Kedua, perempuan sering tidak dapat hadir dalam latihan penyelamatan diri dari kondisi bencana alam. Hal itu terjadi karena konstruksi nilai budaya di mana perempuan fokus pada urusan domestik sehingga jarang bisa keluar rumah untuk mengikuti pelatihan.
Ketiga, ketidakhadiran perempuan dalam pendidikan bencana membuat pengetahuan mereka terkait pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi minim. Pengetahuan yang terbatas soal teknik penyelamatan diri membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban bencana alam.
Keempat, ada faktor memudarnya pengetahuan lokal dalam masyarakat tentang pengenalan gejala awal bencana alam. Dan perempuan sebagai kelompok dengan akses yang minim terhadap penyebaran pengetahuan menjadi rentan.
Pengetahuan lokal yang dimaksud adalah pengetahuan dari leluhur untuk melihat perubahan alam yang bisa menandakan terjadinya bencana alam. Misalnya di Papua Nugini, masyarakat belajar ‘membaca’ awan. Apabila awan itu mengalami perubahan tekstur, warna, arah, kecepatan berpindah, maka hal tersebut dapat dibaca sebagai potensi badai.
Baca Juga : Studi: Kelinci Jadi Lebih Besar dan Kuat Jika Memakan Fesesnya Sendiri
Dalam seminar di UI juga diungkapkan bagaimana masyarakat di Bali bisa mengetahui pertanda gunung meletus dari gerombolan binatang yang turun dari hutan di gunung.
Pengetahuan tentang menjaga alam dan membaca gejala alam inilah yang sudah semakin tidak dipahami lagi oleh sebagian besar masyarakat kita terutama yang tinggal di perkotaan.
Solusi yang ditawarkan
Salah satu solusi yang ditawarkan dalam seminar tersebut adalah memberikan pendidikan kewaspadaan terhadap bencana. Tentu saja yang mudah diakses oleh perempuan.
Salah satu ahli manajemen bencana alam yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut, Eko Teguh Paripurno, mengatakan bahwa pengetahuan lokal tentang bencana itu sangat penting. Pengetahuan lokal tentang bencana adalah seperangkat informasi yang diturunkan dari generasi ke generasi tentang cara membaca gejala alam. Terjadinya gejala tertentu pada alam diwaspadai sebagai pertanda akan terjadi bencana.
Antropolog dari Universitas Indonesia Mia Siscawati menjelaskan bahwa perempuan sering tidak dapat hadir pada penyuluhan oleh pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentang bencana karena harus mengurusi anak dan rumah.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR