Nationalgeographic.co.id–Sejak kemerdekaannya, Indonesia sudah melakukan nasionalisasi beberapa instansi dari masa Hindia-Belanda. Nasionalisasi ini tak hanya berpengaruh secara industri, bisnis, dan ekonomi saja, melainkan dari segi sosial juga mempengaruhi keberadaan masyarakat sipil Belanda yang telah lama tinggal di negeri.
Nasionalisasi perusahaan Belanda sudah ada, bahkan pasca proklamasi 1945. Usaha secara radikal oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia, menurut Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 7: Pascarevolusi, terjadi setelah hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang justru melindungi kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia.
Baca Juga: Bagaimana Cara Belanda Menanggapi Sejarah Kemerdekaan Indonesia?
Sebagai lanjutan dari KMB mengenai Papua yang akan dibahas pada tingkat internasional, sejarawan M. C. Ricklefs menulis dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200, bahwa hasil perundingan PBB pada 29 November 1957 terkait Papua tetap berada di pangkuan Belanda membuat Sukarno kecewa, dan mendorong radikalisme anti Belanda dengan memerintahkan Kementerian Hukum untuk mengusir 46.000 warga Belanda di Indonesia.
Linblad Thomas mengungkapkan melalui tulisannya, The Importance of Indonesiasi during the Transition from the 1930’s to 1950’s, Sukarno mengancam akan menghentikan semua perdagangan dengan Belanda jika Papua tidak diserahkan ke Indonesia. Tindakan militan Sukarno tersebut dikecam oleh Mohammad Hatta, hingga akhirnya ia mengundurkan diri membiarkan pemerintahan berada di masa Demokrasi Terpimpin di bawah sikap Sukarno.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Tindakan Sukarno memperkeruh hubungan Indonesia dengan Belanda, yang mencoba mempertahankan perusahaannya dan pengaruhnya di Papua. Maka serikat bekerja pada 3 Desember 1957, mulai mengambil alih perushaan dan kantor bisnis Belanda di Jakarta, dan mulai menjalar ke penjuru negeri hingga kerusuhan terjadi.
Sejarawan Utrecht University, Hans Meijer menyebutkan dalam Den Haag-Djakarta de Nederlands-Indonesische Betrekkingen 1950‐1962, beberapa perusahaan yang sebelumnya dimiliki Belanda mulai dipasang papan ‘Milik RI’, dan memaksa direktur, pemilik, dan manajemen perusahaan-perusahaan tersebut menyerahkan kuncinya. Pengawasan nasionalisasi ini dipimpin oleh Jenderal AH Nasution.
Kondisi hubungan Indonesia-Belanda kian rumit, bahkan pada 5 Desember yang biasanya merayakan hari untuk Sinterklas oleh masyarakat Belanda, menjadi hampa karena dilarang pula oleh presiden Sukarno. Peristiwa pada tahun itu dikenang sebagai Zwarte Sinterklaas (Sinterklas Hitam).
Momen tersebut tercatat dalam surat kabar Leeuwarder Courant edisi 6 Desember 1957, yang berbunyi:
“Tadi malam, komunitas Belanda yang berjumlah kurang lebih lima puluh ribu orang di Indonesia merayakan pesta adat Sinterklaas dalam suasana yang sangat khusus. Saat para orang tua berusaha mengatasi banjir informasi dari pemerintah Indonesia yang mempengaruhi kehidupan, bisnis, dan masa depan mereka."
"Pikiran masyarakat Belanda bukan lagi pada santa berjanggut putih, tapi dengan karir yang tiba-tiba terputus bagi mayoritas dari mereka yang tinggal di negara tropis ini."
Akibat kekacauan sipil yang ada di Indonesia, Ratu Juliana pun berpidato untuk menghimbau agar semua masyarakat Belanda untuk kembali ke Eropa. Bahkan, ia pun menyebut tragedi itu sebagai ‘pembangkangan semua aturan hukum’.
Baca Juga: Empat Kiat Memotret Keindahan Lampu-lampu Natal di Penjuru Kota
Sejarawan Leiden Unviersity, Thomas J Lindblad, menyebut bahwa masyarakat sipil dan keturunan Belanda pada masa itu sudah menganggap negeri ini sebagai rumahnya sendiri. Barulah pasca pemindahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia pada 1949, mereka mulai meninggalkan Indonesia dan memuncak pada peristiwa Zwarte Sinterklaas.
“Masyarakat Indonesia, bagaimanapun, telah berubah secara radikal. Struktur kolonial lama, dengan perbedaan warna kulit dan kurangnya demokrasi, telah memberi jalan kepada kesetaraan pada masyarakat, setidaknya pada prinsipnya,” tulisnya dilansir dari Historiek.
Baca Juga: Melihat Ulang Bagaimana Sudut Pandang Menjadi Seorang Pejalan
Masyarakat sipil Belanda dan keturunannya berangsur-angsur dari Desember 1957 hingga Agustus 1958 meninggalkan Indonesia, menggunakan transportasi yang disediakan Kerajaan Belanda. Mereka lebih memilih kembali ke tanah moyang mereka di Belanda, karena ketakutan yang mencekam di Indonesia, dan diikuti demonstrasi anti Belanda di mana-mana.
Kisah eksodus masyarakat sipil dan keturunan Belanda pascakemerdekaan Indonesia juga mewarnai latar belakang keluarga di berbagai biografi tokoh internasional seperti seniman Wieteke van Dort (Tante Lien), musisi rock Eddie dan Alexander van Halen, Tielman bersaudara, dan masih banyak lagi.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR