Namun, transliterasi yang digunakan adalah Sribhoga. Kelak, Sribhoga dikoreksi menjadi Shih-li-fo-shih. Ketika Sriwijaya telah berhasil diidentifikasi sebagai nama suatu kerajaan di Sumatra, para ahli dengan mudah mengenalinya sebagai Shihlifoshih dalam catatan I-Tsing.
PENGEMBARAAN BIKSU I-TSING
Bulan November 671 pada masa Dinasti Tang, biksu I-Tsing menaiki sebuah kapal dagang asal Persia di pelabuhan Kwang-tung (Kanton). Ia diantarkan oleh handai tolan yang mengira tak akan lagi dapat berjumpa dengannya. Usianya saat itu 37 tahun.
Benak I-Tsing dipenuhi bayangan negeri impian: India. Ia mengeraskan hati untuk mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh sumber inspirasi yang dikaguminya yaitu Fa Hien dan Hsuan Tsang. Meninggalkan Cina, mengembara menuju Nalanda. I-Tsing ingin memperdalam ilmu agama sembari menyalin catatan-catatan tentang ajaran Buddha dari negeri kelahirannya.
Demikianlah, I-Tsing ikut berangkat bersama kapal Persia yang telah melepaskan tali-temali dari tambatan di dermaga dan membuka layarnya. I-Tsing mencatat, setelah 20 hari perjalanan, kapal itu mencapai Kota Foshih di negeri Shihlifoshih. Di sana ia singgah enam bulan, menunggu angin baik untuk berlayar ke utara sambil mempelajari tata bahasa Sanskerta.
Tahun berikutnya (672) I-Tsing berlayar meninggalkan Shihlifoshih dengan tujuan India. Etape pertama yang ditempuhnya adalah ke Moloyu (Melayu) selama 13 hari dengan bantuan raja. Di Moloyu, I-Tsing berdiam selama dua bulan lalu ikut berlayar lagi ke Kacha (Kedah), Lojengkuo (Nikobar), dan akhirnya mencapai pelabuhan Tamralipti (kini Tamluk) di India.
Para ahli mendapat satu kesimpulan pasti. Pada tahun 671 ketika I-Tsing pertama kali menjejakkan kaki, Sriwijaya telah berdiri. Pada tahun 685, I-Tsing kembali menyinggahi Sriwijaya dalam perjalanan pulangnya setelah mempelajari agama Buddha di Nalanda. Ia mencatat, sesampainya di Kedah, tujuan berikutnya adalah Melayu lagi. Namun saat mencatat tentang Melayu kali ini, dibuatnya keterangan tambahan: “Moloyu, yang sekarang Shihlifoshih.”
Kalimat ini dibuat I-Tsing karena ketika ia singgah pertama kali pada 14 tahun sebelumnya, Melayu masih menjadi negeri tersendiri. Dari Melayu baru I-Tsing menuju Sriwijaya lagi. Di sana, ia mulai menyalin naskah-naskah agama Buddha yang diperolehnya di India sembari membuat catatannya sendiri.
Tahun 689, I-Tsing secara tak sengaja terbawa kapal sampai ke Kanton. Alkisah, saat itu ia naik ke kapal dengan maksud menitipkan surat ke tanah air agar dikirimi kue-kue, kertas, dan tinta. Namun, pada saat itu angin baik bertiup. Layar-layar dikembangkan. Kapal berlayar. Entah bagaimana ceritanya, I-Tsing terbawa.
!break!
Pada akhir tahun itu pula I-Tsing segera kembali ke Sriwijaya. Kali ini disertai beberapa asisten. Lalu ia meneruskan penerjemahan naskah-naskah Sanskerta. Dari Sriwijaya, pada 692 ia mengirimkan beberapa naskah salinan ke Cina. Dua bundel catatan perjalanannya juga ia kirimkan. Termasuk yang lebih dari satu milenium kemudian diterjemahkan oleh Takakusu. I-Tsing akhirnya kembali ke Cina pada 695 dan disambut secara khusus oleh ratu.
Menjelang akhir abad ketujuh, Buddhisme di Sriwijaya berkembang pesat. I-Tsing mencatat, “Ibu kota (Sriwijaya) merupakan pusat belajar agama Buddha di antara pulau-pulau di Laut Selatan. Di sini bermukim Sakyakirti yang pernah menjelajahi India untuk belajar.”
Dalam bagian lain I-Tsing menulis, “Di kota Foshih yang dikelilingi benteng, ada lebih dari seribu biksu Buddhis yang sepenuhnya menekuni pengkajian dan amal baik. Dengan saksama mereka periksa dan pelajari semua pokok pemikiran yang mungkin ada, persis seperti di India. Aturan dan upacaranya sama.” I-Tsing membuat suatu saran pula bagi biksu-biksu lain yang ingin belajar ke Nalanda.
“Jika seorang biksu Cina hendak pergi ke barat untuk belajar dan membaca naskah-naskah Buddhisme yang asli, sebaiknya ia tinggal di Foshih selama setahun atau dua tahun dan di sana menerapkan aturan-aturan yang sesuai; baru melanjutkan ke India,” tulisnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR