Nationalgeographic.co.id - Lahan Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Kolok Bengkala binaan PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai di Desa Bengkala, Buleleng, Bali, memiliki luas sekitar 3 hektare. Lahan ini milik keluarga I Wayan Sandi, salah satu orang tuli-bisu (atau kolok dalam bahasa Bali) di Bengkala. Sejak 2015, KEM Kolok Bengkala bekerja sama dengan FlipMas Indonesia dan FlipMas Ngayah Bali hadir untuk membantu masyarakat Bengkala, baik kolok ataupun nonkolok, meningkatkan kualitas hidup melalui program edukasi dan ekonomi.
“Masyarakat kolok di sini sebetulnya senang bekerja. Animo kerjanya tinggi, sehingga kolok di Bengkala tidak ada yang bermalas-malasan. Kalau ada peluang kerja, ya, mereka kerja. Maka, kalau ada kegiatan padat karya yang ada di desa, seperti yang ada di KEM, selalu ikut serta mereka,” cerita I Made Arpana, Kepala Desa Dinas Bengkala.
KEM itu sendiri terdiri dari tiga zonasi yang mengacu pada filosofi Bali, Tri Hita Karana. Zona pertama adalah zona parahyangan diperuntukkan bagi lahan peribadatan dan pertamanan. Zona kedua adalah zona pawongan untuk bangunan-bangunan, seperti rumah kolok, wantilan, dapur, kamar mandi, sampai balai kerajinan yang biasanya digunakan untuk menenun. Zona terakhir adalah zona pelemahan diperuntukkan bagi area peternakan, pertanian, dan perkebunan.
Baca Juga : Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi Sejak Zaman Tarumanegara
National Geographic Indonesia datang ke Desa Bengkala di bulan Oktober. Menurut masyarakat setempat, Desa Bengkala sudah tidak hujan sejak April. Akibatnya, tanah menjadi gersang dan berdebu, lahan tidak bisa ditanami sayur-mayur karena terlalu cuaca terlalu panas, dan banyak pepohonan mati. Namun, kemarau panjang tidak serta-merta menghentikan aktivitas di KEM Kolok Bengkala.
Masyarakat kolok di Desa Bengkala berjumlah lebih dari 2% keseluruhan penduduk. Atau, sekitar 48 orang. Dan, di musim panas seperti ini, sebagian besar masyarakat kolok, sama seperti di musim-musim lainnya, bekerja serabutan. Orang-orang kolok ini, karena keterbatasan fisiknya, hanya mampu bekerja sebagai penggali kubur, buruh tani, pekerja bangunan, atau pemasang pipa air. Hal ini karena mayoritas kolok di Bengkala buta huruf dan tidak pernah mengenyam pendidikan. Berdasarkan data dari tahun 2014-2015, pendapatan masyarakat kolok tidak menentu, rata-rata sekitar Rp450.000/ kapita/ bulan, jauh dari UMK Buleleng yang tahun ini mencapai Rp2.165.000.
Kembali ke zonasi yang membagi KEM. Di musim kemarau ini, di zona terakhir, hanya peternakan yang berjalan lancar. Lahan KEM yang bertipe andosol coklat dan latosol coklat bertekstur lempung berpasir ini tidak subur ketika tidak ada pasokan air yang cukup. Karena itu, pertanian dan perkebunan tidak bisa dilakukan ketika kemarau. Untuk sementara, peternakan yang masih dikelola secara konvensional (nonkoloni) menjadi pekerjaan utama di musim ini.
I Wayan Sandi (60 tahun) dan Wayan Ngarda (55 tahun), pasangan bapak-anak kolok Bengkala yang juga adalah pemilik lahan KEM, membahasakan isyarat kalau dulu mereka menjadi buruh di desa. Namun, sekarang tidak lagi. Mereka kini lebih banyak mengurus ternak sehari-harinya. Jika masuk musim hujan, mereka mulai menanam sayuran di area perkebunan KEM. Kadek Sri Sami atau dipanggil Mbok Sami (50 tahun), istri Ngarda, perempuan tidak kolok yang berasal dari Desa Tajun, juga turut membantu mengurus ternak dan kebun.
Kandang ternak yang dibangun oleh PT Pertamina (Persero) berupa kandang sapi 9 x 6 m2 berkapasitas 12 ekor sapi, kadang babi berukuran sama dengan kapasitas 26 ekor babi, kandang ayam 8 x 4 m2 dua lantai berkapasitas lebih dari 1.000 ekor ayam potong, dan kandang ayam tajen 5 x 4 m2 berkapasitas tamping 20 ekor ayam.
“Di KEM sendiri, tahun 2015, Pertamina memberi indukan 3 ekor bayi sapi, babi 10 ekor, ayam kampung betina 5 ekor, ayam jantan 2 ekor, dan ayam potong 500 ekor—tapi ayam potong semua mati karena virus,” cerita Mbok Sami saat ditemui sedang ingin memberi makan ternak-ternak tersebut.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR