Kaitan antara isi prasasti Kedukanbukit dan prasasti Talang Tuo menjadi semakin terang. Setelah mendirikan permukiman (baru), raja Sri Jayanasa mendirikan taman tak jauh dari sana. Bambang menyatakan, taman itu mungkin dimaksudkan sebagai tempat bersantai bagi para pendatang. Mungkin dimaksudkan pula untuk melindungi ketersediaan air bersih.
“Puslitbang Arkenas pernah melakukan penelitian untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang pernah tumbuh. Melalui sampel-sampel serbuk sari di lokasi dekat penemuan prasasti, diketahui bahwa jenis-jenis pohon yang pernah ditanam atas perintah Sri Jayanasa itu semuanya ada. Hanya pohon bambu yang tidak ditemukan,” jelas Bambang.
KUTUKAN KADATUAN
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Februari 686, Sri Jayanasa menerbitkan lagi suatu prasasti. Lokasinya di Kotakapur. Dalam prasasti berbentuk seperti tugu, kali ini Sri Jayanasa menampilkan wajahnya yang lain: wajah mengerikan. Betapa tidak? Prasasti ini memuat kutukan-kutukan.
Inilah prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Prasasti ini mengawali penelitian mendalam tentang Sriwijaya sebelum prasasti Kedukanbukit dan prasasti lainnya ditemukan dan berhasil dibaca isinya.
Sriwijaya bukan nama raja, melainkan kerajaan. Namun, terminologi di dalam prasasti Kotakapur sebenarnya adalah kadatuan.
!break!
“Jika pada saat mana pun di seluruh kadatuan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datuk, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Keluarga mereka akan ditumpas. Dan semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit, membuat gila, melakukan tenung, menggunakan bisa, racun, tuba, serambat, pekasih, pelet dan yang serupa itu, mudah-mudahan tidak berhasil.
Dosa perbuatan yang jahat untuk merusak batu ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah, segera terpukul. Mereka yang membahayakan, yang mendurhaka, yang tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datuk, mereka yang berbuat demikian itu mudah-mudahan dibunuh oleh sumpah ini. Tetapi kebalikannya mereka yang berbakti kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi perbuatan datuk, hendaknya diberkati segala perbuatannya dan sanak keluarganya, berbahagia, sehat, sepi bencana dan berlimpah-limpah rezeki segenap penduduk dusunnya!
Tahun Saka 608 hari pertama bulan terang Waisaka, itulah waktunya sumpah ini dipahat. Pada waktu ini, tentara Sriwijaya berangkat memerangi Bhumi Jawa karena tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.” Demikian terjemahan bebas dari isi prasasti Kotakapur.
Para ahli pada umumnya menafsirkan bahwa Bhumi Jawa yang dimaksud adalah Jawa bagian barat. Di pesisir daerah Karawang memang terdapat kompleks candi Buddhisme yang luas, di daerah Batujaya. Pada masa sebelum Sriwijaya, Karawang termasuk wilayah Kerajaan Hindu Tarumanagara. Akan tetapi, Boechari dalam suatu tafsirnya menduga, Bhumi Jawa sebenarnya nama tempat di daerah Lampung.
TELAGA BATU
Selain Kotakapur terdapat empat prasasti Sriwijaya lain yang mengandung kutukan serupa. Keempatnya adalah Karangberahi (Jambi), Palaspasemah (Lampung), Bungkuk (Lampung), dan Boom Baru (Palembang) yang paling akhir ditemukan pada 1992.
Kesemua prasasti itu menyiratkan ekspansi Sriwijaya ke negeri-negeri lain di sekitarnya dalam kurun waktu yang dekat dengan catatan I-Tsing. Hal ini pun senada dengan kronik Dinasti Tang yang menyebutkan utusan terakhir dari Melayu datang pada 644-645. Setelah itu yang datang adalah utusan-utusan Sriwijaya.
Ancaman-ancaman kutukan serta berita ekspedisi militer juga sinkron dengan prasasti lain yang ditemukan di Palembang—dikenal sebagai prasasti Telaga Batu. Isinya berupa persumpahan agar setia kepada Kadatuan Sriwijaya. Juga memuat banyak nama jabatan, pangkat, dan profesi dalam kadatuan.
Berturut-turut disebutkan status seperti putra raja, menteri, bupati, panglima, tokoh masyarakat, bangsawan, penguasa bawahan, hakim, pemimpin buruh, pengawas pekerja rendah, ahli senjata, tentara, pejabat pengelola, karyawan toko, pengrajin, nakhoda kapal, pedagang, pelayan raja, sampai budak raja.
Diduga, prasasti Telaga Batu terkait dengan rangkaian ekspedisi militer pada masa itu ke berbagai daerah. Ketika balatentara hanya tersisa sedikit di kota, kemungkinan terjadinya pengkhianatan cukup besar.
!break!
Prasasti Telaga Batu sendiri paling indah secara desain walaupun bernuansa menakutkan. Batu andesit merupakan bahan dasarnya sebelum dipahat, diratakan, dan dibentuk sedemikian rupa. Pada sepanjang tepian bagian atas yang dibuat melengkung setengah lingkaran, dipahatkan tujuh bentukan kepala ular yang menonjol ke depan.
Ular yang berada di tengah berukuran lebih besar dibanding lainnya. Sepertinya ular kobra, meskipun pernah ada ahli masa silam yang menduga naga. Prasasti yang lebar dan tingginya lebih dari satu meter itu dibuat agak menyempit hingga ke bagian bawah. Pada bagian tengah, di bawah bentuk tujuh kepala ular, dipahatkan 28 baris tulisan dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno berisi nama-nama pangkat dan persumpahan tadi.
Lalu, pada bagian bawah prasasti dipahatkan semacam pancuran kecil yang mencorong ke depan. Sepertinya tempat mengalirkan air pembasuh—atau bilasan darah yang diteteskan dalam persumpahan, seandainya kita berimajinasi demikian.
JALUR SUTRA LAUT
Kebangkitan Sriwijaya yang cepat itu diawali, dan tak mungkin dilepaskan, dari posisi strategis Selat Malaka dalam jalur perdagangan laut dunia. Sederhananya begini. Jalinan dagang antara bangsa Cina, India, Persia, dan Arab perlahan-lahan menjadi semakin ramai antara abad kelima hingga ketujuh. Kepulauan yang sekarang kita sebut Nusantara terletak di tengah-tengah jalur perdagangan itu.
Kapal dagang bangsa Arab, Persia, dan India berlayar ke timur. Demikian pula kapal-kapal bangsa Cina mulai berlayar ke selatan dan barat. Teknologi maritim yang bergantung kepada angin monsun juga menyebabkan pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya menjadi persinggahan.
Saat kapal-kapal asing merapat ke bandar-bandar Sriwijaya, transaksi terjadi. Ketika lalu lintas komoditas di Selat Malaka semakin sibuk, muncullah motivasi untuk mengambil keuntungan lebih banyak lagi.
Ekspedisi-ekspedisi militer yang dilancarkan Dapunta Hyang bermula dari keinginan agar negeri-negeri lain di sekitarnya mematuhi politik dagang Sriwijaya. Sebagai negeri dagang yang mementingkan keuntungan, cukup terserap akal bagaimana prasasti-prasasti Sriwijaya berbunyi demikian keras. Untuk menjamin komitmen.
Sebagai pelabuhan Nusantara yang paling ramai pada masa itu, produk-produk alam dari wilayah Nusantara lainnya banyak dikapalkan ke Sriwijaya untuk dijual atau ditukar dengan produk-produk dari luar negeri. Selain itu, Sriwijaya memiliki komoditas sendiri, terutama hasil alam. Menurut biksu I-Tsing, komoditas dari Sriwijaya di antaranya adalah pinang, pala, cengkih, dan kapur barus.
Sekitar 10 tahun sebelum akhir abad ketujuh, berkat jasa Dapunta Hyang, Sriwijaya dengan cepat mulai memegang peranan penting dalam perdagangan laut. Sriwijaya mulai mengendalikan Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa bagian barat, dan Selat Karimata hingga tepian Laut Cina Selatan.
“Kelak, raja dari Jawa yakni Dharmawangsa Tguh juga memiliki ambisi untuk mengambil keuntungan dari perdagangan laut. Hal ini ikut menyebabkan hubungan Sriwijaya dengan Mataram menjadi kurang baik bahkan berperang pada akhir abad ke-10,” jelas Ninie Susanti, pengajar arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
!break!
Berita-berita Arab menyebutkan, Sriwijaya kemudian menarik pajak dari kapal-kapal yang lewat atau singgah—sering kali dengan kekerasan. Kelak, politik dagang semacam ini, ditambah peperangan dengan Jawa, akan mengundang keruntuhan Sriwijaya.
Ahli-ahli empat ilmu serumpun—arkeologi, sejarah, epigrafi, dan filologi—sampai sekarang terus berusaha menggali petunjuk untuk melengkapi sejarah kerajaan maritim besar ini. Akan tetapi, ada yang jauh lebih penting lagi.
“Untuk apa bangsa kita mengagung-agungkan kebesaran masa lalu kalau tidak menjadikannya sebagai pijakan dan pedoman ke masa depan?” tanya Bambang Budi Utomo kepada saya. Sebuah pertanyaan retoris.
—
Selain bonus sisipan peta dua sisi, kisah ini adalah bagian pertama dari dua kisah tentang Kadatuan Sriwijaya. Bagian kedua dimuat di National Geographic Indonesia edisi Desember.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR