Nationalgeographic.co.id - Demi mencari hidup nyaman tanpa bising dering senjata dan kejahatan rasial. Berjuta-juta warga Rohingya berhamburan mengungsi meninggalkan rumahnya.
Nasib surampun menimpa para anak-anak. Hidup di kamp pengungsian menjadikan mereka kesusahan setengah mati mendapatkan pendidikan.
Rubayat Jesmi, seorang mahasiswa doktoral Universitas Binghamton, pada suatu waktu berkunjung kamp pengungsian di Bangladesh. Pada awal Juli 2019, dia bertemu dengan bocah bernama Mohammed -bukan nama yang sebenarnya- di learning center di sebuah kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh.
Dengan semangat menggebu-gebu bocah tujuh tahun ini menceritakan cita-citanya menjadi seorang dokter.
“I know my dreams will never come true,” ucapnya di ujung cerita, dengan muka menunduk.
Baca Juga: Demi Jatah Bantuan Pangan, Anak-anak Perempuan Rohingya Dipaksa Menikah
Mohammed termasuk di antara lebih dari 700.000 warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh setelah kampanye 'pembersihan etnis'. Mereka mendapatkan perlakuan biadab dan sangat brutal oleh militer Myanmar pada pertengahan 2017.
Perkosaan, pembunuhan, dan penyiksaan mereka terima dari para tentara demi membumihanguskan masyarakat muslim di Myanmar. Kemudian mereka menyusul 200.000 warga Rohingya yang lebih dulu mengungsi.
Menurut laporan PBB, dari 700.000 pengungsi tersebut, tiga perempatnya adalah anak-anak dan perempuan.
Beruntung, Bangladesh menerima dengan tangan terbuka. Bersama organisasi masyarakat Bangladesh, berbagai badan PBB, dan lembaga donor internasional lainnya, pengungsi Rohingya telah menerima perlindungan, makanan, pakaian, dan perawatan kesehatan dasar sejak eksodus besar-besaran pada tahun 2017.
Baca Juga: Kisah Para Pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika yang Bertahan di Trotoar Kebon Sirih
Tetapi, memang sudah nasib menjadi pengungsi, keterbatasan tempat kamp pengungsian dan jumlah pasokan bantuan, memberikan masalah higienitas dan asupan nutrisi yang terbatas.
Selanjutnya masalah menempa pada penerus masa depan mereka: anak-anak. Seorang peneliti mengatakan anak-anak pengungsi Rohingya akan menghadapi masa depan yang suram bila tidak mendapatkan sekolah.
Pemerintah Bangladesh belum memberikan status resmi pada pengungsi Rohingya dan menganggap mereka sebagai "warga negara Myanmar yang dipindahkan secara paksa". Karena itulah sekitar 500.000 anak-anak Rohingya di Bangladesh tidak memiliki akses ke pendidikan formal.
Bersama segenap mitranya, UNICEF memberikan kebutuhan belajar 2 jam sehari kepada anak-anak pengungsi Rohingya usia 4 hingga 14 tahun. Mereka mendapatkan pelajaran bahasa Inggris, matematika dan keterampilan lainya di 1.600 learning center yang terletak di kamp-kamp tersebut.
Baca Juga: Kisah dari Tijuana, Ketika Studio Foto Jalanan Menarik Perhatian Para Migran dan Pengungsi
Mirisnya, kamp pengungsian tidak menawarkan sekolah sama sekali bagi remaja pengungsi Rohingya yang berusia 15 hingga 18 tahun.
Sehingga beberapa dari mereka -yang mayoritas laki-laki- pergi ke madrasah untuk mendapatkan pendidikan Agama Islam.
sedangkan anak-anak lainya yang tidak mengikuti kelas UNICEF atau madrasah mengisi hari-hari mereka dengan berbagai macam kegiatan seperti, bekerja di toko-toko, bermain kartu atau hanya duduk dan melamun sepanjang hari.
"Ketika saya bertanya kepada Mohammad apa yang dia lakukan ketika dia tidak bersekolah." Ujar Rubayat.
"Menjaga keluarga saya." Jawab Mohammed.
Baca Juga: Demam Piala Dunia Masih Bergema di Kamp Pengungsian Rohignya
"Aku juga bermain dengan anak-anak lain," tambahnya sambil tersenyum.
Sedih memang, di negara mereka sendiri -Myanmar- mereka di anggap orang asing, di tempat pencarian suaka -Bangladesh- pun tidak diakui statusnya. Muslim Rohingya adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.
Entah sampai kapan mereka begini. Dan satu generasi anak-anak Rohingya terus mempertanyakan masa depannya!
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Mahmud Zulfikar |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR