Oleh Fadhil Ramadhan
Nationalgeographic.co.id—“Paru-paru dunia bukan lagi Kalimantan, paru-paru dunia kini adalah Papua,” ujar Alex Waisimon (60), pelestari hutan adat Rhepang Muaif, Kecamatan Nimbokrang, Jayapura.
Pada 2014, Alex menyaksikan bahwa kondisi hutan di Papua mulai memprihatinkan. Banyak terjadi ilegal logging dan kondisi hutannya cukup parah. “Kami bahkan tidak melihat adanya habitat di dalam hutan,” jelas Alex.
Alex bercerita bahwa orang-orangnya mengalami masalah penipuan hak-hak tanah yang tanpa sepengetahuan mereka.
“Terkadang keluarga kami tidak tahu menahu bahwa sudah ada izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Padahal keluarga kami, suku kami, semuanya tidak ada yang tahu,” terang Alex. “Hal tersebut membuat keluarga kami mengalami perpecahan. Kami tidak mengetahui siapakah dari keluarga kami yang membuat surat tersebut, dan bagaimana bisa?”
Baca Juga: Tragedi Hancurnya Pusparagam Kehidupan di Bumi
Bagi Alex, hutan harus dipertahankan karena hutan adalah harta dan kekayaan yang kita miliki. Hingga kini Alex terus melakukan reboisasi di kawasan hutan adat Rhepang Muaif dan menjaga habitat burung cendrawasih di sana. Alex membuat hutannya menjadi tempat bagi masa depan anak dan cucunya. “Hutan adalah harta kami, harta orang Papua,” kata Alex.
Kini Alex menjadikan hutannya sebagai ekowisata dan dikembangkan menjadi enam kawasan. Alex juga menjadikan 13 suku di area tersebut tergabung di dalamya. Ekowisata tersebut sekaligus merupakan tempat bagi anak dan cucu mereka bekerja. Alex turut mengusir mereka yang merusak hutannya. Bagi Alex, mencintai alam sama dengan membenci para perusaknya.
Alex terus mengamati hutannya yang dia kelola seluas 150 hektar dan tetap menjaga total luas keseluruhannya seluas 19.000 hektar. Dalam ekowisata yang telah Alex bangun, dia menghadirkan spot bagi para calon wisatawan untuk melakukan bird watching, khususnya burung cendrawasih. Wisatawan yang pernah mengunjungi ekowisata milik Alex tidak hanya wisatawan lokal, namun juga wisatawan mancanegara.
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan
Di hutan adat Repang Muaif, wisatawan dapat melihat sebanyak delapan jenis burung cendrawasih sekaligus kakaktua raja. Ada pula burung kasuari, mambruk, bahkan hewan seperti kuskus pun dapat kita lihat di hutan Repang Muaif.
Hutan Repang Muaif pun sudah membangun kerja sama di bidang pendidikan dengan semua perguruan tinggi di Provinsi Papua. Membangun kerja sama pula dengan perguruan tinggi UGM dan Udayana. Tidak hanya lingkup nasional, negara lain seperti Jerman dan Kanada pun turut membangun kerja sama dengan ekowisata Repang Muaif.
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani
Dalam proses mengembangkan ekowisata tersebut, Alex kerap melibatkan generasi di bawahnya, baik dalam pertemuan maupun dalam pelatihan. Karena bagi Alex, generasi selanjutnyalah yang akan meneruskan menjaga hutan Repang Muaef. Alex juga melibarkan warga setempat salah satunya untuk melestarikan kerajinan membuat noken.
Noken dibuat dari serat kulit pohon yang dipilin lalu dianyam. Bentuknya bisa berukuran kecil maupun besar, baik berupa tas pinggang maupun pakaian. Orang tua dahulu tidak memiliki pakaian dan menggunakan noken untuk menutupi bagian tubuhnya. Proses pengerjaan noken memakan waktu sekitar satu sampai tujuh hari tergantung ukurannya.
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Gerabah-gerabah Abar di Tepian Danau Sentani
Yustina Wouw, pengrajin noken, bercerita bahwa setelah Belanda datang, barulah ada pakaian. Setelah ada pakaian, noken hanyalah dipakai saat berkebun. Budaya menganyam noken diajarkan secara turun temurun dalam lingkup keluarga. Noken memiliki kaitan langsung dengan hutan karena seluruh bahannya berasal dari hutan. “Kalau hutan hilang, noken juga hilang,” ucap Yustina.
Orang Papua hidup dari hutan. Menghancurkan hutan sama dengan menghancurkan hidup orang Papua.
Menurut Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, orang Jakarta selalu salah dalam menilai Papua. Menurutnya, orang Papua tidak pernah diajak berbicara. Semua kunci penyelesaian masalahnya ada di lapangan, di Papua, bukanlah di Jakarta. “Banyak hal yang harus kita benahi,” terang Wiranto kepada National Geographic Indonesia. “Tidak hanya persoalan yang bersifat teknis, tetapi juga persoalan akal dan hati nurani.”
“Kalau ingin menyelesaikan masalah, kita tidak boleh jadi bagian dari masalah tersebut. Sebagaimana kita pun tidak bisa membersihkan lantai dengan sapu yang kotor,” tuturnya. Bagi Wiratno, tidak mudah untuk menempatkan masyarakat asli Papua sebagai subyek. Hal tersebut membutuhkan pendekatan personal agar dapat bekerja sama dan melahirkan rasa saling percaya.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR