masyarakat adat, maka disitulah dikenakan sanksi adat," ujarnya. 

"Jenis-jenis spesies yang sudah langka itu tetap kita lindungi, misalnya kepiting betina—kepiting bakau betina itu jangan ditangkap," kata Jawarudin. Kepiting betina yang sedang bertelur berperan penting dalam regenerasi populasi kepiting sehingga "tidak bisa berkembang lagi lebih banyak bila betinanya diambil."

Nautilus di rumah warga Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Satwa ini dianggap sebagai fosil hidup karena telah menghuni Bumi selama lebih dari 500 juta tahun, jauh sebelum dinosaurus. Habitatnya di perairan tropis dengan suhu hangat, seperti Asia Tenggara dan Australia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Masyarakat adat di sini menerapkan sanksi-sanksi adat bagi para pelanggar aturan mereka. "Apabila ada pelanggaran itu dikenakan sanksi adat," ujar Jawarudin. "Pertama berupa teguran. Tiga kali berturut-turut  baru itu dikenakan sanksi adat boka." Besarannya tergantung tingkat pelanggaran, yang disesuaikan dengan nilai uang, misal per boka sama dengan Rp60.000. 

Mereka juga memiliki aturan pengambilan ikan, yang diatur dalam periode enam bulan dan lokasinya bisa berpindah-pindah, ungkapnya. Aturan itu disebut banto, yakni menutup akses pengambilan sumber daya laut selama periode tertentu. Sebaliknya, leka, yakni membuka akses pengambilan sumber daya laut dalam waktu tertentu. "Banto itu ditutup sebentar pada bulan-bulan tertentu, sehingga pindah di kawasan lain," ujar Jawarudin. "Wilayah-wilayah itu sudah ada sejak nenek moyang sampai hari ini."

Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya