Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah.
Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban? Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA. DNA adalah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu.
Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku.
Baca Juga: Fakta-fakta Terkait Ledakan Bom Sri Lanka, Korban Tewas Mencapai 207 Orang
Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban.
Teori yang dikembangkan tim Hera bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul.
Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai.
Kurang dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal.
Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman.
Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan.
Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya.
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR