Nationalgeographic.co.id - Kehidupan yang tidak ditelaah tidak layak dijalani, filsuf Yunani Socrates berkata. Dia merenungkan ungkapan “Kenali Dirimu Sendiri"–sebuah pepatah yang tertulis di kuil Apollo di Delphi dan salah satu pencapaian tertinggi di Yunani kuno.
Saat kita menjalani hidup dengan berbagai kesuksesan dan kegagalan di dalamnya, tak jarang muncul perasaan yang mengganggu: bahwa kita tidak benar-benar mengenal diri kita sendiri.
Mengapa kita punya perilaku yang khas dan merasakan hal-hal yang kita rasakan? Kita mungkin punya ide tentang siapa kita, tapi pemahaman kita tentang diri sendiri seringkali tidak lengkap dan tidak konsisten.
Apakah mengenali diri adalah sesuatu yang harus kita upayakan atau apakah kita lebih baik hidup dalam ketidaktahuan yang menenangkan? Mari kita periksa riset-riset mengenai hal ini.
Baca Juga : Sebelum Semakin Terjebak, Kenali Ciri Krisis Identitas Berikut
Mengenal diri sendiri menurut psikolog berarti memiliki pemahaman tentang perasaan, motivasi, pola pikir, dan kecenderungan kita. Hal-hal tersebut memberikan pemahaman yang stabil mengenai harga diri kita dan nilai-nilai serta motivasi kita. Tanpa pemahaman ini kita tidak dapat mengukur nilai kita sendiri.
Hal ini membuat kita rentan untuk menerima opini orang lain tentang kita sebagai sebuah kebenaran. Jika rekan kerja kita berpendapat (dan bertindak seolah-olah) kita tidak berharga, kita mungkin menelan mentah-mentah vonis mereka sebagai suatu kebenaran. Untuk tahu apa yang seharusnya kita rasakan, pikirkan, dan inginkan, kita akan lebih mencari keluar daripada melihat ke dalam diri sendiri.
Kemampuan mengenali diri merupakan keuntungan. Rasa sedih yang kita alami, misalnya, bisa jadi diakibatkan oleh berita buruk, tapi bisa juga disebabkan oleh kecenderungan untuk merasa sedih akibat trauma masa kecil atau bahkan akibat bakteri di usus kita.
Mengenali emosi dapat membantu kita melakukan intervensi setelah merasakan perasaan tertentu dan sebelum melakukan tindakan reaktif–mengetahui emosi Anda adalah langkah pertama untuk mengendalikannya dan menghancurkan pola pikir negatif. Memahami emosi dan pola pikir juga dapat membantu kita untuk berempati pada orang lain.
Kesadaran diri juga memungkinkan kita untuk mengambil keputusan yang lebih baik. Dalam suatu riset, para siswa yang mendapat skor tinggi dalam "kesadaran metakognitif”, yaitu kemampuan untuk melakukan refleksi atas pikiran, perasaan, sikap dan keyakinan pribadi–cenderung membuat keputusan yang lebih efektif ketika mereka memainkan game komputer di mana mereka harus mendiagnosis dan merawat pasien virtual untuk menyembuhkan mereka. Para peneliti studi tersebut berpendapat bahwa hal ini terjadi karena anak-anak tersebut dapat menetapkan tujuan dengan lebih jelas dan mengambil tindakan yang strategis.
Jadi bagaimana cara kita bisa belajar mengenali perasaan kita? Orang-orang memiliki cara berpikir yang berbeda-beda tentang diri mereka sendiri. Kita dapat berpikir tentang sejarah kita, dan bagaimana pengalaman masa lalu menjadikan siapa kita sekarang. Tapi kita juga bisa terus menerus mempermasalahkan skenario-skenario negatif yang terjadi di masa lalu atau yang kita bayangkan akan terjadi di masa depan.
Beberapa cara kita berpikir soal diri sendiri lebih baik bagi daripada yang lain. Sayangnya, banyak dari kita cenderung merenungkan hal negatif dan khawatir berlebihan. Artinya, kita fokus pada ketakutan dan kekurangan kita, dan akibatnya kita menjadi cemas atau tertekan.
Cara terbaik untuk memulai mengenali diri sendiri adalah berbicara dengan teman berwawasan atau terapis terlatih. Pilihan yang kedua ini sangat penting dalam kasus-kasus saat kurangnya pengetahuan diri telah mengganggu kesehatan mental kita. Membahasakan perasaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan dapat membantu kita memahami siapa diri kita. Membaca tentang cara-cara berpikir yang baik juga dapat membantu kita menavigasi kehidupan kita dengan lebih baik.
Selain itu, terdapat beberapa tradisi dalam sejarah yang telah mempelajari cara-cara mengenal diri. Filsafat Stoisisme dan tradisi Buddha menjunjung pengetahuan diri dan mengembangkan praktik-praktik–contohnya–meditasi–untuk memelihara kesadaran mengenai kondisi-kondisi mental.
Saat ini, mindfulness meditation–latihan mental yang melibatkan pemusatan pikiran pada pengalaman seperti emosi, pikiran, dan sensasi atas diri, tubuh dan dunia sekitar yang sedang dirasakan–menjadi sebuah daya tarik dalam bidang psikologi, kedokteran, dan ilmu saraf. Latihan meditasi dan pengaturan emosi dapat mengurangi perasaan negatif dan kecemasan.
Pelatihan ini juga dapat meningkatkan emosi positif, menambah kemampuan mengenali emosi orang lain, serta melindungi kita dari tekanan sosial. Terapi yang mengintegrasikan perhatian penuh atas diri tersebut telah terbukti andal dalam membantu meningkatkan kesehatan mental, khususnya dalam kasus depresi, stres, dan kecemasan.
Bayangkan Anda duduk di tepi jalanan yang padat, dengan kendaraan yang berlalu-lalang merepresentasikan pikiran dan perasaan Anda. Dengan hanya duduk sebentar dan mengamati pikiran dan perasaan kita dari kejauhan, sebagaimana saat kita duduk di pinggir jalan dan menonton mobil lewat, kita bisa mengenal diri kita lebih baik. Hal tersebut membantu kita melatih keterampilan untuk tidak memikirkan masa lalu atau masa depan, dan berada di masa sekarang.
Baca Juga : Kasus Siswa Menantang Guru di Gresik, Mengapa Aksi Ini Bisa Terjadi?
Kita dapat belajar mengenali perasaan yang dipicu oleh peristiwa dan emosi tertentu dalam diri kita saat ini, dan menciptakan ruang berpikir di mana kita dapat memutuskan bagaimana kita harus bertindak (karena beberapa respons lebih konstruktif daripada yang lain).
Bayangkan, misalnya, Anda memiliki rencana untuk pergi bersepeda bersama seorang teman besok dan Anda sangat menantikan hal ini. Di pagi hari, teman Anda membatalkan rencana tersebut. Pada sore harinya, seorang kolega meminta bantuan pada Anda karena suatu masalah, dan Anda merasa jengkel dan membentaknya dan menyatakan Anda tidak punya waktu untuk membantu dia.
Mungkin Anda merasa kesal dengan kolega itu, tapi alasan sebenarnya adalah bahwa Anda merasa kecewa dengan teman Anda, dan Anda sekarang merasa bahwa Anda mungkin tidak penting bagi mereka selayaknya mereka penting bagi Anda. Jika kita lebih memahami diri kita sendiri, kita mungkin memiliki kesempatan untuk berhenti sejenak dan menyadari mengapa kita merasakan apa yang kita rasakan. Daripada marah-marah pada kolega kita, kita kemudian dapat menyadari bahwa kita bereaksi berlebihan atau setidaknya dapat mengidentifikasi apakah ada masalah dalam hubungan kita dengan teman kita.
Sangat menarik bahwa hampir 2.500 tahun sejak pembangunan kuil Apollo, pencarian untuk mengenal diri kita sendiri masih sama pentingnya.
Artikel ini diterjemahan dari bahasa Inggris oleh Ariza Muthia.
Penulis: Niia Nikolova, Postdoctoral Researcher of Psychology, University of Strathclyde
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR