Nationalgeographic.co.id – Saat mengeksplorasi bawah laut, kru E/V Nautilus, kapal ekspedisi yang mencari penemuan baru, bertemu dengan hewan langka yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
“Ia seperti cumi-cumi bengkak dengan tentakel dan topi kecil yang melambai-lambai,” ujar salah satu anggota tim.
Sebuah kendaraan bawah air yang dioperasikan dari jarak jauh (ROV) menangkap gambar hewan ini di kedalaman 1,385 meter (4.500 kaki), di dekat Palmyra Atoll, Samudra Pasifik Utara.
Baca Juga: Melindungi Gajah Bisa Membantu Menyelamatkan Bumi, Mengapa Begitu?
Para ilmuwan bawah laut kemudian mengonfirmasi bahwa itu adalah cumi piglet (Helicocranchia sp.), yang namanya diambil karena bentuknya yang bundar serta memiliki moncong seperti babi.
Diketahui bahwa cumi piglet mengatur daya apungnya melalui ruang internal yang dipenuhi amonia, yakni bahan kimia relatif umum di Bumi yang berbahaya bagi manusia jika terpapar dalam konsentrasi tinggi.
Dilihat dari kamera, makhluk ini terlihat besar. Padahal, ukurannya tidak lebih dari sebuah pir.
“Cumi piglet seperti memiliki mata, hidung, dan rambut,” ujar salah satu peneliti yang terekam dalam video. Yang dimaksud “rambut” sebenarnya adalah tentakel cumi yang sekilas mirip dengan tanduk rusa.
Cumi piglet masuk ke dalam jenis cephalopoda, moluska bawah air yang cerdas–sama dengan gurita, sotong, dan nautilus bilik.
Pola berpigmen pada tubuhnya, yang kerap disebut sebagai kromatofor, digunakan untuk kamuflase–meskipun tujuan pastinya untuk makhluk ini perlu dikonfirmasi.
Baca Juga: Banjir Menyerang Taman Nasional India, Lebih Dari 200 Satwa Liar Mati
Ketika cumi piglet masih muda, mereka hidup di permukaan laut. Namun, ketika beranjak dewasa, cumi piglet turun ke kedalaman laut yang dikenal sebagai zona senja atau zona mesopelagik. Wilayah lautan yang dingin ini memiliki kedalaman 200-1.000 meter dengan kondisi remang-remang.
Meski begitu, ketika ditemukan, cumi piglet tersebut sedang berenang ke zona bathypelagic yang lebih gelap dan dalam, yakni sekitar 1.000-4.000 meter. Wilayah ini kerap disebut zona tengah malam karena kurangnya sinar matahari yang menembus lapisan laut ini.
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR