Kirana jamah aku, jamahlah rinduku
Tak akan pernah usai cintaku padamu
Hanya kata yang lugas yang kini tersisa
Kuingin rasakan cinta...
Nationalgeographic.co.id—Ketika mendengarkan kembali Kirana karya Dewa 19 yang rilis pada 1997, imaji saya mengembara memaknai lirik lagu itu. Judulnya yang merupakan suatu nama, dan liriknya bercerita soal penderitaan yang dihadapinya dan kekasihnya, saya teringat akan romansa Panji Semirang.
Legenda itu bertokoh Galuh Candrakirana yang hendak dijodohkan dengan cinta sejatinya, Raden Inu Kertapati. Keduanya saling jatuh cinta dan mendapat restu, terlebih orang tua mereka juga memiliki tujuan untuk menyatukan kerajaan mereka, Kediri dan Jenggala.
Sayangya meski sudah dekat dengan pujaan hatinya sejak kecil, Candrakirana harus diusir oleh ayahnya dari kerajaan. Ia dirundung fitnah karena telah membunuh permaisuri yang sebenarnya adalah taktik licik saudarinya, Galuh Ajeng.
Hilangnya Candrakirana membuat dilema Raden Inu Kertapati sebagai pangeran kerajaan, di satu sisi dia harus tetap menikah. Mempelai perempuannya akan digantikan dengan Galuh Ajeng supaya penyatuan kerajaan berlangsung.
Namun hatinya terus berkata tidak dan lebih memilih berpetulang mencari Candrakirana hingga waktu yang lama.
Baca Juga: Di Balik Cerita Cinta dalam Tradisi Panji yang Selalu Berakhir Bahagia
Sedangkan Galuh Candrakirana berkali-kali menyamar di antara masyarakat sebagai perampok bernama Panji Semirang, dan pelantun syair dengan nama Wargo Asmoro. Selain hilang dan penyamaran yang berkali-kali itu, tentu membuat Raden Inu Kertapati sukar menemukannya.
Secara makna, budaya Panji yang memiliki ragam kisah itu mengandung pesan politik yang merakyat, kesetiaan, dan keteguhan. Ceritanya juga menggambarkan kesetaraan gender dan kasih.
"Saat Sekartaji (nama lain Candrakirana) menghilang dia jadi lelaki, dan cross gender sebagai Panji Semirang," ungkap pegiat dan peneliti seni, Purnawan Andra. "Saya memaknainya kalau isu cross gender yang sudah diangkat pada masanya."
Ia mengungkapkan, bahwa kebudayaan Panji ini sangat tampak kemunculannya di masa-masa akhir Majapahit.
Kendati demikian, budaya Panji itu ternyata tidak mutlak pada satu kejadian di masa lalu seperti penyatuan Kediri dan Jenggala. Melainkan ia tumbuh pada tempat dan waktu tertentu yang dapat dirujuk sebagai latar belakang kisahnya.
Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa
Misal, dalam konteks Majapahit juga mempengaruhi kisahnya. Kisah cinta dua kerajaan itu dapat disangkut-pautkan dengan kisah Hayam Wuruk yang hendak menikahi Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda.
Pada segi tempat, pun segala tempat dapat berkreasi dan tak mutlak milik masyarakat Jawa Timur saja. Setiap tempat memiliki naskah, varian cerita, pemahaman dan pembahasaannya sendiri.
"Kalau ditanya soal orisinil [versi] yang mana, semua orisinil," terang pegiat budaya Panji, Henri Nurcahyo. "Itu enggak ada satupun yang asli lalu diduplikat, cuma versi itu beda-beda lalu berkembang di daerah-daerah kemudian beradaptasi menyatu dengan budaya setempat."
Varian ceritanya yang beragam, membuatnya alur ceritanya tak ada yang pasti. Ada yang menggunakan sudut pandang tokoh lelaki, ada pula yang perempuan.
Tetapi yang jelas satu dari sekian kisah dari Panji, belum tentu dapat diterima oleh budaya daerah lainnya yang dipengaruhinya. Sebab "kreativitas dan persepsinya dari segi [budaya] masyarakat sebagai penikmat dan penulisnya, itu bisa berbeda dari daerah lain," terang Andra.
Itu pula alasan mengapa belum banyak cerita yang dapat diangkat lewat pengemasan seni lainnya. Selain karena ragam varian cerita, juga karena belum tentu sesuai dengan budaya dimana pengemasan itu berkembang.
Henri dan Andra sepakat, bahwa budaya Panji yang berkembang pada masanya murni milik Asia Tenggara terlepas dari pengaruh budaya luar. Panji muncul dan berkutat ketika kisah Ramayana dan Mahabarata dari India menjadi populer di Asia Tenggara.
Lagipula, Andra menambahkan, uniknya budaya Panji terletak pada posisi politik tokohnya yang tak terpusat seputar istana. Ia membandingkan dengan Mahabarata yang kisahnya berpusat pada urusan istana dengan kerajaan lain.
"Okelah kalau dia [Inu Kertapati itu seorang] Pangeran--orang istana. Tapi dia hadir di masyarakat dengan beralih peran, mengembara, bertemu orang-orang, jadi dirinya sendiri, pemahat, sirkus, penari, jadi banci. Artinya cerita-cerita itu terjadi dari bawah, merakyat," papar Andra.
Baca Juga: Topeng Malang yang Tergerus Zaman
Berkat tersebarnya budaya Panji yang ada di seluruh Asia Tenggara, memberikan makna tersendiri pada kacamata budaya dan sejarah. Melalui sisi budaya dapat dilihat betapa universalnya cerita itu pada masyarakat setempat.
Ketika kisah itu menyatu dengan budaya masyarakat di suatu daerah, ia juga melahirkan tafsir yang beragam, seperti makna cinta dan filosofisnya.
"Ketika dia [budaya Panji] berada di penghujung Majapahit, dia menyebar lagi karena pelarian masyarakat Hindu-Buddha," katanya.
Dia menyebutkan dalam konteks sejarah budaya terdapat satu petunjuk bahwa tersebarnya Panji ialah lewat jalur perdagangan. Lewat pengangkutan rempah dari Nusantara, kisah itu masuk dalam jalurnya oleh masyarakat yang bermigrasi. Lalu tersebar ke negeri lainnya di Asia Tenggara.
Adrian Vickers lewat buku Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, kisah ini dianggap sebagai khazanah peradaban pesisir Asia Tenggara, sebagai akibat penyebaran lewat jalur perdagangan laut.
Sosok Inu Kertapati juga terbawa seperti lafal nama "Inao" di kerajaan Ayuthayya (kini Thailand). Raja Rama II, dalam Britannica, menganggap Inao ini adalah kisah tradisional dramatis yang populer di jiwa masyarakatnya lewat drama-tari seperti Sang Thong.
Panji juga telah terbang melintasi samudera ke benua Eropa, lewat pementasannya di beberapa negara, seperti yang dilakukan peneliti budaya Lydia Kieven, bersama seniman Agus Bima Prayitna.
Kieven dalam webinar Kelana Panji di Eropa juga mengakui, bila dirinya memperkenalkan Panji lewat berbagai ceramah pengenalan budaya di Eropa.
Sedangkan secara naskah, budaya Panji banyak diarsipkan di University of Leiden yang dikoleksi sejak abad XVII. Sehingga, menurut Rogert Tol dari institusi itu, Panji cukup terkenal terutama di kalangan akademis dan pustakawan.
Di Nusantara, kisah itu lebih sering dikemas dalam seni topeng dari berupa topeng hias di Jogja, hingga topeng kesenian raga sepeti yang kekhasan Cirebon. Seni topeng pun menjadi wadah pengemasan yang sangat identik dengan Panji.
"Ini yang menarik, ciri khas Panji adalah topeng yang dipakai setiap tokoh-tokohnya yang mempunyai karakter tersendiri," ungkap Purnawan Andra ketika dihubungi. "Kesenian topeng itu lahir sebenarnya saling melengkapi dengan budaya panji."
Baca Juga: Kisah Nyata Kehidupan Pocahontas yang Tak Diungkap Film Animasi Disney
Menghadapi zaman modern, bukanlah penghalang bagi budaya Panji, ungkap Eka Budianta, budayawan Panji dalam webinar Relevansi dan Aktualisasi Budaya Panji yang digelar Pusat Konservasi Budaya Panji.
Eka menyebut justru kehadiran teknologi dan globalisasi bisa membantu pengemasannya agar lebih diterima masyarakat. Hingga saat ini ada banyak kemasan Panji melalui komik, manga, buku anak-anak, film, topeng, dan animasi.
Untuk lagu pun budaya Panji juga bisa diterapkan lewat lantunan tradisional maupun popular seiring ia semakin membumi.
"Bahkan seperti yang mas (merujuk pada saya) contohkan kalau Kirana dari Dewa 19, barangkali sebagai pendengarnya, itu pun cukup jika mau diacukan pada Candrakirana yang dihubungkan pada konteks pembahasan Panji," kata Andra saat dihubungi.
"Tapi ya, kalau ngomongin motivasi sebenarnya lagu itu, sebaiknya ditanyakan juga ke Ahmad Dhani-nya," sarannya sambil terkekeh.
Pengembangan varian dari segi cerita juga masih berlangsung hingga saat ini. Bahkan saat ini ada pula cerita tentang Panji yang bernuansa perkotaan masa modern.
Baca Juga: Mengapa Semua Orang Membicarakan Club House?
"Cerita dia di masa lalu itu visioner untuk masalah temporer. Misal Timun Mas yang melempar benih yang menjadi lumpur yang menenggelamkan raksasa, itu bisa saja dikaitkan dengan lumpur di Sidoarjo,"
Ia juga menyimpulkan, bila Panji bukanlah sekadar kisah dan legenda belaka. Tetapi karena luasnya cakupan, Panji lebih menyerupai budaya yang terus berkembang. Panji pun masih melanjutkan pengelanaannya sejak dulu hingga di masa mendatang.
Source | : | britannica.com,sumber lain,Podcast |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR