Nationalgeographic.co.id – Kabar baik datang dari Kebun Raya Bogor di awal tahun 2020. Pada 3 Januari, Amorphophallus titanum yang langka, berhasil mekar di sana. Dengan tinggi 194 sentimeter, tanaman yang kerap disebut sebagai bunga bangkai raksasa ini, menjulang tegak di tengah kebun raya.
Berbicara tentang Amorphophallus titanum, ia merupakan tumbuhan asli Indonesia dan merupakan fauna endemik Sumatra. Dengan kata lain, populasinya hanya dapat ditemukan di hutan-hutan Sumatra. Sayangnya, keberadaan Amorphophallus titanum di alam liar sangat mengkhawatirkan.
Yuzammi, peneliti di Pusat Konservasi Tumbuhan (PKT) Kebun Raya-LIPI, mengungkapkan, saat ia melakukan penelitian pada 2018 di salah satu hutan Sumatra, dalam satu kawasan tersebut, hanya ada sekitar 10 individu bunga bangkai. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) bahkan mengubah status Amorphophallus titanum dari “vulnerable” menjadi “endangered”.
Baca Juga: Peneliti: Hutan Amazon Sedang Mengalami 'Kerusakan Fungsional'
Yuzammi menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan tanaman langka ini terancam punah. Di antaranya penebangan hutan, ahli fungsi hutan menjadi ladang atau perkebunan, serta ketidaktahuan masyarakat bahwa Amorphophallus titanum merupakan tanaman khas Indonesia yang sangat berharga. Belum lagi, tersebar “mitos” yang memengaruhi penilaian warga sekitar terhadap bunga bangkai ini.
Banyak orang mengira Amorphophallus titanum akan memakan manusia karena ukurannya yang besar dan bentuknya yang mengerikan. Selain itu, tangkai daunnya yang memiliki corak seperti ular membuat masyarakat mengira Amorphophallus titanum merupakan tanaman pemanggil ular.
“Itulah sebabnya jika menemukan bunga bangkai ini, terkadang warga mencincangnya sampai habis,” cerita peneliti yang kerap disapa Ami ini.
Sementara itu, di Bengkulu, menurut Ami, penduduk yang termakan mitos, kerap memotong bunga bangkai demi menemukan batu mustika. Padahal tentu saja mereka tidak akan menemukan apa-apa di sana.
Dalam rangka melestarikan populasi Amorphophallus titanum, lembaga konservasi seperti PKT Kebun Raya-LIPI bekerja sama dengan Kebun Raya Liwa, Lampung, berupaya membudidayakan tanaman tersebut di Bogor untuk pemanfaatan yang berkelanjutan.
Perjuangan untuk membawa dan mengembangkan Amorphophallus titanum di Kebun Raya Bogor bukanlah hal mudah. Tim peneliti pun memerlukan waktu sekitar tiga tahun hingga akhirnya Amorphophallus titanum mekar pada awal Januari ini.
“Saat mengambil umbinya dari dalam hutan, kami mesti berhati-hati agar ia tidak terluka. Sebab, tergores sedikit saja, tanaman ini riskan terkena serangan jamur,” papar perempuan yang telah menjadi peneliti sejak 1993 ini.
Meski begitu, menurut Ami, tanaman Araceae cukup tahan banting. Jadi, meski dibawa ke wilayah lain dalam kondisi dorman (tidak ada daun, hanya umbi saja), mereka bisa tetap tumbuh. Syaratnya perlu kehati-hatian saat menanamnya karena mereka sangat rentan. Selain itu, perlu juga memonitor kepadatan tanahnya, jangan sampai tergenang air.
“Sepanjang saluran air tempat mereka tumbuh itu bagus, maka Amorphophallus titanum akan baik-baik saja. Jangan sampai ada genang air karena itu akan membuat mereka membusuk. Itulah sebabnya kami menanam bunga bangkai ini di tanah miring yang mirip dengan habitat aslinya agar air terus mengalir,” jelas Ami.
Karakteristik utama Amorphophallus titanum
Tanaman ini pertama kali ditemukan di kawasan Lembah Anai, Sumatra Barat, pada 1878 oleh ilmuwan asal Italia, Odoardo Beccari.
Nama Amorphophallus diberikan karena bentuk bunganya yang seperti penis rusak. Diambil dari bahasa Yunani, amorphos berarti tidak berbentuk, dan phallos merupakan alat kelamin laki-laki (penis). Sementara, titan artinya besar.
Amorphophallus titanum memang memiliki ukuran yang lebih besar dibanding tanaman dari keluarga Araceae lainnya. Ami mengatakan, ia bisa tumbuh hingga empat meter. Hal ini pulalah yang membuat Amorphophallus titanum mendapat julukan “bunga bangkai raksasa”.
Karena termasuk dalam suku talas-talasan, tanaman ini pun memiliki umbi yang juga berukuran besar—mencapai 117 kilogram.
Fase daun dan fase bunga dari bunga bangkai ini tidak bersamaan. Fase daun dapat mencapai 1-2 tahun, setelah itu umbi akan dorman (istirahat) selama beberapa bulan atau lebih, kemudian berbunga. Bunganya berkumpul di pangkal tangkai (spadix), dan tersembunyi di balik selubung merah marun di dasarnya (spathe).
Bunga mekar sempurna di malam hari, yang terbaru di Kebun Raya Bogor, terjadi pada 3 Januari 2020 sekitar 8-10 malam. Saat mekar inilah, ia mengeluarkan bau bangkai.
Proses mekarnya tidak berlangsung lama, hanya beberapa hari saja. “Malam hari ia akan mekar sempurna. Pagi harinya masih bisa dilihat, tapi itu tidak akan bertahan lama. Nantinya, Amorphophallus titanum akan menutup, jatuh, dan kembali dorman,” ungkap Ami.
Banyak orang yang sulit membedakan Amorphophallus dengan Rafflesia. Bahkan, menurut Ami, di buku pelajaran sekolah, sering terjadi kesalahan penyebutan bunga bangkai.
“Yang kita sebut bunga bangkai adalah Amorphophallus ini, sementara Rafflesia adalah puspa langka. Mereka sama-sama mengeluarkan bau bangkai dan inilah yang menyebabkan kesalahpahaman,” terang perempuan kelahiran Sumatra Barat ini.
Baca Juga: Peneliti: Perlu Waktu Puluhan Tahun untuk Pulihkan Alam Australia Pascakebakaran
Sebenarnya, perbedaan keduanya sangat nyata. Jika berbicara tentang Rafflesia, ia adalah bunga terbesar di dunia. Namun, Rafflesia adalah tanaman parasit yang tidak memiliki batang, daun dan akar. Rafflesia hidup menumpang pada tanaman inang bernama tetrastigma. Apabila tanaman tersebut mati, maka Rafflesia juga mengalami nasib yang sama. Sementara, Amorphophallus mempunyai umbi dan hidup sendiri. Ia memiliki batang, daun dan bunga sendiri juga.
“Saya berharap akan ada semakin banyak informasi terkait tumbuhan langka dan asli Indonesia sehingga kekeliruan bisa dihindari,” ungkap Ami.
Kini, LIPI tengah meneliti kandungan umbi Amorphophallus titanum. Umbinya dianggap bermanfaat karena kandungan glucomanan-nya. Itu memiliki kegunaan sebagai zat pengental serta jelly kaya serat yang bagus untuk menurunkan kolesterol dan kadar gula darah serta baik bagi kesehatan pencernaan.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR