Nationalgeographic.co.id—Bulu-bulu oranye di tubuh mereka tampak mencolok berlatar dedaunan. Perutnya buncit dan berhidung panjang. Sesekali ada yang terjun ke air laut untuk bermain-main. Kebetulan, saat itu air laut sedang pasang sehingga jarak jajakan lumpur dan permukaan air laut pun tidak dalam.
Hutan mangrove di Teluk Semanting, Kalimantan Timur memang memiliki luas ekosistem mangrove sebesar 767,2 Ha. Di dalamnya terdapat 27 jenis mamalia, salah satunya ialah monyet bekantan. Danil dan Arman, keduanya pemuda Teluk Semanting, mengabarkan bahwa koloni monyet bekantan bisa mencapai ribuan ekor dan tinggal di kawasan mangrove.
Selepas subuh, saya mempersiapkan peralatan memotret. Saya keluar rumah dalam suasana gelap nan dingin menuju dermaga, tempat janjian saya dengan Fajar Hadanil dan M Arman Pratama. Saya sengaja tidak mandi karena hari sebelumnya saya beraroma sabun, aroma yang asing bagi satwa liar. Saya berniat untuk mengabadikan potret kehidupan monyet bekantan (nasalis narvatus). Setelah sehari sebelumnya gagal mendapatkan momen gambar primata lucu itu.
Baca Juga: Kampung Teluk Semanting Miliki Kerupuk Ikan Olahanya Sendiri
Mereka biasanya memakan pucuk pohon mangrove pada pagi sekitar pukul tujuh sampai sepuluh. Lalu, kembali ke habitatnya sekitar pukul tiga sampai enam sore. Saya yang penasaran dengan perilaku koloni bekantan di teluk itu lalu menaiki kapal nelayan bersama kedua pemuda itu. Kami berangkat menuju Sungai Pindu Kanan, sebelah utara Kampung Semanting yang jaraknya bisa mencapai satu kilometer lebih.
Kami menyusuri pinggir pantai mangrove sambil melihat tanda-tanda keberadaan koloni bekantan. Beberapa fauna lain muncul dalam pengelihatan kami. Seperti misalnya elang bondol (Gerygone Sulphuera) dan bangau tongtong (Leptoptilos Dubius).
Setelah perjalanan kapal menempuh waktu sekitar sepuluh menit akhirnya kami melihat koloni monyet bekantan. Mereka berdiam di pucuk pepohonan mangrove yang tingginya bisa mencapai 10 meter. Kami berusaha berkenalan dengan mereka, mematikan mesin dan berdiam selama beberapa menit. Menyaksikan mereka yang sedang asik sarapan pagi, memakan dedaunan mangrove dengan lahap.
Baca Juga: Nelayan Trawl Sebabkan Tangkapan di Teluk Semanting Berkurang
Pelan-pelan kami berusaha mendekati mereka dengan mendayung kapal. Jarak kami terpisah sekitar 20-30 meter. Namun kewaspadaan mereka sangatlah tinggi. Biasanya dalam satu koloni ada yang bertugas untuk memantau. Jumlahnya sekitar 3-10 ekor. Kalau ada tanda bahaya atau berpindah tempat sang pemantau tersebut melapor pada ketua kelompok dengan berteriak lantang. Lalu ketua kelompok membahas sahutan dengan suara kencang yang terdengar sampai radius 40 meter.
Setelah kami perlahan masuk perahu kami terhenti karena air laut sudah menjadi daratan lumpur. Saya memutuskan untuk turun dari perahu, berjalan mendekat ke arah koloni. Sedangkan Danil dan Arman tinggal sejenak di perahu. Koloni bekantan itu masuk jauh ke dalam hutan, menyadari keberadaan saya. Sambil merunduk saya tetap mengikuti mereka dan sesekali berlindung di dalam semak.
Sampai ketika saya berjalan jauh ke dalam hutan mangrove. Para bekantan itu masih melihat saya dan terus maju ke dalam hutan. Saya tidak bisa melanjutkan perjalanan ke dalam karena akses jalan terpisah oleh semak-semak berduri dan rawa yang dalam. Saya coba memaksa masuk namun karena tidak berbekal parang saya tidak bisa membuka akses jalan. Malahan, saya tertusuk semak berduri yang melindungi sarang inti bekantan.
Baca Juga: Menjaga Habitat, Cara Terbaik Lindungi Orangutan dari Kepunahan
Danil dan Arman mendekati saya. Mereka mengajak untuk mencari ke titik pengamatan lainnya. Kami bergegas kembali ke kapal. Namun sebelum masuk ke kapal, tiba-tiba Danil menyuruh saya untuk tenang karena ia melihat koloni bekantan yang sedang bergerak mundur.
Danil mengajak saya untuk merangkak perlahan, berusaha menghindari pengelihatan monyet pengintai. Namun insting mereka memang jauh lebih tajam. Penymaran kami terbongkar. Kami terlihat lagi dan mereka mulai berlompatan dari pohon ke pohon menjauhi posisi kami.
Saya dan Danil melihat ratusan monyet bekantan berlarian. Para jantan berlari sendiri dan beberapa betina berlari sambil menggendong anakya. Jarak kami cukup jauh yakni sampai 30 meter. Kami pun berusaha mengejar untuk mendekati mereka yang sedang berlari. Tentu saja, kami kalah cepat. Mereka sudah terlanjur masuk ke zona inti. Saya merasa pasrah karena tidak bisa mendekati kelompok tadi secara dekat.
Akan tetapi nasib berkata lain. Kelompok yang sebelumnya kami kejar mati-matian memutuskan untuk berhenti. Ternyata ada beberapa anak yang tertinggal. Para dewasa pun berteriak memanggil sisa-sisa yang tertinggal.
Untungnya saat itu Danil membawa kamera dengan lensa jarak jauh. Kami akhirnya mendapatkan gambar pesona bekantan di Teluk Semanting. Kami tidak mengganggu maupun mengusik mereka dengan senjata atau yang lainya. Mereka sudah mengalami trauma mendalam. Itu juga salah satu alasan bahwa bekantan Teluk Semanting sangat berhati-hati dengan manusia.
Danil bercerita bahwa beberapa tahun terakhir terdapat perburuan liar monyet bekantan di Teluk Semanting. Para pemburu itu tertangkap oleh pengawas patroli Kampung Semanting dan didapati mayat-mayat bekantan di kapalnya. Menurut Danil, para pemburu itu berniat untuk menjadikan bekantan sebagai konsumsi makanan mereka.
Padahal, dahulu, bekantan hidup selaras dengan manusia. Danil mengatakan bahwa posisi kampungnya dahulu justru berdekatan dengan sarang bekantan sekarang. Namun karena keadaan tanah yang tidak subur maka kampung harus berpindah ke arah selatan.
Sejak 2018 muncul peraturan kampung untuk patroli lanjutan. Patroli dilakukan dengan peralatan seadanya. Danil berkata, "Upaya ini dapat melindungi populasi bekantan kedepan dan ekosistem lain di kawasan Teluk Semanting."
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Source | : | Reportase di Teluk Semanting |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR