Kata orang, bangsa kucing punya sembilan nyawa. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi singa Serengeti. Di lanskap yang kejam ini, kehidupan amatlah sulit dan berbahaya, dan ajal sulit dihindari. Usia hidup pemangsa terbesar Afrika ini, sebagaimana juga mangsanya, cenderung pendek.
Singa jantan dewasa, jika beruntung dan kuat, dapat mencapai usia lanjut hingga 12 tahun di alam liar. Betina dewasa dapat hidup lebih lama, bahkan sampai 19 tahun. Peluang hidup saat lahir jauh lebih rendah untuk semua singa. Angka kematian anak singa sangat tinggi, setengah di antaranya tewas sebelum berusia dua tahun.
Namun, bertahan hidup hingga dewasa juga bukan jaminan akan mati dengan damai. Bagi singa jantan bersurai gelap dan kuat yang dinamai C-Boy oleh peneliti, sepertinya akhir hidupnya tiba pada pagi 17 Agustus 2009.
Ingela Jansson, wanita Swedia yang bekerja sebagai asisten lapangan penelitian singa jangka panjang, menyaksikan kejadian itu. Dia sudah pernah bertemu dengan C-Boy sebelumnya; malah, dialah yang memberi nama itu. Kini, singa jantan berusia empat atau lima tahun itu baru saja memasuki masa puncaknya.
Jansson berada di dalam Land Rover, berjarak 10 meter, ketika tiga singa jantan lain mengeroyok C-Boy dan mencoba membunuhnya. Perjuangannya menyelamatkan diri dari lubang jarum ini menggambarkan keadaan singa Serengeti yang sebenarnya: Faktor ancaman kematian yang terus membayanglah—bahkan melebihi faktor kemampuannya membunuh mangsa—yang membentuk perilaku sosial satwa ganas ini.
Pada hari itu, di dekat Sungai Seronera yang kering, Jansson datang memeriksa kawanan singa yang dinamai Jua Kali. Dia juga mencari jantan dewasa, termasuk yang “menetap” bersama kawanan. (Singa jantan tak bergabung sepenuhnya dengan kawanan mana pun. Dia bersekutu dengan jantan lain dan menguasai satu kawanan atau lebih, mengawini singa betina dan menetap, tanpa ikatan kuat dengan kawanan itu.
Singa jantan berperan penting dalam menangkap mangsa, juga punya sumbangsih lain di luar sperma dan melindungi kawanan). Jansson tahu bahwa singa jantan yang menetap di Jua Kali cuma C-Boy dan rekan-koalisi tunggalnya, sang penggoda bersurai emas bernama Hildur. Saat mendekati sungai, dia melihat di kejauhan seekor jantan dikejar oleh jantan lain. Singa yang melarikan diri itu Hildur.
Lalu dia melihat empat singa jantan di padang rumput. Dia mengenali kelompok itu—tepatnya, sebagian di antaranya—sebagai anggota koalisi lain, kelompok beranggotakan empat jantan muda ambisius yang memiliki catatan buruk, the Killers, sang pembunuh.
Gigi salah satu singa berlumuran darah, yaitu taring kanan bawah, menandakan pertarungan yang baru saja terjadi. Seekor yang lain mendekam, seakan berharap dapat menghilang ke dalam tanah. Singa yang mendekam itu terus-menerus mengeluarkan geraman gugup. Mendekat dengan mobilnya, Jansson melihat bahwa surainya semu kehitaman dan menyadari bahwa ini C-Boy. Dia terluka, sendirian, dan dikepung tiga anggota the Killers.
!break!
Dia juga melihat seekor singa betina yang sedang menyusui dari kawanan Jua Kali yang berkalung-radio. Apabila ada betina yang sedang menyusui, berarti ada anak singa, keturunan C-Boy atau Hildur, yang tersembunyi di dalam sarangnya. Jadi pertikaian antara C-Boy dan the Killers ini memperebutkan kekuasaan atas kawanan itu. Jika kelompok jantan baru menang, singa jantan akan membunuh anak saingannya agar para betina cepat berahi kembali.
Beberapa detik kemudian, pertarungan meletus lagi. Tiga anggota the Killers mengelilingi C-Boy dan bergantian menyerang dari belakang, mencakar pahanya, menggigit punggungnya, sementara dia berputar, menggeram, dan berguling mencari peluang menyelamatkan diri. Jansson yang cukup dekat, hampir kena semburan liur dan mencium hawa kedengkian, terpana saat mengambil foto di balik jendela mobil.
Debu beterbangan, C-Boy berbalik dan meraung, sementara the Killers memanfaatkan jumlahnya yang banyak dengan menghindari gigitan, mundur, menyerang lagi dari belakang, menggigit, melukai, sampai kulit kaki belakang C-Boy tampak berlubang-lubang. Saat itu Jansson mengira dia menyaksikan akhir hidup seekor singa. Dalam pikirannya, jika tak terbunuh karena luka-luka ini, C-Boy pasti mati akibat infeksi bakteri yang akan terjadi.
Tiba-tiba pertarungan usai. Kawanan the Killers berjalan gontai lalu berhenti di atas busut rayap dengan pemandangan sungai, sementara C-Boy menyelinap pergi. Untuk sementara, dia masih hidup, tetapi kalah dan terhalau.
Jansson tidak melihatnya selama dua bulan. Mungkin singa jantan itu sudah mati, duganya. Sementara itu, kawanan the Killers mulai mengawini singa-singa betina Jua Kali. Anak dari C-Boy atau Hildur lenyap—dibunuh oleh jantan penguasa baru, atau mungkin ditinggalkan agar mati kelaparan, atau dibiarkan dimakan dubuk.
Para betina kini kembali estrus atau dalam masa berahi, dan the Killers akan memiliki keturunan yang baru. C-Boy tinggal cerita. Kawanan Jua Kali akan melupakannya. Memang beginilah cara hidup kawanan singa.
Harimau hidup menyendiri. Puma juga penyendiri. Singa merupakan satu-satunya keluarga kucing yang benar-benar sosial, hidup dalam kawanan dan koalisi yang ukuran dan dinamikanya ditentukan oleh keseimbangan kompleks untung rugi evolusioner.
Mengapa perilaku sosial seperti ini, yang tak ditemukan pada keluarga kucing lain, menjadi begitu penting pada satwa ini? Apakah ini adaptasi yang dibutuhkan untuk memburu mangsa besar seperti gnu? Apakah hal itu mempermudah melindungi anak yang masih kecil? Apakah itu muncul dari persaingan memperebutkan wilayah?
Dalam perkembangan pengetahuan mengenai struktur sosial singa, terutama dalam 40 tahun terakhir, banyak pemahaman penting yang berasal dari penelitian berkelanjutan singa di satu ekosistem: Serengeti.
!break!
Taman Nasional Serengeti meliputi sekitar 14.750 kilometer persegi padang rumput dan hutan di dekat perbatasan utara Tanzania. Taman ini awalnya adalah cagar satwaburu kecil selama pemerintahan kolonial Inggris pada 1920-an, dan resmi menjadi taman nasional pada 1951.
Ekosistem ini lebih besar—tempat kawanan besar gnu, zebra, dan gazelle (sejenis antelop yang bermigrasi musiman) mengikuti hujan demi rumput segar. Termasuk pula beberapa taman satwaburu di sepanjang tepi barat taman nasional, kawasan lain di bawah pengelolaan bersama (juga Kawasan Konservasi Ngorongoro) di sepanjang tepi timur, dan perluasan lintas batas (Cagar Nasional Masai Mara) Kenya.
Selain kawanan satwa bermigrasi, ada pula populasi antelop hartebeest, topi, reedbuck, waterbuck, eland, impala, kerbau afrika, warthog, dan herbivora lain yang cenderung menetap. Tak ada tempat lain di Afrika yang dipenuhi satwa mangsa sebanyak ini dengan bentang alam sangat terbuka.
Karena itulah Serengeti merupakan tempat terbaik bagi singa dan lokasi ideal bagi para penelitinya.
George Schaller tiba pada 1966, atas undangan direktur Taman Nasional Tanzania, untuk mempelajari efek predasi singa terhadap populasi mangsa. Schaller, ahli biologi lapangan legendaris yang ulet dan cemerlang, sebelumnya melakukan penelitian perintis terhadap gorila gunung.
Saat melakukan penelitian detail pertama mengenai spesies apa pun, katanya kepada saya baru-baru ini, “ambil semua yang bisa diperoleh.” Dia mengumpulkan segudang data selama tiga tahun dan tiga bulan penelitian lapangan intensif. Buku yang lalu disusunnya, The Serengeti Lion, menjadi buku babon.
Riset itu dilanjutkan oleh para peneliti lain. Seorang pemuda Inggris bernama Brian Bertram mengikuti jejak Schaller dan menetap selama empat tahun, cukup lama untuk mulai memahami faktor sosial yang memengaruhi keberhasilan reproduksi dan menjelaskan satu fenomena penting: pembunuhan bayi singa oleh satwa jantan.
Bertram mendokumentasikan empat kasus di mana koalisi jantan baru membunuh anak-anak kawanan singa yang baru diambil alih. Kemudian datang Jeannette Hanby dan David Bygott yang mengumpulkan bukti bahwa pembentukan koalisi—terutama koalisi beranggota tiga jantan atau lebih—membantu singa jantan merebut dan mempertahankan kekuasaannya atas kawanan singa. Hal ini menghasilkan lebih banyak keturunan yang mampu bertahan hidup.
Kemudian, pada 1978, Craig Packer dan Anne Pusey melanjutkan penelitian itu, setelah sebelumnya melakukan penelitian lapangan di Gombe Stream Research Center (juga di Tanzania) bersama Jane Goodall. Pusey menggarap proyek singa selama 12 tahun, ikut menyusun beberapa makalah penting. Packer masih meneruskan penelitiannya, memimpin Serengeti Lion Project.
Di tempat ini pula Ingela Jansson bekerja. Penelitian 35 tahun Packer ditambah hasil dari Schaller dan yang lain, menjadikan Serengeti Lion Project salah satu penelitian lapangan berkelanjutan mengenai satu spesies, yang terlama. “Jika kita memiliki kumpulan data dalam jangka panjang,” kata Schaller kepada saya, “kita dapat mengetahui kejadian sebenarnya.”
!break!
Salah satunya adalah soal kematian satwa-satwa ini. Meskipun hal ini pasti dialami semua makhluk, waktu dan penyebabnya dapat mengungkap beberapa pola penting. Setelah nyaris kehilangan nyawa menghadapi the Killers, C-Boy melepaskan kekuasaannya atas kawanan Jua Kali dan beralih ke timur. Hildur, mitra koalisinya, pergi bersamanya.
Saat saya menemukan C-Boy tiga tahun kemudian, dia dan Hildur menguasai dua kawanan lain, Simba East dan Vumbi, yang kawasannya ada di antara dataran terbuka dan kopje—formasi batu granit menjulang, di selatan Sungai Ngare Nanyuki. Ini bukan lokasi terbaik di Serengeti bagi singa dan mangsanya, namun menawarkan kesempatan baru bagi C-Boy dan Hildur.
Saya menjelajahi kawasan itu bersama Daniel Rosengren, petualang Swedia lainnya, yang menggantikan Jansson untuk tugas pemantauan singa. Di sini—di sebelah timur kawasan wisata utama dan di selatan sungai—padang rumput membentang bergelombang, diselingi kumpulan kopje setiap beberapa kilometer. Kopje, busut granit berhias pepohonan dan belukar, mencuat di tengah padang, menawarkan keteduhan dan keamanan serta tempat pengamatan bagi singa yang beristirahat.
Kita dapat berkendara selama berhari-hari di bagian taman yang ini tanpa melihat satu kendaraan wisata pun. Bersama dengan Michael (Nick) Nichols dan tim fotografinya yang menghabiskan waktu berbulan-bulan di kemah di dekat dasar sungai, kami menjadi penguasa kawasan itu.
Sore itu, sinyal radio di headphone Rosengren membawa kami ke Kopje Zebra, tempat kami menemukan betina berkalung-radio dari kawanan Vumbi tersembunyi di antara tumbuhan. Di sampingnya terlihat jantan gagah dengan surai tebal yang menutupi leher dan bahunya, berwarna kuning kecokelatan hingga hitam. Itulah sosok C-Boy.
Dari jarak 12 meter, sekalipun diperjelas dengan teropong, saya tak melihat bekas cedera pada bagian samping atau belakangnya. Luka-lukanya sembuh. “Pada singa,” kata Rosengren kepada saya, “sebagian besar bekas luka menghilang dengan cepat, kecuali di sekitar hidung atau mulut.” C-Boy membuka babak baru kehidupan di tempat baru, dengan kawanan betina yang baru, dan tampaknya hidup senang.
Dia dan Hildur sudah memiliki beberapa keturunan baru. Dan, malam sebelumnya—demikian kami dengar dari Nichols yang menyaksikannya—kawanan singa betina Vumbi menangkap eland, mangsa yang sangat besar. C-Boy meletakkan kaki depannya di atas bangkai itu, mengklaim hak makan pertama.
C-Boy menikmati eland itu sendirian, memilih bagian yang terbaik tetapi tak makan terlalu banyak, sebelum mengizinkan kawanan singa betina dan anaknya ikut berpesta. Hildur berada di tempat lain, mungkin membuahi betina lainnya. Jadi, keduanya hidup senang, menikmati semua hak prerogatif singa jantan yang menetap. Sayangnya, 12 jam kemudian kami menemukan bukti bahwa masalah masih membayangi keduanya.
!break!
Masalahnya adalah persaingan antara kelompok singa jantan. Pagi keesokan harinya, Rosengren membawa kami berkendara ke utara dari kamp Nichols ke arah sungai. Ia mencari kawanan singa yang dinamai Kibumbu, yang anak-anaknya diasuh oleh koalisi jantan yang lain. Para pejantannya tidak terlihat beberapa bulan terakhir—pergi entah ke mana, tanpa diketahui alasannya—dan Rosengren bertanya-tanya singa manakah yang menggantikan para pejantan tersebut.
Hal ini merupakan tugasnya dalam penelitian singa Packer yang lebih luas: mencatat kedatangan dan kepergian, kelahiran dan kematian, persekutuan dan perpecahan, yang memengaruhi ukuran kawanan dan kepemilikan kawasan. Jika Kibumbu memiliki ayah baru, kelompok yang manakah? Rosengren curiga—dan hal itu terbukti ketika kami menemukan kawanan the Killers di antara rumput tinggi di tepi sungai.
Kuartet singa jantan nan tampan berusia delapan tahun itu sedang bersantai bersama. Mereka dijuluki “the Killers” pada 2008 oleh asisten lapangan lain, berdasarkan kesimpulannya bahwa kelompok ini membunuh tiga betina berkalung-radio, satu per satu secara cukup sistematis.
Ini dilakukan di daerah aliran sungai di barat Sungai Seronera. Kekerasan jantan-terhadap-betina itu bukan kelainan—bahkan mungkin perilaku adaptif jantan dalam beberapa kasus, memperbesar peluang bagi kawanan yang dikuasainya dengan mengurangi persaingan dari betina kawanan lain.
Meskipun Rosengren memberi tahu saya nama setiap singa sebagaimana tercatat dalam kartu (Malin, Viking, dan sebagainya), dia lebih suka menyebut mereka dengan angka: 99, 98, 94, 93. Jantan 99, dilihat dari samping, memiliki surai yang agak gelap, meskipun tidak segelap C-Boy. Melalui teropong, saya menemukan beberapa luka kecil di bagian kiri wajah 99.
Dua singa lain, 93 dan 94, bereaksi menoleh ke arah kami. Dalam cahaya keemasan mentari pagi, kami juga menemukan luka pada muka keduanya: luka cakar di hidung, sedikit bengkak, sementara luka menganga di bawah telinga kanan masih menenes. Lukanya masih baru, kata Rosengren. Terjadi sesuatu semalam.
Dan, pasti bukan hanya perebutan makanan; anggota kelompok tidak saling mencederai seperti ini. Pasti berkelahi dengan singa lain. Itu menimbulkan dua pertanyaan. Siapa yang berkelahi dengan the Killers? Dan bagaimana nasib pihak lainnya pagi ini?
Kemudian, setelah hari semakin siang dan kami memeriksa beberapa tempat lain, kami baru sadar bahwa C-Boy tidak terlihat. “Kebanyakan singa mati karena saling membunuh,” kata Craig Packer kepada saya. “Penyebab nomor satu kematian singa dalam lingkungan tak terganggu, adalah singa lain.”
Dia membaginya ke dalam beberapa kategori. Setidaknya 25 persen kematian anak singa disebabkan pembunuhan bayi oleh jantan baru. Jika ada kesempatan, singa betina juga kadang-kadang membunuh anak kawanan di sekitarnya. Bahkan membunuh betina dewasa lain, tuturnya, jika betina itu tersasar masuk ke kawasannya. Sumber daya terbatas, sementara kawanan singa bersifat teritorial.
!break!
Singa jantan juga sama posesifnya. “Koalisi jantan itu seperti geng, dan jika geng itu menemukan ada jantan lain yang mengawini betinanya, mereka akan menghabisinya.” Dan singa jantan juga membunuh betina dewasa jika ada untungnya, sebagaimana yang dilakukan the Killers.
Singa sering mengalami luka gigitan, mencerminkan beratnya persaingan dalam perebutan makanan, wilayah, keberhasilan reproduksi, atau murni demi kelangsungan hidup. Jika bernasib baik, lukanya sembuh. Jika kurang beruntung, maka yang kalah meregang nyawa dalam perkelahian sengit antara singa, atau kabur terpincang-pincang, kehabisan darah, mungkin cacat, lalu mati perlahan karena infeksi atau kelaparan. “Jadi, singa merupakan musuh terbesar bagi singa lainnya,” kata Packer.
“Itulah sebabnya, pada akhirnya, singa hidup berkelompok.” Penguasaan wilayah menjadi penting, dan lokasi yang terbaik—tempat yang disebutnya hot spot, seperti pertemuan sungai, tempat mangsa cenderung berkumpul—menjadi insentif kerjasama sosial.
“Satu-satunya cara agar dapat memonopoli salah satu lokasi yang sangat berharga dan sangat langka itu,” katanya, menjelaskan pemikiran singa, adalah sebagai “kelompok geng berjenis kelamin sama yang bertindak sebagai satu kesatuan.”
Tema itu terlihat jelas dari penelitian Packer, yang dilakukan bersama beberapa mitra dan mahasiswa selama sekian dasawarsa. Dia menemukan bahwa singa betina hidup dalam kawanan bukan semata-mata demi keberhasilan berburu dan mempertahankan hasil buruan. Hal itu juga disebabkan oleh kebutuhan melindungi keturunan dan mempertahankan lokasi terbaik.
Meskipun ukuran kawanan bervariasi dari hanya satu betina dewasa hingga sebanyak 18 ekor, kawanan yang berjumlah sedang paling sukses melindungi anaknya dan mempertahankan wilayahnya. Kawanan yang jumlahnya terlalu sedikit lebih mudah kehilangan anaknya. Periode estrus betina dewasa sering bersamaan—terutama jika ada jantan baru yang membunuh semua anaknya dan membuat singa betina berahi kembali—sehingga anak dari berbagai induk lahir pada waktu yang sama. Hal ini memungkinkan pembentukan crèche atau kelompok asuh.
Singa betina menyusui dan melindungi bukan hanya anaknya sendiri, tetapi juga anak singa lain. Pengasuhan bersama, selain efisien, juga didorong oleh fakta bahwa semua betina dalam suatu kawanan punya pertalian darah—induk anak atau saudari atau bibi, mendorong semuanya menyukseskan reproduksi singa lain.
Namun, kawanan yang terlalu besar juga kurang baik, karena timbul persaingan berlebihan dalam kawanan. Kawanan dengan dua hingga enam betina dewasa tampaknya merupakan kawanan yang optimal di dataran ini.
Jumlah anggota koalisi jantan juga diatur oleh logika yang sama. Biasanya, koalisi beranggotakan singa muda yang harus meninggalkan kawanan induknya dan pergi bersama-sama menyongsong masa dewasa. Sepasang saudara dapat bekerjasama dengan pasangan lain. Saudara seayah atau seibu atau saudara sepupu, atau bahkan dengan singa yang tidak bertalian darah yang soliter dan nomaden, yang kebetulan bertemu dan membutuhkan rekan.
Jika terlalu banyak jantan lapar dan kebelet kawin dalam satu kelompok, maka timbullah kekacauan. Namun, jantan tunggal, atau kelompok yang terlalu kecil—hanya berdua, misalnya—ada pula kelemahannya.
!break!
Itulah dilema C-Boy. Tanpa rekan selain Hildur—jantan gagah yang doyan kawin namun penakut, C-Boy bisa dikatakan sendirian menghadapi the Killers yang semakin agresif dan dominan. Sekalipun bersurai hitam gemilang, ia sulit melawan tiga musuh sendirian. Mungkin sekarang dia sudah mati. Jika demikian, simpul saya dan Rosengren, luka kecil di wajah kelompok the Killers mungkin adalah bukti terakhir keberadaan C-Boy.
Malam itu the killers bergerak ke wilayah baru. Kelompok itu beristirahat sepanjang hari di tepi sungai, membiarkan sang surya memanggang wajah dan mengeringkan lukanya. Sekitar dua jam setelah matahari terbenam, singa-singa itu mulai mengaum. Kemudian keempat anggota kelompok itu berangkat bersama-sama, sepertinya punya tujuan tertentu. Rosengren dan saya mendapat kabar melalui walkie-talkie dari Nichols, yang sedang berjaga-jaga. Kami naik ke Land Rover Rosengren dan menembus kegelapan.
Setelah bertemu dengan kendaraan Nichols, kami pindah mobil dan mengikuti pergerakan kelompok singa itu—kami berlima sekarang, istri Nichols, Reba Peck, mengemudi dengan lampu depan diredupkan. Tak ada bulan. Nichols membawa kacamata malam dan kamera inframerah. Asisten dan videografernya, Nathan Williamson, siap merekam suara atau mengarahkan lampu sorot inframerah. Kami bergerak perlahan mengikuti kelompok singa itu. Kelompok itu sama sekali tidak peduli dengan kehadiran kami.
Kami membuntuti kelompok itu sampai ke lintasan kerbau afrika, kemudian masuk ke belukar akasia. Kami terus memantau dengan lampu dekat dan, jika tak bisa, dengan teropong termal monokuler. Melalui teropong itu, sambil duduk terlambung-lambung di atas atap Land Rover, saya melihat empat singa bersinar seperti lilin di dalam gua.
Tiba-tiba muncul sosok besar lain mengiringi kami, matanya bersinar jingga ketika tersorot lampu-kepala saya. Ternyata seekor singa betina yang memberitahukan keberadaannya kepada the Killers. Rosengren tidak bisa mengenalinya dari penampakan sekilas itu, tetapi sepertinya singa itu sedang berahi. Ketika kelompok jantan itu melihatnya dan bergerak ke arahnya, sang betina kabur malu-malu, lalu dikejar oleh keempat jantan itu. Kami sempat mengira sudah kehilangan jejak.
Namun, ternyata hanya satu jantan yang terus mengikuti betina itu; kami tidak melihat jantan itu lagi sepanjang malam. Tiga jantan lainnya kembali berkumpul setelah godaan asmara ini, dan melanjutkan perjalanan.
Kelompok itu menyeberangi “jalan-raya” tanah dan mengarah ke selatan, sekarang dengan lancang memasuki wilayah kawanan Vumbi dan jawaranya, C-Boy dan Hildur. Ketiganya berhenti tiap sebentar untuk meninggalkan bau, menggosok kepalanya ke semak, mencakar dan mengencingi tanah. Ini bukan sergapan sembunyi-sembunyi; ketiga singa ini mengumumkan kehadirannya dan mengajukan tantangan.
Lalu ketiganya berbalik dan menuju kamp Nichols. Namun, sebagaimana yang terjadi sebelumnya kepada kami, ketiga singa itu juga tidak memedulikan perkemahan kanvas kami yang bau berondong jagung, ayam, dan kopi. Sekitar 400 meter dari kamp, ketiganya merebahkan diri dan tidur. Selama masa rehat ini, menjelang tengah malam, Nichols dan timnya kembali ke perkemahan.
Saya dan Rosengren, setelah mengambil kembali kendaraan kami, tinggal untuk mengamati kelompok the Killers. Rosengren mengambil giliran tidur pertama, mendengkur perlahan di bangku belakang Land Rover, sementara saya duduk mengawasi. Setengah jam kemudian, kelompok singa itu berdiri dan mulai bergerak lagi; saya membangunkan Rosengren, dan kami bergerak mengikuti.
!break!
Dan itulah yang terjadi seterusnya. Berjalan sebentar, tidur sebentar, saya dan Rosengren bergantian berjaga—sampai pagi. Kadang-kadang, saat berhenti, kelompok singa itu mengaum keras bersama-sama. Suara auman tiga singa yang didengar dari jarak dekat, pasti membuat Anda terkesan: nyaring tetapi serak dan kasar, penuh dengan ancaman, keyakinan, dan kekuatan purba. Tidak ada yang menanggapi auman tersebut.
Saat fajar tiba, kelompok ini kembali ke jalan tanah setelah berkeliling di wilayah Vumbi, berjalan santai ke barat menuju kopje tempat kelompok ini biasa berteduh. Sekarang Sabtu pagi. Saya dan Rosengren meninggalkan kelompok ini di sana.
Luka-luka di wajah kelompok itu dan menghilangnya C-Boy masih belum diketahui jelas sebabnya. Dunia politik para singa di sepanjang Sungai Ngare Nanyuki tampaknya sedang mengalami pergolakan.
Sabtu sore itu, kami menemukan kawanan Vumbi di Kopje Zebra, hanya beberapa kilometer di selatan tempat the Killers melanggar masuk ke wilayahnya. Mungkin kawanan itu tertarik ke sana oleh auman mengancam dari kelompok singa, atau mungkin saja kawanan itu sekadar berkeliling. Kami hitung ada tiga betina, beristirahat santai dalam bayang bebatuan, total ada delapan anak singa. Betina lain kami ketahui sedang kawin dengan sang pejantan Hildur. Tak terlihat tanda-tanda C-Boy. Ketidakhadirannya agak mengkhawatirkan.
Minggu sore, kembali ke Kopje Zebra. Hildur dan betinanya bergabung kembali dengan kawanan itu, tetapi C-Boy tetap tidak terlihat batang hidungnya. Coba kita ke Kopje Gol, usul Rosengren. Kalau beruntung kami bisa menemukan kawanan Simba East, dan siapa tahu C-Boy sedang bersama kawanan itu. Baiklah, jawab saya; saya bertekad menemukannya, hidup atau mati.
Maka kami berkendara ke barat daya, naik turun melintasi padang rumput yang berbukit-bukit, sementara Rosengren mendengarkan sinyal kawanan Simba East di headphone-nya. Di salah satu kopje kecil Gol kami menemukan kawanan itu: tiga betina dan tiga anaknya yang agak besar, bersantai di tengah batu yang bermandi cahaya. Namun, tetap tidak terlihat tanda-tanda keberadaan C-Boy.
Saat surya Serengeti tenggelam di belakang kami melembayungkan ufuk, kami kembali berkendara ke Kopje Zebra. Nichols dan Peck masih berada di sana, bersama kawanan Vumbi, yang mendekam bersama di padang rumput dan mulai mengaum—seekor, lalu ganti yang lain, kemudian ketiganya bersamaan, menggemuruh ke seantero dataran di bawah langit yang menggelap dan bulan muda. Auman singa bisa mengandung berbagai makna, dan paduan suara ini membawa nada sunyi nan misterius.
Ketika kawanan itu berhenti mengaum, kami ikut mendengarkan. Tidak ada balasan.
Nichols dan Peck pulang ke kamp. Rosengren membawa kendaraan kami melingkar ke dekat kawanan Vumbi yang sedang rebahan. Dia ingin saya merasakan getaran menakutkan saat mendengar auman singa dari jarak sangat dekat. Kali ini Hildur bergabung, suara rendahnya terdengar parau menggemuruh, nyaris mengguncang mobil.
Setelah auman berhenti, kami kembali memasang telinga. Tetap tidak ada jawaban. Saya memutuskan untuk pulang. Untuk keperluan jurnalistik, saya akan menyatakan C-Boy “hilang, diduga mati.”
Tunggu, kata Rosengren. Terdengar suara pergerakan dalam kegelapan. Pinjam lampumu, katanya. Rosengren mengarahkan lampu ke arah Hildur dan singa lainnya, dan akhirnya menemukan sosok baru yang besar dan bersurai sangat gelap: C-Boy.
Dia berlari mendatangi suara auman kawanan itu.
Wajahnya mulus. Bagian samping dan belakangnya tidak terluka. Jelas bukan dia yang diserang the Killers dua malam lalu. Dia duduk dengan santai di samping seekor betina berkalung-radio. Dia sudah siap kawin lagi. Usianya sekarang delapan tahun, sehat dan tangguh, dihormati oleh kawanannya
—
David Quammen menulis singa Hutan Gir di India dalam buku Monster of God. Michael Nichols pendiri LOOK3 Festival of the Photograph. Inilah kolaborasi profesional pertama dengan istri yang dinikahinya selama 30 tahun, naturalis Reba Peck.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR