Pejalan bijak, menurut Didi Kasim, ialah saat seseorang telah meninggalkan tempat perjalanannya, maka tempat itu akan lebih baik setelah kita tinggalkan.
Berwisata juga harus memiliki etika. Bagaimana kita bertata krama dan bertutur. Itulah pentingnya riset sebelum plesiran.
Apalagi di tempat-tempat bermakna religius, kita perlu perhatikan tingkah laku dan berbusana. Juga menghormati sosial dan ritual agama yang sedang dilakoni.
Citizen journalism tidak masalah untuk dilakukan, tapi harus tetap memperhatikan etika. Kita harus tau kapan bisa memotret dan kapan waktunya bertepuk tangan saat menonton orkestra misalnya.
Begitu juga saat menyelam bersama ikan raksasa seperti paus di lautan. Kita harus menyesuaikan diri dengan rumahnya.
Sama ketika kita masuk ke rumah agama, menyelam di laut juga perlu beretika dengan sang pemilik tuan rumah.
Selain itu, sebagai pejalan bijak perlu memerhatikan kelestarian alam dan budayanya.
"Jangan tinggalkan apapun selain jejak kaki, kita pernah ke sana. Jangan ambil apa pun selain foto, tidak mengambil edelweiss di gunung misalnya. Jangan ambil atau asal pegang situs arkeologi, nggak bermanfaat buat kita," tutur Didi.
Memaknai pejalan bijak memiliki definisi yang berbeda pada tiap orangnya. Adapun Mahandis Yoanata, Managing Editor National Geographic Indonesia, menyukai cerita dari sejarah sebuah kota yang dibangun sejak dulu dan masih bertahan sampai sekarang.
Dari sana, ia mendapatkan ingatan warga tentang kebiasaan-kebiasaan orang terdahulu di kota yang ia jajaki.
Beberapa waktu lalu, Yoan melancong ke Malang, menyusuri kota yang dibangun sebagai sebuah percepatan kota karena pandemi pes di Hindia Belanda. Ia mendapatkan impresi dari warga kota dari seniman topeng, pegiat budaya, dan pegiat keris.
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR