Sayap burung hantu memiliki bulu dengan ujung yang tajam, yang biasa disebut gerigi, yang terletak di sepanjang bagian depannya, yang bersentuhan dengan udara selama mereka terbang. Gerigi inilah yang memecah turbulensi udara yang biasanya menyebabkan suara kepakan sayap yang pada akhirnya mengurangi kebisingan yang dihasilkan selama mereka terbang.
Struktur di ujung sayap burung hantu yang berbentuk rumbaian semakin mengurangi kebisingan dengan cara menyebarkan turbulensi yang terjadi secara cepat dan efektif. Ketika sedang terbang meluncur, gerigi dan rumbai ini sangat berkontribusi dalam menciptakan ketenangan pada saat burung hantu sedang berburu.
Dengan menjadikan teknik terbang secara diam-diam yang dilakukan burung hantu sebagai acuan, para peneliti berusaha untuk menggunakan struktur serupa untuk mengurangi kebisingan yang dihasilkan oleh kincir angin dan kipas angin yang akan meningkatkan efisiensinya.
Menerapkan struktur bulu burung hantu ke dalam desain teknologi turbin modern juga dapat meningkatkan efisiensi dalam mengkonversi energi angin. Hal ini membuktikan keefektifan yang dapat dicapai jika kita dapat mengintegrasikan dunia alami dan teknologi.
Baca Juga: Video Ini Tunjukkan Betapa Mudahnya Virus Menyebar Lewat Benda Sekitar
Keunikan dari cara terbang burung kolibri dan burung hantu yang telah dijelaskan di atas hanya sebagian kecil dari kemungkinan-kemungkinan munculnya temuan lainnya yang terinspirasi dari alam pada masa depan.
Contoh biomimikri lainnya dapat dilihat pada teknologi pencegah gegar otak yang terinspirasi dari burung pelatuk, desain kereta yang dirancang sesuai dengan bentuk paruh burung raja udang, dan juga teknologi laser yang terinspirasi dari bulu burung yang berwarna-warni.
Alam memang telah menjadi inspirasi dari berbagai kemajuan di bidang teknologi. Maka dari itu, penting bagi kita untuk tetap melanjutkan eksplorasi mengenai berbagai sistem alam yang menakjubkan lainnya yang tersedia di bumi ini.
Diva Tasya Belinda Rauf menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Penulis: Ilias Berberi, PhD Student, Biology, Carleton University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR