Menikmati kota menurutnya tak lengkap jika tak menikmati kuliner khasnya. Misalnya seperti pecel yang menjadikan daun semanggi sebagai olahan utamanya di Surabaya.
Tak berfokus pada cita rasa kulinernya, justru Yoan menikmati pecel semanggi sebagai catatan budaya yang hilang. Karena keberadaanya sekarang tergerus oleh zaman.
Uniknya, destinasi perjalanan Yoan terinspirasi dari catatan buku orang lama. Ia berusaha meresap dengan bingkai kota pada mulanya dan bagaimana orang-orang itu berkembang dari waktu ke waktu.
Dari sanalah kita bisa melihat perjalanan sebuah kota dari masa ke masa.
Penulusuranya sampai pada sebuah buku biografi Jurnalis Indonesia bernama Kwee Thiam Tjing asal Malang yang berjudul Cambuk Berduri.
Buku itu menggambarkan kota Malang sejak masa Hindia Belanda, Jepang, dan agresi militer Belanda pertama.
Diceritakan bahwa ia seorang wartawan yang faseh berbahasa Belanda, Jawa, Madura, dan Hokkian pandai menggunakan bahasa populer dalam penulisanya. Mencerminkan Bahasa Melayu Pasar sangat deskriptif.
Saat di Malang, Yoan juga menyempatkan ke lokasi pembantaian Tiong Hoa di Mergosono pada tahun 1947. Ia berhasil menghimpun cerita sejarah itu setelah mewawancarai Oma yang ia temui di kawasan pecinaan.
Alhasil pun mereka berteman, Yoan juga diizinkan untuk beristirahat di kedainya.
Menurut Yoan dalam pemaparanya, sebuah kota selalu memiliki jiwa yang bersemayam dari zaman dahulu kala. Itulah mengapa ia mencintai sejarah kota supaya menjadi inspirasi perjalanannya.
"Sebuah kota itu berdiri selalu punya jiwa, bersemayam di bangunan lama kotanya. Entah itu di Jakarta, Semarang, Jogja, Surabaya, dan Malangitu. Para perancang kota sudah menanamkanya. dari situ kita bisa melihat kembali bagaiamana kondisinya, apakah masih seperti dulu apa sudah berubah," ucap Yoan (12/04/2020).
Pada pandemi ini, Yoan mengatakan bahwa para pejalan tertekan dalam keadaan yang tak bebas ke sana kemari. Namun, menurutnya justru inilah kesempatan bagi para pejalan untuk mendalami riset perjalanan mereka.
"Pejalan dari kursi, tentu kita sangat tertekan sebagi pejalan biasanya kita bisa kemana kemari dengan bebas, untuk beberapa waktu ini kita berada di rumah. Para pejalan bisa melakukan riset yang lebih dalam untuk perjalanan. Siapkan referensi buku biografi mungkin ada perjalanan napak tilas atau cerita sebuah desa yang bisa menginspirasi kita. Kita punya rencana perjalanan yang bisa lebih baik lagi," tutup Yoan.
Baca Juga: Tengkorak 'Broken Hill' Mengevaluasi Proses Evolusi Manusia Modern
Ricky Martin, Photographer National Geographic Indonesia mengatakan bahwa seluruh tempat di Indonesia menarik dan berkesan. Tiap kali selesai menjelajah karena tugas ia merasa harus kembali lagi ke tempat penjelajahanya karena menjalin suatu komunikasi yang erat dengan orang setempat.
Misalnya saat penugasan ke Asmat, Papua. Ricky menuturkan bahwa warga di sana sangatlah ramah, justru lebih ramah dari orang kota. Namun, perjalanan itu tentu perlu etika.
Ricky mengatakan bahwa seorang pejalan harus mengetahui kapan ia masuk untuk membaur dengan budaya setempat, bahkan membantu mereka memecahkan masalah.
"Entitas sebuah destinasi ialah kita berada di luar bingkai. Tentunya kita harus masuk dulu ke bingkai, ternyata masalahnya A ,B, C, D. Kalau sudah tahu baru coba kita bantu misalnya seperti masalah sanitasi atau pendidikan. Kita tidak bisa menjawab masalah di suatu destinasi saat itu juga," ucap Ricky pada pemaparanya.
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR