Nationalgeographic.co.id—Jika Anda menganggap para pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang sakit jiwa, kemungkinan besar Anda salah. Menurut peneliti dari University of Nottingham di Inggris, para pelaku bom bunuh diri sebenarnya tidak sakit jiwa atau sakit mental dan juga tidak stres atau tertekan.
Menurut studi yang dilakukan Dr. David Stevens dari School of Politics and International Relations di University of Nottingham, para pelaku bom bunuh diri sebenarnya bertindak secara rasional dalam mengejar "keuntungan" yang mereka yakini menjadi bagian dari usaha religius mereka yang keras. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pandangan luas tentang pelaku bom bunuh diri sebagai kaum fanatik agama yang dicuci otaknya, melalui masa muda yang sulit, dan korban kemiskinan, bukanlah pandangan yang akurat.
Stevens berpendapat bahwa meskipun agama memainkan peran sentral dalam memicu aksi bom bunuh diri --tapi ada juga beberapa contoh serangan bunuh diri yang dimotivasi oleh faktor non-agama--, aksi para pelaku bom bunuh diri sebenarnya juga didorong oleh proses berpikir yang rasional. Proses berpikir ini terkait dengan keinginan mereka untuk menjadi bagian kelompok keras yang mendorong anggota untuk tunduk sepenuhnya pada tujuan kolektif kelompok demi solidaritas bersama.
Baca Juga: Kudeta Militer hingga Parpol, Mengapa Banyak Orang Haus Kekuasaan?
Lebih lanjut, studi tersebut menyatakan aksi para pelaku bom bunuh diri itu sebenarnya telah melalui proses "analisis biaya-manfaat sederhana" (“simple cost-benefit analysis”). Para pelaku merasa manfaat atau keuntungan dari aksi bom bunuh diri yang mereka lakukan akan lebih besar daripada biaya atau harga yang harus mereka bayar. Para teroris itu merasa manfaat yang akan mereka dapatkan dalam hal keanggotaan kelompok, pencapaian tujuan kolektif, janji surgawi di akhirat, dan sebagainya sangatlah besar. Jauh lebih besar sehingga lebih besar daripada harga apapun yang timbul dari aksi bunuh diri mereka.
“Dilihat dari sudut pandang ini, bom bunuh diri dapat dijelaskan dalam kerangka tindakan yang dimotivasi secara rasional, dan bukan dalam istilah motif teologis dan/atau irasional,” kata Stevens seperti dilansir Scince Daily. “Untuk mendapatkan manfaat kolektif dari partisipasi dalam kelompok yang ketat membutuhkan pengorbanan diri, seringkali dalam tingkat yang ekstrem."
“Pemboman bunuh diri hanyalah perpanjangan dari pengorbanan diri (dalam kelompok) ini—perpanjangan yang terakhir. Manfaatnya dianggap sangat besar sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut. Untungnya ini hanya terjadi dalam kasus-kasus ekstrem, dalam keadaan-keadaan tertentu."
Baca Juga: Riset Ungkap Bagaimana Medsos Perburuk Kesehatan Mental di Indonesia
Lebih lanjut, mengaitkan aksi bom bunuh diri dengan ajaran agama tertentu bukanlah hal bijak. Sebab sebagian besar atau bahkan hampir semua kelompok agama sebenarnya mengajarkan dan menjalankan kedamaian.
“Kasus bom bunuh diri sebenarnya sangat langka. Jarang, yaitu bila diingat bahwa kelompok-kelompok agama yang ekstrem hanya merupakan sebagian kecil dari kelompok-kelompok agama secara keseluruhan, dan 99,99 persen dari kelompok-kelompok tersebut sebenarnya mencintai perdamaian," ujar Stevens.
“Jadi secara statistik, menemukan satu atau dua orang yang bersedia melakukan pengorbanan seperti itu sangatlah jarang. Namun, mengingat ini adalah bom bunuh diri, jadi ya memang hanya perlu satu atau dua orang."
Stevens juga berpendapat bahwa bertentangan dengan pendapat populer, kemiskinan, isolasi, dan kurangnya pendidikan bukanlah ciri khas dari profil pembom bunuh diri. Mohammad Sidique Khan, misalnya, yang meledakkan dirinya di London pada 7 Juli 2005 sehingga membunuh enam orang lain di sekitarnya, adalah seorang pria berusia 30 tahun yang memiliki sebuah keluarga muda dan bekerja di sekolah dasar untuk anak-anak kebutuhan khusus.
Jadi, ada kesalahpahaman umum juga bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang yang sakit mental atau tidak rasional, tegas Stevens.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Science Daily,University of Nottingham |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR