Nationalgeographic.co.id - Musim panas tahun ini, Prancis mengeluarkan peringatan merah kepada warganya akibat gelombang panas yang menembus suhu ekstrim.
Di sebuah desa bernama Gallargues-le-Montueux di daerah selatan Prancis suhu udara mencapai 45.9C.
Tapi bagi India, suhu ekstrim di Prancis hanyalah suhu normal yang sering mereka lalui di musim panas. Bahkan di India Utara suhu telah menembus angka 50C bulan ini.
India mencatat setidaknya ada 130 orang telah meninggal sejak gelombang panas bermula pada pertengahan Mei, tidak menutup kemungkinan catatan buruk ini terus meningkat, tapi semoga saja tidak.
Baca Juga: Hati-hati, Terlalu Lama Bekerja Bisa Tingkatkan Risiko Stroke
Ibu kota India, Delhi, telah mengalami rekor 48C pada bulan Juni, namun gelombang panas telah menghembus ke wilayah yang luas dari negara bagian Rajasthan di barat hingga Bihar di timur.
Gelombang panas ini terjadi berminggu-minggu tanpa henti di kota dan di desa. Kondisi ini bisa sangat mematikan bagi para warganya.
"Ketika suhu naik di atas 37C, tubuh manusia mulai memanas," jelas Dileep Mavalankar, director of India’s first public health university, the Indian Institute of Public Health Gandhinagar. “Tubuh berusaha beradaptasi dengan memproduksi lebih banyak keringat, artinya jantung harus memompa aliran darah dengan cepat dan semakin cepat. Orang dengan jantung, ginjal, atau sirkulasi yang lemah -terutama orang tua atau bayi- sistem tubuhnya tidak bisa beradaptasi, dan bisa menyebabkan mereka dirawat di rumah sakit.
"Tetapi bahkan pada usia muda, jika suhu inti tubuh naik di atas 40C maka kerja otak mulai kacau, kerusakan otak bisa terjadi bila tidak segera didinginkan. Inilah yang bisa menyebabkan kematian."
Baca Juga: Memiliki Ketergantungan Pada Kafein? Ini Bahaya dan Cara Mengatasinya
Namun hebatnya, suhu maksimum yang tercatat pada musim panas ini -meskipun tinggi- adalah dalam batas normal yang diprediksikan terjadi setiap tahun di bulan Mei dan Juni.
“Kita akan melihat suhu mencapai 47C, 48C setiap musim panas,” kata Sanjiv Phansalkar berbicara tentang pedesaan di sekitar Nagpur, Maharashtra, tempatnya tumbuh besar. Dia seorang akademisi yang bekerja dengan Yayasan Transform Rural India. Dia percaya orang dari belahan dunia yang lain -khususnya anak muda yang tumbuh di kota-kota Asia bagian selatan- dapat belajar dari teknik tradisional India tentang cara menghadapi musim panas yang hebat.
Caranya gampang, orang harus minum banyak air sebelum mereka keluar rumah, dan tidak perlu menunggu sampai merasa haus, misalnya.
"Siapa pun yang keluar ke jalan di musim panas tanpa kepala dan telinga tertupun kain, akan segera dihentikan dan dipaksa untuk menutup kepala dan telinganya dengan kain." Tambahnya.
Baca Juga: Hari Pertama Sekolah, Jangan Sampai Anak Anda Terkena Bullying
Meminum minuman dingin hukumnya sangat-sangat dilarang. Karena tubuh akan kaget ketika suhu tubuhnya terlampau panas dan langsung menerima air dingin. "Kami percaya, minuman terbaik di musim panas adalah secangkir teh hangat."
Jika mengharuskan bekerja di luar ruangan, harus dimulai sejak pagi dan selesai di malam hari, dengan istirahat dari jam 11 pagi sampai jam 5 sore. "Di berbagai daerah telah mengembangkan mekanisme yang berbeda, tapi ini adalah prinsip dasar, dan ini semua sangat sederhana," kata Phansalkar.
Ada beberapa solusi yang berbau tradisi, dan ini memang terdengar aneh. Di pedesaan Maharashtra, mereka yang harus melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan air bisa terkena dampak terburuk ketika gelombang panas menghantam.
Baca Juga: 5 Gaya Hidup yang Belum Banyak Diketahui Telah Merusak Lingkungan
"Kamu harus selalu membawa bawang yang sudah kamu potong menjadi dua" katanya. "Dan menggosoknya ke tubuh. Saya tidak tahu apa maksudnya, saya hanya memberi tahu Anda apa yang diyakini masyarakat. Kami percaya bahwa bawang akan selalu melindungi Anda dari panas" Ceritanya.
kepercayaan pada kekuatan bawang yang dapat mengatasi gelombang panas -biasanya dimakan mentah dalam salad daripada dioleskan langsung ke kulit- adalah hal umum di seluruh India.
Source | : | The Independent |
Penulis | : | Mahmud Zulfikar |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR