Hutan primitif seluas 184.130 hektare dibagi menjadi 30 paket wilayah, masing-masing terkait dengan panen satu tahun dalam rencana rotasi 30 tahun. Di markas yang terletak jauh di dalam kawasan konsesi, para pengawas berkonsultasi dengan awaknya dalam merencanakan pekerjaan hari tersebut.
Para “penggambar” membungkuk di atas meja rancangan, memperbarui peta hasil rekayasa komputer yang akan dibawa awak ke dalam hutan. Setiap batang pohon yang akan ditebang diberi kode warna sesuai dengan spesies dan diidentifikasi oleh nomor.
Setiap kru beranggotakan dua orang akan menebang sekitar sepuluh pohon saat matahari terbenam. Mereka bekerja menurut garis lurus dalam hutan yang sesuai dengan garis pada peta yang lebih besar. Pohon dewasa pembawa benih, yang akan dibiarkan agar menumbuhkan hutan baru, juga diidentifikasi.
“Kami berusaha sebaik mungkin agar hutan tak terganggu,” kata Geoffrey Venegas, insinyur kehutanan Kosta Rika yang mengawasi penebangan. “Kami sudah sangat maju dibandingkan dengan yang pernah saya saksikan di tempat lain.”
Kami turun dari truk bak terbuka di tempat pengumpulan yang dipenuhi tumpukan kayu gelondongan yang baru ditebang, dengan diameter sekitar satu meter, dari sejumlah pohon bernama asing: chamisa, yacushapana, dan alcanfor moena aromatik.
Hampir tidak ada mahoni di kawasan konsesi CFA. Untuk Venegas, masa depan kayu keras tropis terletak pada pepohonan yang kurang glamor ini. “Kami telah mengidentifikasi 20 spesies pohon yang memiliki potensi komersial,” katanya. “Tahun ini kami menebang 12.”
!break!
Para direktur CFA mengatakan bahwa pemanfaatan beberapa spesies akan meningkatkan nilai hutan, memberikan insentif yang lebih besar untuk mengurusnya, bahkan juga ketika mahoni dan cedar Spanyol sudah habis ditebang.
Tetapi, seperti apakah hutan ini 30 tahun dari sekarang, ketika jalanan dan jejak truk memanjang hingga sudut jauh wilayah konsesi, serta ketika manusia dan mesin kembali ke sini untuk memulai siklus itu kembali? Sudahkah hutan mengalami regenerasi? CFA berani menjaminnya.
“Jika kami dapat melakukannya, seluruh industri kayu di seluruh Peru akan mendapatkan manfaatnya,” ujar manajer penjualan Rick Kellso.
Ketika kembali ke hulu Anak Sungai Mashansho, Edwin Chota Valera dan David Salisbury mengumpulkan suku Ashéninka di sekitar api unggun untuk pertemuan keesokan harinya dengan El Gato. “Dia pasti ingin melihat surat-surat kita,” ujar Salisbury, mengacu ke sertifikasi kepemilikan yang masih tidak dimiliki suku Ashéninka. “Tapi ingat, dia juga tidak memiliki dokumen perizinan.”
Kami memasuki kamp pembalakan pagi-pagi sekali, memasuki gubuk kumuh sebelum ada yang sempat meraih senapannya. Seorang pria berambut pirang yang mengenakan kaos kuning berdiri. Mata hijaunya memancarkan kebingungan. “Kamu El Gato?” tanya Chota.
“Benar,” kata lelaki itu dengan hati-hati. Tanpa perlawanan sedikit pun, dia bersedia meninggalkan tempat ini, tetapi memohon kepada suku Ashéninka untuk diperbolehkan membawa pepohonan yang sudah ditebang di hulu. “Kami hanya buruh yang berusaha mencari makan.”
Chota bergeming. “Keadaan akan menjadi buruk jika kau tetap bertahan di sini,” ujarnya memperingatkan. Pemerintah di Lima, ujar Chota kepadanya, telah menjanjikan masyarakat adat untuk memiliki suara yang lebih besar dalam permasalahan ini.
Akan tetapi, beberapa hari setelah pertemuan kami dengan El Gato, para pengacau mencuri lagi di Saweto dalam kegelapan malam. Mereka juga menyabot tiga perahu motor yang digunakan oleh rombongan Chota. Sebuah pukulan telak bagi masyarakat miskin.
Suku Ashéninka tidak meragukan siapa pelakunya. Di sini, mengadili kejahatan memang persoalan yang sama sekali berbeda.
**Scott Wallace menulis tentang Taman Nasional Yasuni Ekuador dalam edisi Januari. Alex Webb memotret London Timur pada edisi Agustus.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR