Dalam level berbahaya, semestinya tidak boleh lagi ada aktivitas manusia di luar ruang. Udara yang dihirup di ruang terbuka praktis sudah tercemar berat. Bayi dan orang tua sangat rentan terjangkit penyakit terpapar asap.
Kalau saja efek asap berbahaya itu seketika berdampak pada kesehatan dan menyebabkan kematian, niscaya seluruh penduduk Riau sudah mengungsi atau diungsikan.
Dengan kondisi udara tidak sehat itu, lembaga pemerhati lingkungan mendesak pemerintah segera mengambil tindakan guna mengatasi polusi udara di Jakarta.
Jadi, wajar saja apabila warga Riau bersuara lebih kencang meminta pemerintah mengambil langkah nyata menghilangkan asap dari sisa kebakaran lahan dan hutan itu sesegera mungkin.
Pada 17 September, Presiden mengunjungi sebuah lokasi kebakaran di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan. Entah kenapa, pada hari kunjungan itu, kabut asap beberapa kota di Riau tidak sepekat sebelumnya. Presiden terlihat leluasa meninjau lokasi kebakaran tanpa memakai masker pelindung.
Baca Juga: Karhutla dan Bahayanya Bagi Flora Khas Sumatera dan Kalimantan
Keesokan harinya, muncul pernyataan seorang menteri yang mengatakan bahwa kondisi asap di Riau tidak separah yang diberitakan media. Faktanya, Presiden tidak memakai masker di lokasi lahan terbakar. Seorang petinggi Polri pun mengatakan, langit Kota Pekanbaru sudah biru.
Pada saat pernyataan petinggi negara itu dibaca warga Pekanbaru, langit Riau sudah kembali ditutupi asap tebal. Warga semakin bermuram durja. Di tengah jeritan derita kabut asap berbahaya yang tidak mereda, pernyataan nir-empati itu terasa seperti pukulan gada ke kepala.
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR