Nationalgeographic.co.id - “Saya hendak memperbaiki segala keburukan akibat kekhilafan masa muda saya dan untuk membayar utang saya,” ungkap David van Lennep kala berjejak di Batavia pada akhir abad ke-18.
Kota itu awalnya sebuah kastel kecil di muara Ciliwung pada awal abad ke-17, dan berkembang menjadi kota perdagangan terbesar di Asia Tenggara, sekaligus permukiman orang-orang Eropa. Di sinilah Vereenigde Oost-Indische Compagnie —maskapai dagang Belanda di Hindia Timur—membangun markas besarnya.
Lennep bukan petinggi kompeni yang kaya, dia hanyalah seorang pegawai pada Mahkamah Pengadilan. Lantaran dera utang yang menggunung dan tak kunjung lunas, Lennep bercita-cita menikahi seorang janda kaya di kota ini.
Baca Juga : Peristiwa Sejarah Bertepatan dengan Perubahan Iklim, Saling Berkaitan?
Lennep menikahi sang janda kaya karena terangsang oleh hukum perkawinan Kota Batavia. Peraturannya mengatakan, semua harta milik istri—baik usaha sendiri maupun warisan—serta merta menjadi milik suaminya.
Bagi para lelaki yang menjadi pegawai kompeni di Batavia, seperti Lennep, perkawinan merupakan bagian dari menanam modal yang kelak mendatangkan keuntungan materi.
"Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis."
Janda-janda muda lebih menawarkan kemungkinan yang lebih menarik untuk menumpuk kekayaan—atau setidaknya untuk hidup berkelimpahan. Para lelaki muda menilai mereka lebih matang dan punya tingkatan lebih tinggi, apalagi jika janda itu telah berkali-kali menikah, ketimbang gadis-gadis remaja kalangan elite di Batavia.
Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis. Barangkali salah satu alasannya, rata-rata perempuan di Batavia mempunyai kecenderungan berusia lebih panjang ketimbang suami mereka. Lagipula, pada kenyataannya bagaikan suratan nasib: Hanya sekitar sepertiga lelaki pegawai kompeni yang bisa menjejakkan kembali ke tanah kelahiran.
Para nyonya punya keleluasaan berbisnis, lantaran para suami mereka yang bekerja sebagai pegawai VOC dilarang melakukan perdagangan pribadi. Peraturan ini diberlakukan sangat ketat sehingga para nyonya memainkan peranan penting dalam kiprah menimbun kekayaan. Mereka, nyonya-nyonya besar, terlibat langsung dalam jaringan bisnis dagang pribadi. Bahkan, tak sedikit yang menjadi makelar wisma mewah, sampai sebagai rentenir yang meminjamkan uang kepada orang-orang Cina di Batavia.
Salah satu dari sekian kisah perempuan yang telah menikah beberapa kali dan sukses menjadi orang kaya adalah Maria van Aelst, janda yang ditinggal mati para suaminya.
Banyaknya lelaki peminat janda di Batavia telah melahirkan sebuah pemeo lawas: Jika perempuan itu merupakan janda seorang kaya, dia pun segera menghadapi sejumlah peminang—segera setelah suaminya dimakamkan.
Suami pertamanya Johan Libener, seorang pedagang senior di Batavia pada 1622. Suami keduanya Bartholomeus Cunst, warga terkemuka dan pengurus panti asuhan. Kemudian pada 1630, Anthony van Diemen, seorang Dewan Hindia yang kelak menjadi Gubernur Jenderal VOC, menikahi janda Maria itu.
Meski menjanda, Maria tetap berada di Batavia karena VOC memberikan tunjangan hidup kepada para janda sampai mereka pulang ke Belanda atau menikah lagi. Hindia Timur telah menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para perempuan ketimbang harus pulang kampung. Di Batavia abad ke-17, para perempuan berpeluang meninggikan kedudukan sosial mereka atau meningkat ke kelas pendapatan yang lebih tinggi—kaya raya.
“Mereka memanfaatkan kemauan baik dari suami mereka sehingga menyalahgunakan karunia yang diterimanya.”
Maria pun bergaya hidup mewah dan bagian dari masyarakat perempuan sosialita Batavia. Dia mendapat kesempatan menikmati wisma gubernur jenderal tinggalan suaminya dan diizinkan pulang ke Belanda dengan membawa semua peralatan rumah tangganya dalam jumlah yang besar.
“Mereka memanfaatkan kemauan baik dari suami mereka sehingga menyalahgunakan karunia yang diterimanya,” ungkap Jean Baptiste Tavernier, seorang pedagang batu permata dan pelancong asal Prancis yang singgah di Batavia pada abad ke-17. Mereka “mendorong suami-suami melakukan kejahatan besar dengan berkedok nama baik suami mereka.”
Sejumlah sejarawan memberikan berbagai label tentang perempuan Batavia. Ada yang menyebut mereka adalah perempuan bodoh dan pemalas, unsur kemegahan kota, hingga bagian dari peradaban indis di Hindia Belanda.
Baca Juga : Tanpa Sengaja, Ditemukan Tabel Periodik Kimia Tertua Berusia 140 Tahun
Apakah janda-janda muda di Batavia mudah begitu saja dipinang?
Belakangan berkas surat Lennep mengisahkan, tampaknya sang janda menyadari akal bulusnya sehingga perempuan itu menepis lamarannya. Dan, lelaki itu harus rela melanjutkan hidup dengan segunung utangnya.
“Sesungguhnya saya bermaksud berkorban untuk mencapai tujuan tersebut,” ungkap Lennep. “Namun, jahat kiranya untuk mengorbankan sesama manusia, dan terlebih jahat lagi menipu atau menghancurkan seorang perempuan yang sudah bersedia membagi nasib gemilangnya itu dengan diri saya.”
(Mahandis Yoanata Thamrin. Sumber:Leonard Blusse, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and Dutch in VOC Batavia; Jean Gelman Taylor, The Social World of Batavia: Europeans and Eurasians in Colonial Indonesia)
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR