Tak perlu waktu lama untuk mencari tanda-tanda ketidakpuasan para komuter pengguna kereta rel listrik (KRL), yang akan menuju tempat kerja mereka di Jakarta. Di peron Stasiun Depok suatu pagi pada pertengahan April lalu, saya mencatat berbagai ekspresi kekesalan ketika mendengar petugas mengumumkan gerbong kereta ekonomi tujuan Tanah Abang masih berada di depo.
Ada yang menghela napas, berdecak keras, sampai mengeluarkan umpatan kotor yang volumenya bisa didengar sesama calon penumpang. Saya berdiri diapit dua perempuan muda bertubuh kecil, mengenakan pakaian kantoran—celana kain, blazer, jilbab, serta riasan mata dan bibir. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 06.15. Beberapa menit kemudian, suara petugas terdengar lagi di pengeras suara. Kali ini memberitahu bahwa gerbong yang kami tunggu sedang menjalani pemeriksaan di depo. Menjelang 06.30, suara yang sama melaporkan bahwa kereta sudah selesai diperiksa dan siap memasuki jalur dua.
Orang-orang yang sebelumnya sudah mengantre mulai merapat. Dan, ketika kereta belum sepenuhnya berhenti, mereka meloncat masuk dengan kelihaian luar biasa. Hanya dalam sepersekian detik mereka bisa menyelisip ke depan pintu, menahan dorongan orang-orang yang berebut masuk di belakang mereka, masuk ke kereta yang masih berjalan, dan langsung mencari tempat duduk. Semuanya terjadi dalam kurang dari 5 detik!
Sebagai “penumpang amatir” pagi itu, saya tak mengharap bisa duduk. Sederetan tempat duduk di satu bagian seluruhnya diisi oleh pria usia 50-an. “Nah, sekarang tinggal tidur,” kata salah seorang dari mereka. Saat mencari tempat berdiri, seorang bapak bangkit dari kursinya, dan saya menyelinap masuk ke tempat duduk yang ia tinggalkan sambil memegang erat dua sisi tas bawaan.
Kereta mulai berjalan. Saya sempat melihat jam. Pukul 06.35.
Selama sembilan tahun tinggal di Jakarta tanpa memiliki kendaraan pribadi, saya sudah merasakan berbagai moda transportasi yang dimiliki kota ini—bus-besar, bus-sedang (seperti Metromini dan Kopaja), angkutan kota, taksi, bus TransJakarta, bajaj, bajaj BBG, ojek motor, sampai ojek sepeda di daerah Jakarta Kota.
Dalam periode waktu itu, saya menyadari bahwa menjadi pengguna kendaraan umum di Jakarta berarti menyerahkan diri pada semacam kegilaan: bus-bus berbagai ukuran dari berbagai perusahaan berbeda yang saya naiki menawarkan bunyi-bunyi dan bentuk fisik yang serupa. Yang paling khas, bunyi gemeretak kaca dan getaran besi setiap kali bergerak. Tempat duduknya tak menawarkan kelegaan buat lutut. Ukuran bangkunya pun membuat kita seolah berada di sebuah negeri yang rata-rata penduduknya berukuran 2/3 tubuh kita. Beradu pundak pun menjadi hal biasa.
Kendaraan umum ibu kota juga berlaku seolah waktu penggunanya tak terbatas, bahwa kami tak lelah, tak ingin cepat sampai di rumah, atau tak punya pekerjaan lain selain menunggu mereka untuk segera berjalan.
Namun, menuju tengah kota menggunakan kereta adalah sebuah pengalaman baru buat saya. Padahal, KRL adalah realita sehari-hari bagi ratusan ribu penduduk Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang akan mencari penghidupan di ibu kota.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama Februari 2013, ada 10,28 juta penumpang yang diangkut kereta Jabodetabek. Sementara Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit, memperkirakan ada 700 ribu penumpang yang dibawa jaringan kereta ini setiap hari, baik yang resmi maupun tidak resmi.
Saking besarnya jumlah pengguna KRL dan interaksi manusia yang terjadi di dalamnya, komunitas ini pun memiliki karakteristik dan nilai-nilai sosial tersendiri.
“Mereka kompetitif,” tutur Ancha Anwar, pengguna KRL, menggambarkan karakteristik penumpang yang ia temui sehari-hari. Setiap hari, petugas penelitian dan pengembangan di sebuah perusahaan BUMN ini berusaha untuk menaiki KRL jam 05.40 dari stasiun Citayam menuju tempat kerjanya di Kalibata.
Kemampuan berlari cepat juga menjadi salah satu karakteristik pengguna KRL. Bahkan, tak sedikit yang punya kemampuan tidur lelap dalam posisi berdiri. Buat Ancha, kereta adalah pilihan rasional dan ekonomis untuk menempuh sekitar 30 kilometer ke tengah kota. Berdesak-desakan adalah bagian dari harga yang harus ia bayar untuk bisa sampai dalam 30-45 menit. “Ada teman-teman yang rencananya mau naik kereta, tetapi mereka menyerah ketika melihat kondisinya karena tidak siap mental. Mereka pikir, ‘Ah saya bisa, sama saja seperti naik busway’. Tetapi tidak, lebih parah.”
Keparahan itulah yang kemudian ditulis dan dikumpulkan Ancha dalam sebuah blog pribadi Catatan Roker. Ia bercerita soal bahunya yang menjadi tempat bersandar ketiak orang, terganggu dengan kibasan rambut perempuan yang kemudian menempel di mulutnya, berdiri di bawah mulut penumpang lain yang habis makan petai, atau bergesekan dengan tubuh pria maupun wanita dalam kereta.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR