Kuartet singa jantan nan tampan berusia delapan tahun itu sedang bersantai bersama. Mereka dijuluki “the Killers” pada 2008 oleh asisten lapangan lain, berdasarkan kesimpulannya bahwa kelompok ini membunuh tiga betina berkalung-radio, satu per satu secara cukup sistematis.
Ini dilakukan di daerah aliran sungai di barat Sungai Seronera. Kekerasan jantan-terhadap-betina itu bukan kelainan—bahkan mungkin perilaku adaptif jantan dalam beberapa kasus, memperbesar peluang bagi kawanan yang dikuasainya dengan mengurangi persaingan dari betina kawanan lain.
Meskipun Rosengren memberi tahu saya nama setiap singa sebagaimana tercatat dalam kartu (Malin, Viking, dan sebagainya), dia lebih suka menyebut mereka dengan angka: 99, 98, 94, 93. Jantan 99, dilihat dari samping, memiliki surai yang agak gelap, meskipun tidak segelap C-Boy. Melalui teropong, saya menemukan beberapa luka kecil di bagian kiri wajah 99.
Dua singa lain, 93 dan 94, bereaksi menoleh ke arah kami. Dalam cahaya keemasan mentari pagi, kami juga menemukan luka pada muka keduanya: luka cakar di hidung, sedikit bengkak, sementara luka menganga di bawah telinga kanan masih menenes. Lukanya masih baru, kata Rosengren. Terjadi sesuatu semalam.
Dan, pasti bukan hanya perebutan makanan; anggota kelompok tidak saling mencederai seperti ini. Pasti berkelahi dengan singa lain. Itu menimbulkan dua pertanyaan. Siapa yang berkelahi dengan the Killers? Dan bagaimana nasib pihak lainnya pagi ini?
Kemudian, setelah hari semakin siang dan kami memeriksa beberapa tempat lain, kami baru sadar bahwa C-Boy tidak terlihat. “Kebanyakan singa mati karena saling membunuh,” kata Craig Packer kepada saya. “Penyebab nomor satu kematian singa dalam lingkungan tak terganggu, adalah singa lain.”
Dia membaginya ke dalam beberapa kategori. Setidaknya 25 persen kematian anak singa disebabkan pembunuhan bayi oleh jantan baru. Jika ada kesempatan, singa betina juga kadang-kadang membunuh anak kawanan di sekitarnya. Bahkan membunuh betina dewasa lain, tuturnya, jika betina itu tersasar masuk ke kawasannya. Sumber daya terbatas, sementara kawanan singa bersifat teritorial.
!break!
Singa jantan juga sama posesifnya. “Koalisi jantan itu seperti geng, dan jika geng itu menemukan ada jantan lain yang mengawini betinanya, mereka akan menghabisinya.” Dan singa jantan juga membunuh betina dewasa jika ada untungnya, sebagaimana yang dilakukan the Killers.
Singa sering mengalami luka gigitan, mencerminkan beratnya persaingan dalam perebutan makanan, wilayah, keberhasilan reproduksi, atau murni demi kelangsungan hidup. Jika bernasib baik, lukanya sembuh. Jika kurang beruntung, maka yang kalah meregang nyawa dalam perkelahian sengit antara singa, atau kabur terpincang-pincang, kehabisan darah, mungkin cacat, lalu mati perlahan karena infeksi atau kelaparan. “Jadi, singa merupakan musuh terbesar bagi singa lainnya,” kata Packer.
“Itulah sebabnya, pada akhirnya, singa hidup berkelompok.” Penguasaan wilayah menjadi penting, dan lokasi yang terbaik—tempat yang disebutnya hot spot, seperti pertemuan sungai, tempat mangsa cenderung berkumpul—menjadi insentif kerjasama sosial.
“Satu-satunya cara agar dapat memonopoli salah satu lokasi yang sangat berharga dan sangat langka itu,” katanya, menjelaskan pemikiran singa, adalah sebagai “kelompok geng berjenis kelamin sama yang bertindak sebagai satu kesatuan.”
Tema itu terlihat jelas dari penelitian Packer, yang dilakukan bersama beberapa mitra dan mahasiswa selama sekian dasawarsa. Dia menemukan bahwa singa betina hidup dalam kawanan bukan semata-mata demi keberhasilan berburu dan mempertahankan hasil buruan. Hal itu juga disebabkan oleh kebutuhan melindungi keturunan dan mempertahankan lokasi terbaik.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR