Telinga Jan Reerink agaknya mendengar kabar baik itu. Pada 1871 lelaki Belanda ini secara mandiri mencoba mengebor sumber minyak di Cibodas Tangat, Maja, Majalengka, Jawa Barat. Pengeboran Reerink berjalan tersendat-sendat. Selain pengalaman yang minim, alat pengeboran yang digunakan juga masih tradisional.
Untuk menembus lapisan tanah, Reerink memutar pengebornya dengan tenaga hewan—seperti menggiling tebu. Setahun kemudian, upaya pertama itu berhenti. Tak jauh dari titik lubang pertama, Reerink mencoba kembali.
Kendati tak bisa dikatakan berhasil, sumur kedua ini menghasilkan minyak bumi, sekitar 108 kilogram sehari. Sialnya, hasil itu terus menurun, dan Reerink mengakhiri usahanya. Pada masa itu, berburu minyak memang dilakukan secara coba-coba, menebak-nebak letak jantung minyak berada.
Meski begitu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan konsesi pengusahaan minyak bumi untuk Reerink pada 1873. Minyak benar-benar telah memikat hati Reerink.
Baca Juga: Sejarah Perusahaan Global dalam Eksplorasi Minyak di Hindia Belanda
Pengalaman pahit itu merangsangnya untuk belajar lebih jauh ihwal pengobaran minyak bumi. Selama sekira setahun, dia menimba ilmu pengetahuan di Amerika Serikat, yang telah menguasai teknologi eksplorasi.
Kemudian, dia membawa alat yang lebih canggih: bor bermesin uap, setara 15 tenaga kuda. Reerink mencoba kembali menggelar pengeboran di Cirebon pada 1874. Sepanjang tahun itu mata bor berputar relatif lebih cepat.
Sayangnya, hingga akhir 1874 Reerink belum menemukan tanda-tanda kandungan minyak. Keberuntungan rupanya enggan berpihak kepada Reerink. Pengeboran dihentikan. Kendati demikian, Jan Reerink dikenang sebagai pengusaha, pelopor industri perminyakan Hindia Belanda.
Baca Juga: Sepotong Jejak Budaya dan Sejarah Tarakan, Kota Minyak Hindia Belanda
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR