Sebagai contoh, erupsi Krakatau yang juga terjadi di Indonesia pada 1883 lebih terkenal dibanding Tambora karena berbarengan dengan munculnya ‘media baru’. Peristiwa itu tersebar melalui telegram dan fotografi. Namun, Wood mengatakan, letusannya lebih lemah dibanding Tambora.
Meskipun letusan Gunung Vesuvius di Pompeii pada 79 A.D menjadi salah satu erupsi paling terkenal, korban tewasnya yang berjumlah 2000 orang hanya sebagian kecil dari Tambora.
(Baca juga: Bagaimana Perubahan Iklim Memengaruhi Kehidupan Perempuan?)
Joseph Manning, profesor sejarah di Yale University, mengatakan, di masa sekarang ini, efek setelah letusan lebih berbahaya dari dampak langsungnya. Untungnya, dengan kemajuan teknologi, kita bisa memprediksi waktu erupsi dan memiliki waktu untuk melakukan evakuasi serta tindakan pencegahan.
Misalnya, ketika jadwal penerbangan di Bali dibatalkan untuk mengantisipasi letusan Gunung Agung. Atau saat pemerinta Filipina mengevakuasi penduduk di sekitar Gunung Mayon sebelum erupsi besar.
“Mungkin ada risiko kematian dari letusan gunung berapi. Namun, selain itu, ada juga risiko iklim dan kekeringan di seluruh dunia. Terutama pada wilayah monsoon seperti India, Asia Timur, dan Afrika Timur,” papar Manning.
Menurutnya, banyak orang belum menyadari dampak letusan gunung berapi selain kematian. “Tidak hanya menewaskan orang secara langsung, erupsi gunung api juga berdampak pada ekosistem kita beberapa tahun ke depan,” pungkasnya.
Source | : | History.com |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR