Nationalgeographic.co.id - Untuk bertahan hidup, manusia mendapatkan nutrisi dari makanan. Dan kita tahu bahwa diet seimbang dapat membuat tubuh sehat.
Beberapa orang juga melihat berbagai makanan sebagai “obat”. Mereka berharap ketika jenis-jenis makanan tertentu ini dimakan akan dapat mencegah atau mengobati kondisi tertentu.
Memang, beberapa jenis makanan mengandung “senyawa bioaktif"–bahan kimia dalam tubuh yang bertindak untuk meningkatkan kesehatan. Jenis makanan semacam ini sedang banyak dipelajari dalam pencegahan kanker, penyakit jantung, dan kondisi lainnya.
Namun, meski gagasan makanan sebagai obat ini menarik, gagasan ini masih baru bersifat jualan tajuk berita utama saja.
Baca Juga: Mencegah Kenaikan Berat Badan Saat Libur Lebaran, Bagaimana Caranya?
Biasanya, berita-berita soal makanan sebagai obat menceritakan hasil penelitian ekstrak konsentrasi makanan di laboratorium. Pada orang sungguhan, yang memakan makanan sungguhan, efeknya akan berbeda dengan efek yang terlihat dalam cawan petri di laboratorium.
Jika kita hitung-hitung, kita perlu makan makanan tertentu dalam jumlah yang sangat besar untuk mendapatkan manfaatnya. Dalam beberapa kasus, hal ini justru dapat membahayakan kesehatan kita, bukan malah melindunginya.
Keempat jenis makanan ini (dan satu minuman) menunjukkan klaim bahwa makanan dapat menyembuhkan penyakit tidak selalu benar.
Kayu manis mengandung senyawa cinnamaldehyde, yaitu unsur yang diklaim dapat membantu penurunan berat badan dan mengatur nafsu makan.
Ada bukti bahwa senyawa tersebut mampu mengurangi kolesterol pada penderita diabetes. Tapi ini berdasarkan pada riset-riset yang menganalisis senyawa dalam dosis besar–bukan hanya dengan memakan sebatang kayu manis saja.
Studi-studi di atas berhasil dengan memberikan respondennya antara 1 dan 6 gram (g) senyawa cinnamaldehyde per hari. Kayu manis sendiri mengandung sekitar 8% cinnamaldehyde dari beratnya. Jadi kita harus makan setidaknya 13 gram kayu manis, atau sekitar setengah toples per harinya.
Jauh lebih banyak daripada yang kita masukkan dalam wedang ronde kita.
Manfaat kesehatan dari anggur merah umum diberitakan karena bahan kimia dalam kulit anggur yang disebut resveratrol. Resveratrol adalah senyawa polifenol yang memiliki sifat sifat antioksidan.
Banyak klaim mengatakan bahwa resveratrol melindungi sel-sel kita dari kerusakan dan mengurangi risiko kanker, diabetes tipe 2, penyakit Alzheimer, dan penyakit jantung.
Ada beberapa bukti dalam jumlah terbatas tentang resveratrol yang menunjukkan resveratrol memiliki dampak positif pada hewan. Namun, penelitian yang dilakukan pada manusia belum menunjukkan efek yang sama.
Tergantung jenis anggurnya, tetapi anggur merah mengandung sekitar 3 mikrogram (sekitar sepertiga juta per satu gram) resveratrol per botolnya. Studi yang berhasil setidaknya menunjukkan manfaat dari penggunaan resveratrol setidaknya 0,1 g per hari (atau 100.000 mikrogram).
Untuk mendapatkan resveratrol sebanyak itu, seseorang harus minum sekitar 200 botol anggur sehari. Kita semua mungkin setuju bahwa itu tidak sehat.
Blueberry, seperti anggur merah, adalah sumber resveratrol. Dengan kandungan hanya beberapa mikrogram per buahnya, seseorang harus makan lebih dari 10.000 buah sehari untuk mendapatkan dosis yang tepat.
Blueberry juga mengandung senyawa yang disebut antosianin, atau pigmen yang mengaktifkan beberapa penanda penyakit jantung. Tetapi untuk mengaktifkan senyawa ini, kita perlu memamakan 150-300 blueberry per hari. Ini lebih masuk akal, tapi jumlah ini masih cukup banyak dan akan sangat mahal.
Berita bahwa cokelat hitam menurunkan tekanan darah diyakini benar. Theobromine, bahan kimia dalam cokelat telah terbukti menurunkan tekanan darah dalam dosis sekitar 1 gram. Jika dosisnya lebih rendah dari itu, tidak akan efektif. Tergantung pada jenis cokelatnya, kita peru makan 100 gram cokelat hitam untuk mencapai dosis ini.
Cokelat termasuk ‘jenis makanan sampah’ yang tidak menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tubuh manusia atau. Makanan yang direkomendasikan untuk jenis makanan ini tidak lebih dari 600 kilojoule per hari, atau 25 gram cokelat. Makan 100 gram cokelat setara dengan lebih dari 2.000 kilojoule.
Kelebihan konsumsi kilojoule bisa menyebabkan berat badan naik. Kelebihan berat badan akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Jadi, risiko ini kemungkinan akan menghilangkan manfaat makan cokelat yang diklaim bisa menurunkan tekanan darah Anda.
Kunyit adalah bumbu favorit yang sering dipakai untuk membuat kari. Banyak orang membicarakan khasiat curcumin, bahan aktif utama dalam kunyit, untuk penyembuhan.
Curcumin mengacu pada sekelompok senyawa yang disebut curcuminoids dan mungkin memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti mengurangi peradangan. Peradangan membantu kita melawan infeksi dan merespons luka, tetapi terlalu banyak peradangan akan membawa masalah pada penyakit seperti radang sendi, dan mungkin terkait dengan kondisi lain seperti penyakit jantung atau stroke.
Uji coba manusia terhadap curcumin tidak terlihat meyakinkan. Kebanyakan orang yang makan suplemen curcumin mengkonsumsi dalam dosis, yaitu 1 hingga 12 g per hari.
Kunyit mengandung sekitar 3% curcumin, jadi untuk setiap gram kunyit yang kita makan, kita hanya dapat 0,03g curcumin. Artinya, kita perlu makan lebih 30g kunyit untuk merasakan manfaatnya.
Curcumin dalam kunyit juga tidak langsung terserap dalam tubuh. Kita hanya menyerap sekitar 25% dari apa yang kita makan, jadi kita mungkin benar-benar harus makan lebih dari 100 gram kunyit setiap hari untuk mendapatkan dosis curcumin yang masuk akal.
Baca Juga: Selamat Jalan Ibu Ani Yudhoyono. Kenali Salah Satu Gejala Leukemia Ini yang Kerap Kita Abaikan
Kita semua ingin makanan yang dapat menyembuhkan kita, tetapi terlalu fokus pada satu jenis makanan dan memakannya dalam jumlah besar bukanlah jawabannya.
Sebagai gantinya, diet seimbang dan beragam dapat memberikan masing-masing makanan berbagai nutrisi dan senyawa bioaktif yang berbeda. Jangan fokus pada perbaikan cepat; sebaliknya, fokuslah dalam menikmati beragam makanan.
Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Penulis: Emma Beckett, Lecturer (Food Science and Human Nutrition), School of Environmental and Life Sciences, University of Newcastle dan Gideon Meyerowitz-Katz, PhD Student/Epidemiologist, University of Wollongong
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR