Pihak berwenang merespons, mereka harus membereskan barikade yang menutupi jalan. Tak berselang lama, demonstran kembali. Suster Ann mengungkapkan, sekitar pukul 12.00 waktu setempat, aparat kembali datang dan bersiap untuk menindak aksi.
Biarawati berusia 45 tahun itu kembali memohon, kali ini dia berlutut dan meminta agar mereka tak menyiksa massa. "Polisi juga ikut berlutut, dan menjawab mereka hanya melakukan itu demi membubarkan aksi protes," jelasnya.
Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun
Setelah permohonan itu, dia mendengar suara tembakan dan melihat gas air mata sudah berada di jalanan. Suster Ann mengatakan, dia merasa pusing dan kesulitan bernapas saat melihat seorang pria tergeletak di jalanan, tampaknya karena ditembak.
Editor Myitkyina News Journal menjelaskan, pada saat jam makan siang, dia mendapat kabar dua orang tewas. Kachin Waves kemudian merilis foto memilukan yang menunjukkan Suster Ann berdiri di tepi jalan, dengan seseorang terbaring di aspal.
Dalam foto lain yang begitu menyayat hati, dia terlihat menangis saat menyandarkan tubuhnya ke tubuh pria yang ditembak di kepala. Suster Ann mengatakan, karena gas air mata, dia tidak tahu siapa yang sudah menembak pengunjuk rasa. Hanya saja, dia menambahkan bahwa yang melakukan penembakan bukan aparat yang sudah berlutut dan memohon kepadanya.
Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa
"Saya sangat sedih. Polisi sudah memberi tahu saya bahwa mereka tidak akan menembaki. Namun, mereka melakukannya," ratapnya. Dia menuturkan, orang yang ditembak kepalanya sempat bernapas sehingga dia dibawa ke klinik untuk mendapat perawatan sebelum tewas.
Sepekan sebelumnya, Suster Ann mengaku sudah siap untuk mati demi melindungi pengunjuk rasa yang hanya menyuarakan aspirasi. Sejak kudeta yang dilakukan militer pada 1 Februari, sebanyak 56 orang tewas dan 1.790 orang ditahan.
Source | : | Kompas.com,Aljazeera,Sky News,Myitkyina News Journal |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR