Bukan rahasia umum, bila dokter-dokter Eropa lebih memilih mengobati sesamanya, atau para pasien dari kalangan berada. Hal ini menjadikan motivasi tersendiri bagi dokter alumnus pemberantasan pes seperti Dokter Tjip dan Dokter Soetomo (1888-1938) untuk memberi pelayanan kesehatan gratis kepada mereka yang tidak mampu. Bahkan, mereka turut memberi ongkos membeli obat kepada si pasien.
Pesjati memiliki hubungan keluarga dengan Dokter Soetomo, yang akrab disapa Pak Tom. Pamannya, Dokter Goenawan Mangoenkoesoemo (1889-1929) menikah dengan Raden Ayu Sriati, adik Pak Tom. Pesjati juga akrab dengan adik-adik Pak Tom hingga usia senja mereka, seperti Siti Oemiati dan Siti Soendari.
Pak Tom dan Dokter Goenawan merupakan sahabat karib. Keduanya lulus dari STOVIA tanpa ujian pada 11 April 1911. Pasalnya, ketika itu kebutuhan tenaga medis begitu mendesak untuk penanganan pagebluk pes di Malang. Kita mengenal keduanya sebagai pendiri Boedi Oetomo.
Teman-teman seangkatan mereka antara lain Dokter J.A. Latumeten (1888-1948) yang kelak menjadi Direktur Rumah Sakit Jiwa Bogor dan Lawang, Malang; Dokter Mas Mohammad Soeleiman (1886-1941) yang memiliki putri bernama Sulianti Saroso (1917-1991). Kelak namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, salah satu pusat rujukan nasional penanganan pagebluk Covid-19; dan Dokter Mas Mohammad Saleh (1888-1952) yang namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Daerah Probolinggo. Adapun putra Dokter Saleh, yakni Abdul Rahman Saleh (1909-1947), dikenal sebagai tokoh militer angkatan udara yang namanya diabadikan sebagai bandara Malang. Sementara itu nama menantu Dokter Goenawan diabadikan sebagai Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Dr. S Hardjolukito di Yogyakarta.
Memori yang Menubuh
Pesjati tumbuh berkembang dalam periode kebangkitan nasional dan derap zaman pergerakan. Zaman itu timbul sebagai respon ketidak-adilan pemerintah kolonial yang rasialis dan bersendikan kapitalisme belaka. Pesjati turut mengikuti ayahnya dari satu pembuangan ke pembuangan yang lain, terkecuali saat Dokter Tjip dibuang ke Belanda, 1913-1914. Sepanjang tahun itu Pesjati kecil dititipkan kepada sanak keluarga Dokter Tjip di Purworejo.
Pesjati bersama Nyonya Marie de Vogel, istri Dokter Tjip yang akrab disapa Mien, ikut dalam pembuangan di Bandung dan Banda Neira. Pesjati lantas dikirim ke Pulau Jawa guna melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kepandaian Putri. Setelah dewasa, namanya berganti dengan Pestiati.
Baca Juga: Aspek Mesianik dalam Riwayat Pagebluk Kita: Akankah Berulang?
Di Surabaya, pada 24 Juli 1977, Pesjati bercerita kepada Soegeng Reksodihardjo, dosen sejarah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dia mengisahkan bahwa harta satu-satunya sang ayah ialah koleksi bukunya. Buku-buku itu menemani Dokter Tjip di pengasingan. Bila ia dipindahkan, buku-buku itu disimpan dan dikirim dalam peti-peti.
Pada 1937, Pesjati menikah dengan Pratomo, seorang pangreh praja. Sejak saat itu namanya menjadi Pestiati Pratomo. Dokter Tjip bertindak sebagai wali nikah anak gadisnya itu. Pada tahun yang sama Pestiati dikarunia putri pertama. Kemudian lahirlah Sri Parwati, putri kedua yang lahir pada 1940. Putra ketiga lahir pada 1942. Ketiga anak Pesjati itu lahir di Pacitan, daerah penugasan suaminya.
Pesjati bersama keluarga kecilnya mengunjungi Dokter Tjip dan Ny. Mien di Meester Cornelis (Jatinegara, Jakarta sekarang) sesudah melahirkan anak ketiga, 1942. Dokter Tjip dan istrinya tinggal di sebuah rumah tumpangan. Dokter Tjip masih sempat bertemu dan bermain dengan para cucunya tersebut, salah satunya Sri Parwati.
Penulis | : | FX Domini BB Hera |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR