Saya sendiri tidak berani melakukan self diagnosis jika merasa ada masalah kesehatan mental. Meskipun saya sudah mengemban pendidikan di bidang psikologi klinis selama 10 tahun dan sudah menangani puluhan pasien, saya akan konsultasi ke beberapa rekan psikolog untuk memastikan diagnosis saya dan juga memastikan penanganan selanjutnya,
Terbatasnya biaya, waktu, kendala akses terhadap pelayanan kesehatan, kondisi mental dari pasien yang belum siap untuk berobat, dan juga ketidaktahuan pasien tentang adanya tenaga kesehatan profesional yang bisa mengobati bisa mendorong orang untuk melakukan self-diagnosis.
Selain itu, munculnya persepsi bahwa gangguan mental itu “keren” dan adanya informasi di internet, memperparah tren self-diagnosis ini.
Baca Juga: Apa yang Sebenarnya Terjadi Pada Tubuh Ketika Anda Mengalami Stroke?
Saya menyayangkan beberapa orang yang beranggapan gangguan mental itu “keren” dan mendorong mereka melakukan self diagnosis
Gangguan mental itu tidak menyenangkan dan sangat menghambat potensi. Kita ambil saja contoh karakter Joker di film. Sepanjang film, ia mungkin ada kalanya terlihat perkasa dan hebat, tetapi ia tidak senang. Ia tidak bahagia. Ia tidak tenang. Ia tidak ingin berada dalam kondisi itu. Bagaimana “keren” kalau orang yang memilikinya saja tidak menginginkannya?
Fahri Nur Muharom berkontribusi pada penulisan artikel ini.
Penulis: Edo S. Jaya, Lecture at Faculty of Psychology, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR