Nationalgeographic.co.id—Senyuman elok nan misterius dari perempuan bernama Mona Lisa, yang dilukis Leonardo da Vinci, mampu menembus zaman—berabad-abad ke depan. Senyuman Presiden Soeharto yang pernah dicetak pada uang kertas juga mencoba menyampaikan pesan tentang sosok 'Smilling General' itu. Apakah semua orang bisa menebak makna senyuman Mona Lisa dan Soeharto?
“Senyum adalah lengkungan yang meluruskan segalanya,” demikian pemeo lama yang kerap kita dengar. Orang seringkali berkata bahwa kita, orang Indonesia, adalah orang yang ramah dan murah senyum—sekalipun tersenyum kepada orang yang belum kita kenal. Keramahan sebagai warga Indonesia itu ditunjukkan dengan serta-merta mengundang orang untuk mampir ke rumah, dengan menunjukkan senyum.
Apakah senyuman benar-benar membuat seisi dunia berbahagia?
Kuba Krys, seorang ahli psikologi dari Polish Academy of Sciences di Polandia, meneliti tentang senyuman individu yang dihubungkan dengan persepsi kejujuran dan kecerdasan di berbagai negara. Dia menanyakan kepada responden untuk menilai foto-foto yang memperlihatkan ekspresi muka sekelompok orang.
Foto itu terdiri atas delapan orang dari berbagai etnis, yang masing-masing menujukkan dua ekspresi: “sedang tersenyum” dan “tidak sedang tersenyum”. Responden diminta menilai apakah orang yang tersenyum tampak lebih cerdas atau lebih jujur ketimbang orang yang tidak tersenyum, ataukah sebaliknya.
Krys mengumpulkan data tersebut dari 44 budaya yang tersebar di penjuru enam benua, lewat bantuan 38 peneliti setempat—salah satunya peneliti asal Indonesia. Laporan mereka yang bertajuk “Be Careful Where You Smile: Culture Shapes Judgments of Intelligence and Honesty of Smiling Individuals”, terbit di Journal of Nonverbal Behaviour pada 2016.
Setiap budaya memiliki bentuk perilaku sosial yang berbeda sehingga masing-masing memiliki perbedaan perilaku nonverbal dan persepsi sosialnya. Di Rusia terdapat peribahasa bahwa tersenyum tanpa alasan adalah tanda kebodohan. Di Norwegia, ketika orang asing tersenyum kepada warga setempat, maka mereka akan menganggapnya gila. Sementara, kasus yang sama akan dianggap dungu bagi orang Polandia.
Baca Juga: Rajin Tersenyum Bisa Membuat Hidup Kita Lebih Bahagia, Benarkah?
Bahkan, Charles Robert Darwin mengungkapkan dalan bukunya The Expression of The Emotions of Man and Animals, “Terdapat kelas besar lainnya bagi idiot yang selalu riang dan ramah, dan yang tak henti-hentinya tersenyum.”
“Penelitian lintas budaya ini memberi nuansa pencerahan yang mengejutkan hingga kini,” ungkap Krys dalam laporannya, “yang tampak sangat jelas dan nyata dari persepsi senyuman.”
Kendati sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa seseorang yang tersenyum akan dipersepsikan lebih baik, “kami membuktikan bahwa seseorang bisa jadi dicap kurang cerdas ketika tersenyum di beberapa negara tertentu.” Dia menambahkan, “di beberapa negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi, kepercayaan seseorang justru cenderung turun terhadap orang yang tersenyum.”
Penelitian mereka mencoba mengaitkan senyum dan persepsi kecerdasan. Kendati orang tersenyum dianggap dipersepsikan lebih cerdas di 44 budaya, terdapat enam budaya memiliki persepsi bahwa seseorang akan tampak lebih tidak cerdas saat tersenyum. Faktor yang menyebabkan perbedaan persepsi ini bukan soal faktor geografi atau ekonomi, melainkan dimensi budaya.
Di samping itu para peneliti memberikan hubungan antara senyum dan persepsi kejujuran di budaya-budaya yang berbeda. Temuannya, kendati orang tersenyum umumnya dipersepsikan lebih jujur ketimbang yang tidak tersenyum di hampir semua budaya, ada variabilitas budaya yang memengaruhi ukuran dan dampaknya. Semakin besar tingkat korupsi telah menurunkan kepercayaan terhadap orang yang tersenyum.
Apabila dikaji dalam konteks gender, perempuan yang tersenyum cenderung dipersepsikan lebih cerdas dan lebih jujur ketimbang perempuan yang tidak tersenyum.
Namun demikian, perempuan dan lelaki yang tersenyum telah dipersepsikan mempunyai tingkat kejujuran yang sama, perempuan yang tidak tersenyum masih dipersepsikan lebih jujur ketimbang lelaki yang tidak tersenyum.
Baca Juga: Mengapa Orang Zaman Dahulu Tidak Mau Tersenyum Ketika Difoto?
“Di banyak negara, banyak pelamar kerja yang menyertakan foto mereka dalam pose tersenyum,” kata Kuba Krys. “Saat senyum bisa dipersepsikan positif atau negatif, mungkin ini menjadi pengetahuan yang sangat penting untuk para pelamar kerja antarbangsa.”
Hera Lestari Mikarsa, Guru Besar Luar Biasa Bidang Psikologi di Universitas Indonesia, terlibat dalam penelitian Krys. Dia mengatakan “di Indonesia, dalam hal kejujuran, orang menilai individu yang tersenyum adalah cenderung tidak jujur.” Dia menyadari bahwa penilaian responden di Indonesia bisa jadi dipengaruhi keadaan sosial politik. “Mungkin mereka menilai tokoh-tokoh masyarakat dan anggota DPR yang senyum sini senyum sana, tetapi dinilai tidak jujur.”
Barangkali, masayarakat Indonesia menyadari bahwa senyuman belum tentu membuat seisi dunia berbahagia. Kebahagiaan itu tergantung, apakah senyuman itu tulus atau tidak tulus. Hera mengamati senyuman setiap pasangan calon gubernur DKI Jakarta dalam ajang Pilkada beberapa waktu silam. Hasilnya, “Saya kok melihat senyuman salah satu calon itu tidak tulus ya,” ujarnya, “senyuman itu palsu!”
Jangan buang senyum Anda di sembarang tempat karena senyum memiliki berjuta makna di tempat yang berbeda.
Source | : | Polish Academy of Sciences |
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR