Nationalgeographic.co.id - Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir bandang, dan kebakaran hutan tak hanya meninggalkan trauma mendalam bagi para korban di lokasi bencana, tapi juga para peneliti yang menggali data di daerah rawan bencana. Peneliti sebaiknya menyusun rencana menghadapi situasi darurat di lapangan.
Sebuah riset di Australia melaporkan 81 persen peneliti yang mewawancarai penyintas bencana kebakaran menderita gejala-gejala stres akibat trauma sekunder yaitu trauma yang ditimbulkan akibat terpapar pengalaman trauma orang lain. Indikasi stres ini mulai dari munculnya rasa sedih berlebihan, mati rasa secara emosi, hingga gangguan tidur dan konsentrasi, terutama jika mereka pernah merasakan trauma yang sama dengan partisipan riset.
Pelajaran yang mahal dapat diambil dari tewasnya sepasang peneliti gunung berapi dari Prancis Catherine dan Maurice Kafft akibat awan panas gunung Unzen Jepang pada 1991. Juga dari kasus bunuh diri akibat depresi pada 1986 dalam kasus Valery Legasov, ahli kimia dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet yang menyelidiki penyebab meledaknya reaktor nuklir Chernobyl di Ukraina era Uni Soviet.
Baca Juga: Ubur-Ubur Sebesar Tubuh Manusia Ditemukan di Lepas Pantai Inggris
Artikel ini terinspirasi dari pengalaman penulis saat mengumpulkan data di daerah pasca bencana di Aceh selama enam bulan pada 2017. Ada beberapa saran untuk para peneliti yang bersiap akan meneliti di daerah rawan bencana, yaitu menyusun rencana kontingensi guna merespons ketidakpastian atau ancaman di luar kontrol diri sendiri, meningkatkan kemampuan berhadapan dengan partisipan yang sensitif, dan mencegah terjadinya stres akibat trauma sekunder.
Sayangnya, walau persiapan ini sangat penting sebagaimana jurnalis meliput di daerah konflik dan rawan, belum ada universitas yang mengajarkan tahap-tahap persiapan ini untuk para peneliti mereka dan mahasiswa riset doktoral.
Kini riset terkait bencana alam makin meningkat seiring dengan meningkatnya kejadian bencana alam di dunia. Pada dekade 1970-an, secara global tercatat sekitar 100 bencana alam yang dilaporkan setiap tahunnya, dari banjir, gempa hingga tsunami. Namun setelah tahun 2.000 angka bencana yang dilaporkan meningkat tiga kali lipat lebih tiap tahunnya.
Dampak bencana, dari berbagai sisi ilmu pengetahuan, merupakan fenomena menarik bagi para peneliti. Melalui riset para ilmuwan berupaya mencari cara mencegah dan memitigasinya serta meningkatkan ketahanan penduduk di area rawan bencana. Namun demikian, mencari data di area bencana membutuhkan persiapan agar peneliti mampu menghadapi keadaan yang berpotensi menimbulkan masalah di lapangan.
Agar tetap aman hingga riset selesai, peneliti di daerah rawan bencana perlu menyusun beberapa rencana untuk menjaga keamanan peneliti dan partisipan riset. Rencana tersebut berupa langkah-langkah prosedural untuk menurunkan risiko terjadinya korban, baik dalam bentuk protokol keselamatan, kebijakan, ataupun petunjuk teknis, tergantung pada tingkat kekuatan pelaksanaan rekomendasi tersebut.
Berdasarkan pengalaman, peneliti perlu menyusun rencana kontingensi yang lebih lengkap daripada sekadar protokol keselamatan. Rencana kontingensi mencakup:
Saya merasakan manfaat dari rencana kontingensi gempa dan tsunami yang sudah saya uji beberapa kali sebelum pengumpulan data di Aceh pada 2017. Ketika suatu hari benar-benar terjadi gempa besar, sistem peringatan dini tsunami diaktifkan dan terjadi banyak kecelakaan lalu lintas akibat upaya evakuasi yang dilakukan masyarakat, saya mengajak partisipan melaksanakan apa yang ada dalam rencana kontingensi tersebut.
Saat itu kami memilih untuk berjalan kaki dan berkumpul di tempat yang aman dan diperkirakan cukup tinggi dan tak terdampak tsunami. Di sana kami menunggu hingga beberapa jam, baru kemudian bergerak menuju tempat berkumpul lain di daerah aman yang telah menjadi kesepakatan dengan keluarga dan tercatat dalam rencana kontingensi gempa dan tsunami yang telah kami susun sebelumnya.
Dengan cara tersebut kami tidak terjebak dalam arus lalu lintas yang berbahaya akibat kepanikan warga saat evakuasi terjadi dan selamat dari bencana gempa (dan potensi tsunami).
Dalam penelitian yang melibatkan partisipan yang terdampak bencana, penting bagi periset untuk menyadari adanya risiko bangkitnya trauma lagi bagi partisipan.
Memang sebagian besar responden memiliki kondisi mental yang cukup kuat untuk menyelesaikan wawancara. Partisipan yang kuat memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah dan percaya bahwa manfaat penelitian lebih besar daripada stres yang dihasilkan sebagai efek samping dari wawancara yang dilakukan.
Namun demikian ada juga partisipan yang mungkin menolak untuk menjawab pertanyaan wawancara karena ingin menghindarigejala trauma ulang (seperti kilasan ingatan yang mengerikan, mimpi buruk atau reaksi trauma lainnya).
Reaksi menghindar tersebut bisa jadi adalah bagian dari mekanisme adaptasi terhadap trauma, namun mungkin juga merupakan gejala depresi, kecemasan, atau PTSD (post traumatic stress disorder). Jika ini terjadi, peneliti sebaiknya berusaha memahami kondisi partisipan dan berhati-hati memilih waktu yang tepat untuk wawancara. Tunggulah hingga keluarga mereka yang meninggal selesai dimakamkan, partisipan telah memiliki tempat berteduh yang layak, dan mereka memiliki akses terhadap bantuan hidup pasca bencana.
Peneliti juga perlu memfasilitasi partisipan untuk mendapat bantuan psikologis ketika wawancara menimbulkan munculnya gejala trauma.
Strategi lainnya adalah menyusun urutan pertanyaan wawancara dengan meletakkan pertanyaan paling sulit dan sensitif di bagian akhir wawancara. Sebaiknya juga ada sesi tanya-jawab setelah wawancara untuk mengurangi stres. Yang paling penting adalah selalu menerapkan pendekatan komunikasi yang baik, misalkan prinsip ‘CARE’ communication , yang terdiri dari elemen ‘Comfort, Acceptance, Responsiveness dan Empathy’, yang memperhitungkan faktor kenyamanan, penerimaan, daya respons, dan rasa empati.
Sebagai referensi tambahan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menerbitkan pedoman bagi relawan yang dapat dimanfaatkan oleh para peneliti yang mencari data dan interview di daerah rawan bencana.
Peneliti yang bersentuhan dengan partisipan yang mengalami trauma psikologis dan terpapar dengan kisah mereka saat memberikan bantuan kepada mereka juga berisiko menderita stres akibat trauma sekunder.
Stres akibat trauma sekunder ini dapat terjadi sebagai akibat akrabnya interaksi peneliti dengan penyintas bencana.
Gejala trauma sekunder antara lain munculnya rasa takut berlebihan, mudah terkejut, gangguan tidur, gangguan fisik seperti jantung mudah berdebar, tangan mudah berkeringat, dan sesak nafas. Gejala tersebut serupa dengan gangguan stres setelah trauma (post traumatic stress disorder, PTSD), bedanya ada pada sumber trauma. Penderita PTSD mengalami sendiri trauma tersebut, sedangkan penderita trauma sekunder terpapar trauma karena mendengar kisah atau berinteraksi akrab dengan penderita trauma.
Untuk mencegah dan mengatasi trauma sekunder, peneliti sebaiknya membiasakan hidup sehat, termasuk mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, manajemen stres yang baik, dan menjaga kualitas tidur.
Baca Juga: Laporan Terbaru: Suhu Juni 2019 Menjadi yang Terpanas dalam Sejarah
Jika peneliti merasakan adanya terlintas keinginan untuk bunuh diri, maka dia perlu konsultasi psikologis untuk mengidentifikasi faktor risiko. Perlu ada konsultan yang dapat dihubungi lewat telepon jika ada krisis mental.
Bila keadaan lebih buruk mungkin terjadi, misalnya peneliti memang pernah mencoba bunuh diri, maka perlu ditambahkan upaya menghindarkan diri sendiri dari kesempatan bunuh diri. Misalnya menyingkirkan benda tajam dari sekelilingnya, selalu mengevaluasi diri, dan upaya serius lainnya.
Persiapan penelitian sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan adanya masalah di lapangan. Saran tersebut di atas mungkin bermanfaat pada saat mempersiapkan dan pelaksanaan riset di lapangan.
Refleksi pasca penelitian juga penting agar peneliti terus belajar dan memproduksi pengetahuan baru untuk mengatasi masalah lain dalam riset berikutnya.
Penulis: Rosaria Indah, PhD Student, University of Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR