Nationalgeographic.co.id - Kami menjumpai Herawati Sudoyo di kantornya di Lembaga Biologi Molekular Eijkman, yang masih berada di lingkungan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan terhubung dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta pada 2005.
Ketika itu, Hera - begitu sapaan karib perempuan pehobi fotografi ini - masih menjabat Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekular Eijkman. Kerjanya, keliling Indonesia. Jalan-jalan? Tidak juga. Ia bercerita bagaimana pengalamannya mengumpulkan percontoh genetika manusia modern (Homo sapiens).
"Bu Hera, kami punya kesulitan untuk mencarikan padanan dalam bahasa Indonesia untuk tulisan bertema kedokteran ini. Bahasannya, tentang sumsum tulang belakang," saya menyebutkan maksud pertemuan itu kepadanya.
Baca Juga: Apa Kata Sains Tentang Alasan Orang Melakukan Bom Bunuh Diri?
Hera lantas meminta saya menunjukkan contoh kesulitan yang saya hadapi. Asal tahu saja, saat menerbitkan suatu konten, National Geographic Indonesia selalu meminta pandangan ahli tentang mencarikan padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Ada banyak konteks teknis yang harus dapat kami terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, tanpa menggeser makna dan tujuan kalimat itu.
Alih-alih, membahas satu per satu kata yang sulit, perbincangan kami justru melebar. Hera banyak bercerita bagaimana seluk-beluk DNA leluhur Nusantara yang begitu menggelitik pemikirannya. Prestasi perempuan Indonesia intelek ini memang telah berderet.
Lahir pada 2 November 1951, seperti dilansir dari Kompas.com, Herawati Sudoyo memang dinilai menjadi sosok penting dalam identifikasi pelaku bom bunuh diri lewat pemeriksaan DNA yang dilakukannya.
Baca Juga: Permen Karet Ini Menyimpan DNA Manusia Purba dari 10 Ribu Tahun Lalu
Metode Hera berawal dari ledakan bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia atau Bom Kedubes Australia 2004, pada tanggal 9 September 2004.
Saat itu pihak Polri ditantang untuk segera mengidentifikasi pelaku dan mengungkap kelompok di baliknya. Kejadian itu menewaskan 10 korban dan mencederai lebih dari 180 orang.
Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah.
Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban? Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA. DNA adalah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu.
Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku.
Baca Juga: Fakta-fakta Terkait Ledakan Bom Sri Lanka, Korban Tewas Mencapai 207 Orang
Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban.
Teori yang dikembangkan tim Hera bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul.
Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai.
Kurang dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal.
Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman.
Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan.
Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya.
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR