Nationalgeographic.co.id – Pembalut sekali pakai disebut-sebut sebagai salah satu penyebab kerusakan alam dan lingkungan di muka bumi ini. Pasalnya, pembalut sekali pakai yang sudah digunakan akan dibuang dan berakhir di TPA. Seiring dengan berjalannya waktu, pembalut tersebut akan mengeluatkan gas metana yang berakibat pada pencemaran lingkungan.
Dilansir dari mongabay.co.id, berdasarkan penelitian dari University of Exeter, metana adalah salah satu unsur dalam gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan temperatur di permukaan Bumi, dan akan menyebabkan dampak pemanasan lebih jauh karena kekuatan metana 25 kali lipat dalam menyebabkan pemanasan global dibandingkan karbon dioksida.
Baca Juga: Hutan Amazon Terbakar, Ini Fakta-fakta yang Diketahui Sejauh Ini
Diketahui bahwa pembalut sekali pakai merupakan produk yang banyak digunakan perempuan di seluruh dunia. Anggap saja wanita menggunakan 3-4 pembalut sekali pakai dalam sehari, lalu kalikan dengan lama periode menstruasi. Bisakah Anda membayangkan berapa banyak sampah yang akan dihasilkan?
“Kalau dihitung-hitung, jatuhnya bisa di atas 300 pembalut per orang setiap tahunnya,” ujar Jeanny Primasari, penggagas komunitas Zero Waste Nusantara, dikutip dari CNNIndonesia.com.
Selain menghasilkan gas metana, pembalut juga berbahaya bagi lingkungan karena ia sulit terurai. Menurut Jeanny, pembalut memiliki kandungan plastik di dalamnya, yang mana membutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai. Ia pun mengandung pemutih yang digunakan pada bantalannya, yang dapat mencemari tanah dan air.
Baca Juga: 'Hujan Plastik' Terjadi di Salah Satu Pegunungan Tertinggi di Amerika
Untuk mengatasi masalah sampah, ada beberapa orang yang memusnahkannya dengan cara dibakar. Namun, cara ini justru memperparah pencemaran. Pembakaran dapat menghasilkan dioksin yang dapat meracuni tubuh manusia–merusak fungsi organ dan sistem tubuh.
Cara aman untuk mengatasi masalah ini adalah beralih dari pembalut sekali pakai menjadi pembalut kain atau cawan menstruasi (menstrual cup). Namun, cara ini masih sulit dilakukan di Indonesia. Ada beberapa pertimbangan seperti agama atau keyakinan, budaya, ekonomi, ketersediaan jenis pembalut yang ada dan kenyamanan saat menggunakannya.
Source | : | cnnindonesia.com,mongabay.co.id,Greeners.co |
Penulis | : | Celine Veronica |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR