Nationalgeographic.co.id— Sri Parwati memang bukan selebritas. Sosoknya tidak pernah tampil di muka publik. Bahkan, terlewat dalam gegap gempita sejarah kita. Namun, dia menyimpan cerita tentang ibunda dan kakeknya terkait riwayat pagebluk pes pertama di Hindia Belanda.
Ibunda Sri lahir di Malang, tepatnya pada 1910. Kelahirannya diikuti peristiwa misterius: satu per satu warga kampungnya tewas. Belakangan, teka-teki itu tersingkap pada Maret 1911, ketika pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa Malang telah menjadi pusat episentrum pagebluk pes. Sayangnya, saat pernyataan dirilis, pagebluk itu telah menjalar-jalar tak terkendali dan mencabut banyak nyawa.
Seorang dokter kelahiran Japara merasa terpanggil untuk merawat warga terjangkit pagebluk. Dia memberanikan diri menjadi sukarelawan medis untuk penugasan di Malang. Kendati tanpa alat pelindung diri yang memadai, dia tetap bekerja mendatangi kampung-kampung episentrum pagebluk. Dia memang mempertaruhkan nyawanya sendiri. Nekat!
Ketika memasuki salah satu kampung, sang dokter menjumpai bayi yang berusia kira-kira setahun. Bayi yang malang, lantaran nyawa kedua orang tuanya tidak dapat diselamatkan. Atas dasar kemanusiaan, sang dokter menyelamatkan si bayi malang, dan mengangkatnya sebagai anak. Dia memberi nama Pesjati—ejaan sekarang Pesyati.
Orang-orang menyapanya dengan panggilan Dokter Tjip, lulusan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Dia juga dikenang sebagai komisaris perdana Boedi Oetomo. Nama lengkapnya Tjipto Mangoenkoesoemo (1885-1943). Saya mendapat catatan silsilah keluarganya, Tjipto lahir pada 1885, bukan 1886 seperti yang tersiar kepada publik.
Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda
Pesjati. Penamaan itu bukan sekadar pemberian nama sebagaimana orang-orang Jawa mengabadikan peristiwa besar yang melatari kelahiran bayi. Nama itu merupakan pernyataan sikap seorang Tjip yang terpanggil mengabdikan dirinya bagi tatanan kesehatan masyarakatnya. Sebagai seorang dokter, kala itu dia mendiagnosis bahwa masyarakatnya sakit, bangkrut, dan dekaden.
Sejarawan Martina Safitry dan Syefri Luwis mencatat pada tahun tersebut di Malang terdapat 2.100 kasus korban meninggal dunia dari total 2.300 kasus. Syefri Luwis menduga bahwa jumlah angka korban itu direduksi oleh pemerintah kolonial lantaran ketidak-mampuan mereka mengatasi epidemi tersebut.
Diagnosisnya muncul di pelbagai surat kabar maupun brosur. Tulisan-tulisannya membuat murka pejabat sampai para priyayi birokrat. Sejarawan Peter Kasenda (1957-2018) menggambarkan dengan baik betapa Dokter Tjip mengkritik mereka yang “angkuh dalam budaya” dan “pengecut secara politik”.
Ketika di Kepanjen pada 1912, Dokter Tjip menerbitkan sebuah brosur sepanjang 13 halaman. Judulnya ‘Open Brief aan Mijne Landgenoten’—artinya surat terbuka kepada segenap penghuni negeriku. Dia menyuarakan kritik dan keprihatinan mendalam tentang derita rakyat akibat pagebluk.
Tidak ada wabah yang tidak menimbulkan multiefek. Masih di tahun yang sama, ia turut mendirikan KARTINI CLUB di Malang sebagai wadah strategis pemajuan isu pendidikan yang sangat terbatas bagi bumiputra. Dia mendirikannya sebelum pindah ke Bandung untuk ikut mendirikan Indische Partij.
Dokter Tjip konsisten menyuarakan kasus pagebluk pes hingga dalam masa pembuangannya sekalipun. Pada 10 Januari 1914 di Den Haag, jantung Negeri Belanda, dia tetap berapi-api berceramah dengan tajuk Wabah Pes dan Cara Pemberantasannya.
Tak berhenti sampai di situ. Dia ditunjuk sebagai salah satu anggota perdana parlemen kolonial, Volksraad, dari kalangan bumiputra pada 1918. Tahun yang dikenang dunia sebagai awal pandemi influenza. Pada akhirnya, pandemi ini sampai juga ke Hindia Belanda, menjangkiti dan membinasakan jutaan penghuninya.
Kisah Pesjati dan Dokter Tjip tentu menjadi memori yang menubuh bagi Sri Parwati serta seluruh keluarganya. Sejarah kecil ini turut menjadi ingatan kolektif dari sejarah Indonesia, ketika negeri ini berada di tengah-tengah pagebluk Covid-19.
Anak Pesjati, Sri Parwati telah purna tugas sebagai abdi negara di Kementerian Kesehatan pada dua dekade silam. Dia bertugas dalam Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Sri lulusan psikologi Universitas Padjajaran Bandung dan alumnus master of public health dari Loma Linda University, Amerika Serikat. Tugas dan kewajibannya pada sebuah institusi yang melakukan pengendalian dan pemberantasan penyakit menular, bukanlah sebuah kebetulan belaka. Ini sudah menjadi takdir hidupnya.
Politik Etis Minus Kesehatan Publik
Pesjati hidup panjang hingga berusia 95 tahun. Dia menjadi saksi hidup dari perjalanan ayahnya sekaligus terlibat dalam perjalanan bangsanya. Dia lahir di tengah-tengah ironi sebuah masa. Politik etis yang didorong kalangan politisi sosialis demokrat Belanda tampaknya tidak memasukkan aspek kesehatan publik sebagai prioritas. Padahal, kebijakan ini berlandaskan hutang budi Belanda terhadap rakyat jajahannya.
Politik Etis bergulir semenjak pidato Ratu Wilhelmina (1880-1962) pada 1901. Kebijakan ini berfokus pada kesejahteraan bumiputra pada tiga aspek utama: edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Minus sektor kesehatan publik.
Akibatnya nahas. Dari wabah satu ke wabah yang lain justru kalangan bumiputra menjadi kaum yang paling menderita, rawan, rentan, dan rapuh. Jumlah dokter begitu minim, apalagi ketiadaan rumah sakit yang layak dan ramah bagi semua kalangan.
Dalam pagebluk pes pertama di Hindia Belanda, sedikit dokter Belanda yang berani turun tangan ke Malang. Mereka takut dengan memori pes Eropa abad ke-17, yang hampir menghabisi seluruh populasi. Sejatinya mereka enggan dan jijik untuk mengurusi kalangan bumiputra. Stigma bumiputra adalah kaum miskin, kumuh, dan abai sanitasi. Dengan kata lain, mereka menempatkan pandangan rasial bahwa bumiputra sebagai biang penyakit.
Baca Juga: Hoaks, Xenofobia, dan Rasialisme dalam Sejarah Pagebluk Indonesia
Bukan rahasia umum, bila dokter-dokter Eropa lebih memilih mengobati sesamanya, atau para pasien dari kalangan berada. Hal ini menjadikan motivasi tersendiri bagi dokter alumnus pemberantasan pes seperti Dokter Tjip dan Dokter Soetomo (1888-1938) untuk memberi pelayanan kesehatan gratis kepada mereka yang tidak mampu. Bahkan, mereka turut memberi ongkos membeli obat kepada si pasien.
Pesjati memiliki hubungan keluarga dengan Dokter Soetomo, yang akrab disapa Pak Tom. Pamannya, Dokter Goenawan Mangoenkoesoemo (1889-1929) menikah dengan Raden Ayu Sriati, adik Pak Tom. Pesjati juga akrab dengan adik-adik Pak Tom hingga usia senja mereka, seperti Siti Oemiati dan Siti Soendari.
Pak Tom dan Dokter Goenawan merupakan sahabat karib. Keduanya lulus dari STOVIA tanpa ujian pada 11 April 1911. Pasalnya, ketika itu kebutuhan tenaga medis begitu mendesak untuk penanganan pagebluk pes di Malang. Kita mengenal keduanya sebagai pendiri Boedi Oetomo.
Teman-teman seangkatan mereka antara lain Dokter J.A. Latumeten (1888-1948) yang kelak menjadi Direktur Rumah Sakit Jiwa Bogor dan Lawang, Malang; Dokter Mas Mohammad Soeleiman (1886-1941) yang memiliki putri bernama Sulianti Saroso (1917-1991). Kelak namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, salah satu pusat rujukan nasional penanganan pagebluk Covid-19; dan Dokter Mas Mohammad Saleh (1888-1952) yang namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Daerah Probolinggo. Adapun putra Dokter Saleh, yakni Abdul Rahman Saleh (1909-1947), dikenal sebagai tokoh militer angkatan udara yang namanya diabadikan sebagai bandara Malang. Sementara itu nama menantu Dokter Goenawan diabadikan sebagai Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Dr. S Hardjolukito di Yogyakarta.
Memori yang Menubuh
Pesjati tumbuh berkembang dalam periode kebangkitan nasional dan derap zaman pergerakan. Zaman itu timbul sebagai respon ketidak-adilan pemerintah kolonial yang rasialis dan bersendikan kapitalisme belaka. Pesjati turut mengikuti ayahnya dari satu pembuangan ke pembuangan yang lain, terkecuali saat Dokter Tjip dibuang ke Belanda, 1913-1914. Sepanjang tahun itu Pesjati kecil dititipkan kepada sanak keluarga Dokter Tjip di Purworejo.
Pesjati bersama Nyonya Marie de Vogel, istri Dokter Tjip yang akrab disapa Mien, ikut dalam pembuangan di Bandung dan Banda Neira. Pesjati lantas dikirim ke Pulau Jawa guna melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kepandaian Putri. Setelah dewasa, namanya berganti dengan Pestiati.
Baca Juga: Aspek Mesianik dalam Riwayat Pagebluk Kita: Akankah Berulang?
Di Surabaya, pada 24 Juli 1977, Pesjati bercerita kepada Soegeng Reksodihardjo, dosen sejarah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dia mengisahkan bahwa harta satu-satunya sang ayah ialah koleksi bukunya. Buku-buku itu menemani Dokter Tjip di pengasingan. Bila ia dipindahkan, buku-buku itu disimpan dan dikirim dalam peti-peti.
Pada 1937, Pesjati menikah dengan Pratomo, seorang pangreh praja. Sejak saat itu namanya menjadi Pestiati Pratomo. Dokter Tjip bertindak sebagai wali nikah anak gadisnya itu. Pada tahun yang sama Pestiati dikarunia putri pertama. Kemudian lahirlah Sri Parwati, putri kedua yang lahir pada 1940. Putra ketiga lahir pada 1942. Ketiga anak Pesjati itu lahir di Pacitan, daerah penugasan suaminya.
Pesjati bersama keluarga kecilnya mengunjungi Dokter Tjip dan Ny. Mien di Meester Cornelis (Jatinegara, Jakarta sekarang) sesudah melahirkan anak ketiga, 1942. Dokter Tjip dan istrinya tinggal di sebuah rumah tumpangan. Dokter Tjip masih sempat bertemu dan bermain dengan para cucunya tersebut, salah satunya Sri Parwati.
Mereka semua sempat berfoto bersama. Foto itu menjadi foto keluarga terakhir bagi Dokter Tjip bersama keluarga Pestiati. Tampak dalam foto itu, Dokter Tjip berbusana serba putih. Persis seperti potret resminya semasa menjadi dokter pemberantas pes di Malang pada 1911, ketika ia menemukan bayi malang Pestiati.
Setahun berikutnya, Dokter Tjip berpulang. Jenazahnya diangkut ke Watu Ceper, Ambarawa untuk dimakamkan di pusara keluarga. Kelak, saat Pestiati wafat pada 2005, perempuan sepuh itu dimakamkan di belakang makam sang ayah.
Pratomo, suami Pestiati meninggal pada 1955. Sejak saat itu, Pestiati bergiat membesarkan keenam anaknya. Ia bekerja sebagai ibu pengasuh Asrama Putri Ekanita Universitas Airlangga, Surabaya. Hanifditya, putra Sri Parwati dan cucu Pestiati, mengalami betapa sang nenek terus aktif bergiat hingga berusia 89 tahun.
Salah satunya ketika mereka mengunjungi kembali rumah pengasingan Dokter Tjip di Banda Neira tahun 1990. Mereka tidak sendirian, turut serta dalam rombongan Poppy Sjahrir (1920-1999), Rahmi Hatta (1926-1999), Hartini Sukarno (1924-2002), Megawati Sukarnoputri hingga keluarga Mr. Iwa Kusuma Sumantri (1899-1971). Rombongan itu napak tilas ke rumah-rumah tokoh bangsa yang lain semasa pembuangan kolonial di Banda Neira dengan ditemani Des Alwi (1927-2010), tokoh masyarakat Banda Neira sekaligus anak didik Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta.
Hanifditya menuturkan bahwa Dokter Tjip, kakek buyutnya, tidak meninggalkan harta duniawi bagi keluarga. Harta berharga yang sejati bagi Hanifditya ialah nilai keteladanan kakek buyut mengenai kemanusiaan berikut perjuangan politik kebangsaan serta kisah neneknya. Keteladanan itu tampaknya telah menubuh dalam keluarganya, sebagaimana mewujud dalam profesi ibunya, Sri Parwati, yang bekerja dalam pengendalian penyakit menular.
Sekalipun Sukarno mengangkat Dokter Tjip sebagai pahlawan nasional pada 2 Mei 1964 ,namun Pestiati baru sah diakui negara sebagai ahli waris Dokter Tjip pada dekade 1970-an.
Pestiati menjadi perempuan tangguh yang ditempa rangkaian zaman. Dia lahir dan diselamatkan di tengah-tengah pagebluk. Dia ikut ayahnya berpindah-pindah sebagai tahanan politik, hingga membesarkan enam anak sepeninggal sang suami.
Epilog
Masa-masa terpenting dalam sejarah itu boleh jadi ditandai dalam masa-masa yang penuh kesukaran. Dan, saya pikir, Pestiati telah melalui masa-masa itu dengan kebesaran jiwa. Pagebluk membuatnya diangkat anak, ikut dalam pembuangan orang tua angkatnya, ditinggal wafat suaminya, dan membesarkan anak-anaknya seorang diri.
Tjipto dan Pestiati telah menjadi bagian sejarah bangsa ini. Kini, dalam masa pagebluk Covid-19, kisah hidup mereka terdengar lagi. Rakyat kebanyakan senantiasa menjadi bulan-bulanan pagebluk. Pesjati dan kisahnya tidak boleh terulang pada Pesjati-pesjati lain di masa Republik Indonesia. Pestiati menjadi peringatan akan infrastruktur mitigasi wabah berbasis sejarah.
Penulis | : | FX Domini BB Hera |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR