Lelaki itu muncul begitu saja. Berdiri di sebelah kiri saya lalu mengiringi berjalan perlahan. Rambut, kumis, dan kemeja lengan panjang yang dikenakannya semua berwarna putih. Celananya berwarna abu-abu. Ia menegur, “Anda datang dari mana?”
Handuk berwarna merah muda tergantung di leher dan dadanya. Lelaki yang sekurangnya berumur 60-an tahun ini terkesan lelah. Saya menjawab, “Indonesia.” Ada kilat cahaya di matanya. Seakan-akan ia telah menduga. “Wihara ini dahulu dibangun oleh seorang raja dari Sumatra yang sekarang bagian dari Indonesia,” katanya cepat-cepat, sebelum berlalu untuk mendampingi satu keluarga pelancong lokal. Ia rupanya seorang pemandu wisata.
Saya sedang berada di Nalanda, suatu desa di Negara Bagian Bihar, India. Tepatnya di dalam salah satu bangunan dalam kompleks berdinding bata merah yang sebagian besar bagiannya telah berusia lebih dari satu milenium.
Kompleks ini, Nalanda Mahawihara, dikenal sebagai sisa-sisa dari pusat pendidikan ajaran Buddha yang paling terkenal sejak abad kelima hingga ke-12. Selain wihara tempat saya berdiri, yang ditandai dengan nama Monastery 1, terdapat sembilan bangunan bekas wihara lain. Semua wihara bentuknya seperti bujursangkar kalau dilihat dari atas.
Pada keempat sisi setiap wihara terdapat jajaran kamar untuk para biksu. Lantainya dua tingkat. Pelataran utama terdapat di tengah lantai bawah, tempat berdirinya beberapa bangunan lain—di antaranya untuk pemujaan.
Pelataran bagian tengah ini tidak sama antara satu wihara dengan lainnya. Khusus di Monastery 1 terdapat sumur di satu sudut. Ada juga dua ruangan menyerupai gua, diperkirakan gudang ransum untuk para biksu. Dekat salah satu dinding berdiri struktur persegi yang merupakan caitya (tempat pemujaan) utama. Di balik bentukan itu terdapat panggung kecil persegi dari batu. Di atasnya diletakkan batu-batu, untuk tempat duduk dan berdiskusi antara guru dan murid-murid—suatu kelas terbuka.
Monastery 1 di Nalanda Mahawihara ini merupakan salah satu saksi tertua tentang hubungan resmi antara suatu negeri dalam wilayah Indonesia sekarang dengan negeri lain di seberang lautan. Adalah Balaputradewa—dengan titel maharaja (raja di antara raja-raja)—yang terkait erat dengan pembangunan Monastery 1. Ia raja dari Swarnadwipa, sebutan orang India untuk Sumatra di masa sejarah klasik. Namanya terukir bersamaan dengan pembangunan Monastery 1 ini menjelang pertengahan abad kesembilan.
“Atas permintaan Maharaja Balaputradewa yang termasyhur, raja Swarnadwipa melalui utusannya, saya membangun wihara ini.” Itu bunyi kalimat pertama bagian inti isi prasasti berbahan pelat tembaga ini. Prasasti Nalanda, para ahli menyebutnya, ditemukan di reruntuhan tangga masuk Monastery 1 pada penggalian tahun 1921.
Bagian atas prasasti dihiasi semacam cap resmi dengan ukiran indah. Secara keseluruhan, prasasti ini memang menyerupai piagam. Cendekiawan India bernama Hirananda Sastri yang pertama kali menerbitkan isinya pada 1924. Menurut Sastri, penerbit prasasti Nalanda adalah Raja Devapala dari Kerajaan Pala di Benggala yang waktu itu menguasai wilayah luas di India. Devapala sendiri berkuasa pada 810-850.
!break!
Permintaan Balaputradewa kepada Devapala itu disampaikan melalui seorang utusan bernama Balawarman. Raja Devapala tidak hanya mengabulkan. Ia sekaligus mengalokasikan lima desa untuk kesejahteraan para biksu serta mendukung perawatan wihara atas nama Maharaja Balaputradewa.
Pada baris lain dari prasasti yang kini disimpan—namun tak dipamerkan—di National Museum di New Delhi itu, disebutkan nama-nama keluarga Balaputradewa.
Ia anak dari pasangan Samaragrawira—kelak diidentifikasi sebagai Samaratungga—dan Tara. Nama terakhir ini adalah putri Dharmasetu, raja Sriwijaya sebelumnya. Jadi, Balaputradewa adalah cucu dari raja Sriwijaya Dharmasetu (dari pihak ibu) dan cucu dari raja Sailendra yang dipuji sebagai permata di wangsanya, Rakai Panamkaran. Penyebutan silsilah dalam prasasti Nalanda menyiratkan kebanggaan Balaputradewa akan asal-usulnya, keturunan Wangsa Sailendra.
SRIWIJAYA BUKAN RAJA
Balaputradewa adalah raja Sriwijaya, kerajaan yang pernah berpusat di Sumatra. Isi prasasti Nalanda ini memperkaya pengetahuan tentang Sriwijaya yang baru dikenali lagi namanya di awal abad ke-20. Sebelumnya, selama ratusan tahun Sriwijaya (Crivijaya, Srivijaya) terlupakan.
Sembilan tahun sebelum publikasi Sastri, tepatnya pada 1913, J.H.C. Kern, ahli epigrafi di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (lembaga pengkajian seni dan ilmu pengetahuan Kerajaan Belanda di Batavia), menerbitkan teorinya. Menurut Kern, “Sriwijaya” adalah nama seorang raja.
Kern saat itu mengulas terjemahan isi prasasti Kotakapur. Prasasti yang ditemukan pada 1892 di pesisir barat Pulau Bangka itu menyebutkan kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang berkhianat kepada Sriwijaya. Juga menyebutkan penyerangan Sriwijaya terhadap Jawa.
Pada 1918, direktur National Library Bangkok, George Coedes, mengapungkan bantahan yang mengejutkan. Menurutnya, Sriwijaya bukanlah raja melainkan kerajaan. Teori Coedes dalam tulisan berjudul Le Royaume de Crivijaya itu dimuat dalam buletin Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO)—institusi Prancis yang mempelajari masyarakat Asia.
Teori Coedes segera masyhur di kalangan cendekiawan internasional. Memancing penelitian lebih dalam soal apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut Sriwijaya. Kini, hampir seratus tahun setelah Sriwijaya dikenali kembali, namanya dipinjam di mana-mana dan untuk apa saja.
Di suatu tempat kita menyebut Sriwijaya sebagai klub sepak bola, pabrik pupuk, atau maskapai penerbangan. Di tempat lain sebagai nama hotel, perseroan dagang, universitas, toko, restoran, judul film, dan lain sebagainya. Dongeng dan mitos tentang Sriwijaya ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan India. Alhasil, informasi dari kalangan ilmiah harus mengimbanginya.
!break!
JALUR NALANDA
Penelitian untuk mengungkapkan, mengon-firmasi, dan merunutkan sejarah Sriwijaya sangat rumit. Para peneliti harus menelusuri banyak serpihan bukti seperti remah-remah yang tersebar di mana-mana. Ibarat merangkai mozaik dari petunjuk berupa prasasti, sisa-sisa struktur bangunan, arca, serta catatan kuno milik bangsa Cina, India, Arab yang menyebutkan Sriwijaya dengan nama berbeda-beda.
George Coedes dan ahli epigrafi terkemuka Indonesia, Boechari, dalam karya-karya ilmiah mereka pernah menulis, topik ini telah “mengucurkan banyak tinta.” Kiranya demikian. Baru soal kajian dari catatan Bangsa Cina saja sudah menyulitkan.
Menurut ahli sejarah dan filologi Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya, “Nama-nama tempat dan tokoh sejarah yang diberitakan oleh Bangsa Cina pada masa itu ditulis menurut pendengaran penulisnya.” Padahal, ucapan kata-kata dalam bahasa Cina yang digunakan pun beragam sehingga sulit ditafsirkan. Selain itu, antara dinasti Cina yang satu dengan dinasti lain tidak menandai Sriwijaya dengan nama sama.
Bagaimanapun, kerja keras para ahli dari berbagai disiplin ilmu selama seratus tahun lebih telah memberikan kita banyak pengetahuan penting. Pada awal abad ke-20, salah satu sumber penelitian yang sangat membantu adalah apa yang disebut sebagai “Jalur Nalanda”.
Ketika Nalanda berkembang sebagai pusat pendidikan agama Buddha, banyak biksu dari berbagai negara mengunjunginya, termasuk dari Negeri Cina. Mereka menumpang kapal dagang. Pada masa itu, pelayaran dari Cina ke India tak dapat dilakukan sekali jalan. Kapal-kapal layar melaju dengan bantuan angin, karenanya tergantung pada angin monsun. Dari Cina, biasanya kapal berangkat pada bulan November atau Desember saat angin bertiup ke selatan.
Kemudian, kapal-kapal dagang itu akan singgah di pelabuhan-pelabuhan penting untuk berdagang, mengisi perbekalan, dan menunggu angin baik. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya ikut disinggahi. Dari Sriwijaya, kapal akan mengangkat sauh dan berlayar ke utara pada bulan Mei atau Juni tahun berikutnya.
Menjelang akhir abad ketujuh, salah seorang biksu Cina yang pergi ke Nalanda melalui jalur perdagangan laut ini adalah I-Tsing. Ia membuat catatan-catatan perjalanan, juga tentang praktik agama Buddha yang disaksikannya di negeri-negeri lain. Tak lupa, ia membuat periplus tempat-tempat yang disinggahinya.
I-Tsing menulis catatannya sebagai suatu reportase kepada khalayak di negerinya. Ia tidak pernah mengira, sekitar 1.300 tahun kemudian, sebagian kecil saja dari catatan itu sangat berjasa mengungkap pengetahuan tentang suatu negeri di seberang samudra, Sriwijaya.
!break!
Sebagai saksi mata, catatan I-Tsing sangat berharga. Ia pun tinggal cukup lama di Sriwijaya. Persoalannya adalah menentukan lokasi dari tempat-tempat yang disebutnya dengan kata-kata bahasa Cina pada masa itu. Sebuah bundel catatan I-Tsing diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada akhir abad ke-19 oleh J. Takakusu.
Namun, transliterasi yang digunakan adalah Sribhoga. Kelak, Sribhoga dikoreksi menjadi Shih-li-fo-shih. Ketika Sriwijaya telah berhasil diidentifikasi sebagai nama suatu kerajaan di Sumatra, para ahli dengan mudah mengenalinya sebagai Shihlifoshih dalam catatan I-Tsing.
PENGEMBARAAN BIKSU I-TSING
Bulan November 671 pada masa Dinasti Tang, biksu I-Tsing menaiki sebuah kapal dagang asal Persia di pelabuhan Kwang-tung (Kanton). Ia diantarkan oleh handai tolan yang mengira tak akan lagi dapat berjumpa dengannya. Usianya saat itu 37 tahun.
Benak I-Tsing dipenuhi bayangan negeri impian: India. Ia mengeraskan hati untuk mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh sumber inspirasi yang dikaguminya yaitu Fa Hien dan Hsuan Tsang. Meninggalkan Cina, mengembara menuju Nalanda. I-Tsing ingin memperdalam ilmu agama sembari menyalin catatan-catatan tentang ajaran Buddha dari negeri kelahirannya.
Demikianlah, I-Tsing ikut berangkat bersama kapal Persia yang telah melepaskan tali-temali dari tambatan di dermaga dan membuka layarnya. I-Tsing mencatat, setelah 20 hari perjalanan, kapal itu mencapai Kota Foshih di negeri Shihlifoshih. Di sana ia singgah enam bulan, menunggu angin baik untuk berlayar ke utara sambil mempelajari tata bahasa Sanskerta.
Tahun berikutnya (672) I-Tsing berlayar meninggalkan Shihlifoshih dengan tujuan India. Etape pertama yang ditempuhnya adalah ke Moloyu (Melayu) selama 13 hari dengan bantuan raja. Di Moloyu, I-Tsing berdiam selama dua bulan lalu ikut berlayar lagi ke Kacha (Kedah), Lojengkuo (Nikobar), dan akhirnya mencapai pelabuhan Tamralipti (kini Tamluk) di India.
Para ahli mendapat satu kesimpulan pasti. Pada tahun 671 ketika I-Tsing pertama kali menjejakkan kaki, Sriwijaya telah berdiri. Pada tahun 685, I-Tsing kembali menyinggahi Sriwijaya dalam perjalanan pulangnya setelah mempelajari agama Buddha di Nalanda. Ia mencatat, sesampainya di Kedah, tujuan berikutnya adalah Melayu lagi. Namun saat mencatat tentang Melayu kali ini, dibuatnya keterangan tambahan: “Moloyu, yang sekarang Shihlifoshih.”
Kalimat ini dibuat I-Tsing karena ketika ia singgah pertama kali pada 14 tahun sebelumnya, Melayu masih menjadi negeri tersendiri. Dari Melayu baru I-Tsing menuju Sriwijaya lagi. Di sana, ia mulai menyalin naskah-naskah agama Buddha yang diperolehnya di India sembari membuat catatannya sendiri.
Tahun 689, I-Tsing secara tak sengaja terbawa kapal sampai ke Kanton. Alkisah, saat itu ia naik ke kapal dengan maksud menitipkan surat ke tanah air agar dikirimi kue-kue, kertas, dan tinta. Namun, pada saat itu angin baik bertiup. Layar-layar dikembangkan. Kapal berlayar. Entah bagaimana ceritanya, I-Tsing terbawa.
!break!
Pada akhir tahun itu pula I-Tsing segera kembali ke Sriwijaya. Kali ini disertai beberapa asisten. Lalu ia meneruskan penerjemahan naskah-naskah Sanskerta. Dari Sriwijaya, pada 692 ia mengirimkan beberapa naskah salinan ke Cina. Dua bundel catatan perjalanannya juga ia kirimkan. Termasuk yang lebih dari satu milenium kemudian diterjemahkan oleh Takakusu. I-Tsing akhirnya kembali ke Cina pada 695 dan disambut secara khusus oleh ratu.
Menjelang akhir abad ketujuh, Buddhisme di Sriwijaya berkembang pesat. I-Tsing mencatat, “Ibu kota (Sriwijaya) merupakan pusat belajar agama Buddha di antara pulau-pulau di Laut Selatan. Di sini bermukim Sakyakirti yang pernah menjelajahi India untuk belajar.”
Dalam bagian lain I-Tsing menulis, “Di kota Foshih yang dikelilingi benteng, ada lebih dari seribu biksu Buddhis yang sepenuhnya menekuni pengkajian dan amal baik. Dengan saksama mereka periksa dan pelajari semua pokok pemikiran yang mungkin ada, persis seperti di India. Aturan dan upacaranya sama.” I-Tsing membuat suatu saran pula bagi biksu-biksu lain yang ingin belajar ke Nalanda.
“Jika seorang biksu Cina hendak pergi ke barat untuk belajar dan membaca naskah-naskah Buddhisme yang asli, sebaiknya ia tinggal di Foshih selama setahun atau dua tahun dan di sana menerapkan aturan-aturan yang sesuai; baru melanjutkan ke India,” tulisnya.
DAPUNTA HYANG
Apakah itu dia? Saya membatin, melihatnya tergolek di ujung sana saat berusaha melewati celah-celah di antara sejumlah batu prasasti lain. Salah satu teras di Museum Nasional Jakarta ini dipenuhi puluhan prasasti dari masa klasik. Semuanya diletakkan berdekatan.
Akan sulit menemukan prasasti mungil ini kalau tidak mengetahui bentuknya. Dibuat dari sebuah batu sungai, prasasti ini berukuran panjang 43,5 sentimeter, lebar 29 sentimeter, dan tinggi 34 sentimeter. Saya berjongkok dan membaca tulisan pada pelat bertuliskan keterangan yang dipasang di samping prasasti ini. Benar, ini dia.
Prasasti Kedukanbukit, begitu sebutannya. Prasasti ini ditemukan oleh orang Belanda bernama Batenburg, bulan November 1920 di Kampung Kedukanbukit di tepian Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Selintas ada rasa getir. Prasasti ini diletakkan di tepi teras sempit di museum, dekat selokan. Seakan-akan kurang penting. Padahal, inilah prasasti Sriwijaya yang bersifat seperti proklamasi. Mungkin prasasti Sriwijaya terpenting, paling menunggu penyelesaian tafsir.
Dalam prasasti inilah terdapat fakta sejarah yang terjadi 10 tahun setelah I-Tsing meninggalkan Sriwijaya menuju Melayu lalu terus ke India. Prasasti ini mengisahkan suatu perubahan besar di Sriwijaya.
“Pada tanggal 23 April 682, Dapunta Hyang melakukan siddhayatra. Pada tanggal 19 Mei tahun yang sama, ia berangkat dari Minanga dengan membawa 20.000 pasukan dan 200 kotak perbekalan di perahu. Pasukan yang berjalan kaki 1.312 orang. Tiba di Mukha Upang dengan senang hati. Pada tanggal 16 Juni, dengan lega gembira ia mendirikan wanua. Sriwijaya jaya. Siddhayatra sempurna.”
!break!
Demikian isi prasasti Kedukanbukit setelah berhasil dibaca. Para ahli silih-berganti menerbitkan tafsir mengenai nama-nama tempat yang disebutkan dalam prasasti itu, beserta proses telaahnya. Bagaimanapun, setelah berselang 1.300 tahun, penafsiran toponimi menjadi sangat rumit. Nama-nama tempat sudah banyak mengalami perubahan seiring perkembangan bahasa, dialek, dan peradaban.
Berkat tafsir oleh Boechari pada 1985-1986, Mukha Upang dikenali sebagai pulau kecil di pertemuan Sungai Musi dan Sungai Upang—ke arah pesisir timur Sumatra dari arah Palembang. Namun, letak Minanga (tempat Dapunta Hyang bertolak pada 19 Mei 682) tetaplah misterius.
Beberapa penafsiran pernah digagas mengenai lokasi Minanga: Sumatra Barat (Minangkabau), Riau (pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri atau Batang Kuantan), Sumatra Utara (Binanga), Muara Tamban (sekitar muara Sungai Musi), Semenanjung Malaka, bahkan Kamboja (Sungai Mekong). Terlepas dari misteri yang belum terjawab ini, beberapa hal lainnya sudah disepakati sebagai fakta.
Hal pertama, waktu kejadiannya sudah diketahui karena tahun Saka yang aslinya digunakan dalam prasasti itu dapat dikonversi ke tahun Masehi. Hal kedua, kata siddhayatra merupakan penggambaran suatu perjalanan suci untuk mencapai kesempurnaan. Bisa pula ziarah Waisak. Hal ketiga, wanua adalah permukiman.
Para ahli sepakat, prasasti Kedukanbukit memberitakan tiga peristiwa yang dilakukan Dapunta Hyang: perjalanan ziarah, perjalanan berperang lalu berkumpul di Mukha Upang, dan pendirian wanua baru. Jadi, 10 tahun setelah I-Tsing singgah untuk pertama kali, tersebutlah nama Dapunta Hyang sebagai raja Sriwijaya dan perpindahannya dari Minanga ke permukiman baru setelah melakukan ekspedisi militer.
Segera terbit aneka pertanyaan: Apakah Dapunta Hyang adalah raja yang membantu I-Tsing ke Melayu dalam persinggahan pertama? Di mana persisnya kota Foshih saat persinggahan pertama I-Tsing? Apakah Foshih dalam persinggahan pertama I-Tsing sama dengan asal-usul Dapunta Hyang, yakni Minanga?
ARCA BUKIT SIGUNTANG
“Para ahli sepakat, yang disebut oleh I-Tsing pada persinggahan pertama dan kedua memang Sriwijaya,” ujar Nurhadi Rangkuti, ahli arkeologi dari Balai Arkeologi Palembang yang saya temui di ruangan kerjanya. Mungkin saat persinggahan pertama, I-Tsing berada di Minanga. Lalu saat persinggahan kedua, I-Tsing berada di wanua baru yang didirikan Dapunta Hyang.
Nurhadi melanjutkan, “Di mana pun Minanga itu, dalam dugaan saya masih terletak di suatu tempat di sepanjang Sungai Musi.” Perjalanan pertama Dapunta Hyang dari suatu tempat—mungkin masih di Musi—tampaknya terkait dengan keagamaan, peringatan Waisak. Bukan mustahil tujuannya adalah Bukit Siguntang.
!break!
Pada tahun 1920-an, sebuah arca Buddha setinggi 2,77 meter ditemukan di bukit itu dan kini dipajang di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Seni pahatnya berciri Amarawati yang berkembang di India mulai abad ke-2 hingga ke-6. Bahannya diduga berasal dari bukit granit di Pulau Bangka.
Arca Buddha itu tampaknya dibangun sebelum masa prasasti Kedukanbukit. Melalui naskah berjudul The Archaeology of Hindoo Sumatra karya FM Schnitger (Leiden, 1937) saya mengetahui bahwa penemuan di Bukit Siguntang bukan hanya arca Buddha itu.
Arca Kuwera—dewa kemakmuran—juga ditemukan di Bukit Siguntang. Masih ada sejumlah temuan lain: kepala-kepala patung Buddha berbahan perunggu, kepala patung Bodhisattwa tanpa tubuh, potongan bagian bawah Bodhisattwa dan kepalanya yang telah terpisah, arca Sakyamuni utuh, serta dua patung perunggu Lokeswara utuh.
Dalam naskah Schnitger, Bukit Siguntang disebut sebagai “bukit suci” lantaran banyaknya temuan benda keagamaan di sana. Sangat mungkin bukit itu telah digunakan sebagai tempat keagamaan Buddhisme sebelum Dapunta Hyang menerbitkan prasasti Kedukanbukit. Selanjutnya, Bukit Siguntang tampaknya terus digunakan sebagai suatu pusat keagamaan.
“Dalam perjalanan kedua, pelayaran yang dimulai dari Minanga, Dapunta Hyang tampaknya melakukan ekspedisi militer yang dalam dugaan saya untuk menaklukkan tempat-tempat yang tidak patuh di pesisir timur Sumatra di sekitar muara Sungai Musi,” ucap Nurhadi. “Penaklukan-penaklukan itu dilakukan agar kepentingan dagang Sriwijaya dengan dunia luar tidak terganggu. Setelah berhasil, balatentaranya berkumpul di Mukha Upang. Lalu Dapunta Hyang mendirikan permukiman,” lanjutnya lagi.
Nurhadi setuju dengan Boechari bahwa Mukha Upang memang terletak di pertemuan Sungai Musi dan Sungai Upang. Berdasarkan hasil penelitian Nurhadi dan timnya, di sekitar lokasi tersebut terbukti ditemukan sisa-sisa peradaban bahkan sejak masa sebelum Sriwijaya.
Permukiman baru yang didirikan oleh Dapunta Hyang sendiri kemungkinan besar bukanlah di Mukha Upang. “Memang tidak disebutkan dalam prasasti, di mana letaknya. Tapi sepertinya tak jauh dari lokasi ditemukannya prasasti yakni di kawasan Karanganyar di Palembang sekarang,” kata Nurhadi.
“Sudah pasti demikian,” dukung Bambang Budi Utomo, ahli arkeologi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang saya jumpai di kesempatan lain.
“Permukiman baru itu bukanlah di Mukha Upang yang lebih merupakan tempat pertemuan balatentara Sriwijaya setelah berperang. Melainkan di sekitar lokasi penemuan prasasti,” paparnya.
Namun, jika Nurhadi Rangkuti menyatakan kota yang disinggahi I-Tsing itu masih di sekitar Musi, lain halnya Bambang. “Ini pemikiran saya belakangan ini lho, ya. Baru pemikiran,” Bambang membuka jawaban. Menurut dugaannya, Foshih yang dikunjungi I-Tsing pada persinggahan pertama mungkin salah satu dari beberapa pusat niaga di pesisir timur Sumatra.
Pusat-pusat niaga itu silih berganti lebih bersinar dibanding lainnya. “Foshih mungkin sebutan umum untuk pesisir timur Sumatra. Pelabuhan atau lokasinya sendiri bisa berganti-ganti, tergantung mana yang lebih ramai dibanding lainnya pada suatu masa,” ucapnya.
Berarti, Foshih yang disinggahi selama enam bulan oleh I-Tsing dalam persinggahan pertamanya belum dapat kita ketahui letaknya. Yang pasti, tempat itu memang kota Sriwijaya dan merupakan Minanga, permukiman Dapunta Hyang sebelum berpindah ke wanua baru di sekitar Karanganyar, Palembang. Mungkin di wanua baru inilah I-Tsing bermukim bertahun-tahun dalam persinggahannya yang kedua.
!break!
WANUA SRIwIJAYA
Pada suatu siang yang sangat terik, saya mengunjungi Bukit Siguntang. Yang disebut bukit itu sebenarnya hanyalah suatu kawasan yang lebih tinggi beberapa puluh meter saja dibanding dataran kota Palembang di bantaran Musi.
Pada masa silam saat belum ada gedung-gedung tinggi seperti sekarang, bukit kecil ini pasti terlihat sangat jelas dari Sungai Musi. Tak mengherankan jika lokasi ini pernah dijadikan suatu pusat keagamaan.
Di dataran yang merupakan puncak bukit, kini terdapat sejumlah makam yang letaknya berdekatan, membentuk semacam kompleks kecil. Tiap-tiap makam itu dikeramatkan oleh masyarakat. Banyak orang berziarah dan berdoa.
Saya melihat plang penanda nama-nama orang yang dimakamkan di sana—nama-nama Melayu—lengkap dengan “pangkat” mereka di “Sriwijaya”. Tentu saja, sebenarnya tidak terdapat latar belakang ilmiah tentang nama-nama yang terpampang di sana.
Dalam perjalanan turun kembali ke kota dengan menumpang ojek yang bergulir perlahan, saya mendapat kesan. Cukup logis jika permukiman baru Dapunta Hyang diperkirakan berada di kawasan ini. Tempat penemuan prasasti Kedukanbukit tak mungkin saya kenali, namun memang berada di salah satu titik di Karanganyar ini. Kawasan ini merupakan lereng dan kaki Bukit Siguntang di sebelah selatan, berupa dataran cukup luas sampai tepian Musi.
Di salah satu bagian kawasan ini pula didirikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya pada masa pemerintahan Orde Baru. Kompleks ini terdiri atas setidaknya lima bangunan modern yang cukup besar yakni museum, teater, gedung pendopo, menara pandang, dan gedung prasasti. Luas totalnya 20 hektare.
Di mata saya, kompleks ini justru agak mengganggu karena dibangun persis di lokasi di mana terdapat suatu jaringan kanal dan pulau-pulau buatan manusia. Menurut Bambang, “Kanal-kanal di kawasan Karanganyar dibuat pada masa Sriwijaya. Di sekitarnya ditemukan banyak sisa peradaban seperti manik-manik, keramik, struktur fondasi tembok batu bata yang berasal dari masa itu.”
Kanal yang terpanjang mencapai lebih dari tiga kilometer. Mulai dari satu sisi Sungai Musi lalu membelah bentukan seperti tanjung kecil sampai bertemu Musi lagi di sebelah baratnya.
Pertanyaan berikut: mengapa tak ditemukan semacam keraton di sana? Jawabannya akan mengecewakan jika kita membayangkan bekas kerajaan di mana terdapat istana, atau paling tidak reruntuhan bangunannya, yang masih dapat dilihat mata telanjang.
“Pusat Sriwijaya dibangun dengan konsep mendesa. Bahan yang digunakan adalah kayu dan bambu. Tentunya cepat lapuk dan hancur. Hal ini karena lokasinya terletak tak jauh dari tepian Sungai Musi yang kadangkala meluap. Permukiman Sriwijaya di sekitar Karanganyar ini mungkin sekali terdiri dari rumah-rumah panggung, juga rumah-rumah terapung. Hanya tempat-tempat terkait keagamaan di dataran lebih tinggi yang dibangun oleh Sriwijaya dengan bahan batu bata,” papar Bambang panjang lebar.
Saya mengirim surat elektronik kepada Pierre-Yves Manguin, seorang profesor studi Asia Tenggara dari EFEO. Untuk topik yang sama, jawabannya sesuai dugaan saya. Bahkan ia sangat tegas, seakan-akan mengetik dalam kemarahan: “Pencarian suatu ‘ibu kota Sriwijaya’ seperti model di negeri-negeri Eropa atau Cina adalah suatu hal mustahil!”
!break!
TAMAN UNTUK KEBAIKAN
Dua tahun setelah perjalanan suci, ekspedisi penaklukan, serta pendirian permukiman baru Sriwijaya, terbit lagi kabar tentang Dapunta Hyang. Kabar pertama, Dapunta Hyang ternyata merupakan suatu gelar dari raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa. Kabar kedua, pada tahun 684, ia mendirikan sebuah taman.
Beritanya termuat dalam prasasti Talang Tuo yang ditemukan di Desa Gandus di kaki Bukit Siguntang. Letaknya beberapa kilometer saja ke arah barat dari Palembang. Kalimat pertama dari keseluruhan berita yang terdiri dari 14 baris itu kira-kira berbunyi demikian: “Pada tanggal 23 Maret 684, sebuah taman Sri Ksetra didirikan atas perintah Sri Baginda Sri Jayanasa.”
Di dalam taman tersebut ditanam pohon kelapa, pinang, enau, sagu, bambu, labu, dan lain-lain. Pendirian taman itu dimaksudkan oleh Sri Jayanasa untuk “kebaikan semua makhluk.”
Kaitan antara isi prasasti Kedukanbukit dan prasasti Talang Tuo menjadi semakin terang. Setelah mendirikan permukiman (baru), raja Sri Jayanasa mendirikan taman tak jauh dari sana. Bambang menyatakan, taman itu mungkin dimaksudkan sebagai tempat bersantai bagi para pendatang. Mungkin dimaksudkan pula untuk melindungi ketersediaan air bersih.
“Puslitbang Arkenas pernah melakukan penelitian untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang pernah tumbuh. Melalui sampel-sampel serbuk sari di lokasi dekat penemuan prasasti, diketahui bahwa jenis-jenis pohon yang pernah ditanam atas perintah Sri Jayanasa itu semuanya ada. Hanya pohon bambu yang tidak ditemukan,” jelas Bambang.
KUTUKAN KADATUAN
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Februari 686, Sri Jayanasa menerbitkan lagi suatu prasasti. Lokasinya di Kotakapur. Dalam prasasti berbentuk seperti tugu, kali ini Sri Jayanasa menampilkan wajahnya yang lain: wajah mengerikan. Betapa tidak? Prasasti ini memuat kutukan-kutukan.
Inilah prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Prasasti ini mengawali penelitian mendalam tentang Sriwijaya sebelum prasasti Kedukanbukit dan prasasti lainnya ditemukan dan berhasil dibaca isinya.
Sriwijaya bukan nama raja, melainkan kerajaan. Namun, terminologi di dalam prasasti Kotakapur sebenarnya adalah kadatuan.
!break!
“Jika pada saat mana pun di seluruh kadatuan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datuk, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Keluarga mereka akan ditumpas. Dan semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit, membuat gila, melakukan tenung, menggunakan bisa, racun, tuba, serambat, pekasih, pelet dan yang serupa itu, mudah-mudahan tidak berhasil.
Dosa perbuatan yang jahat untuk merusak batu ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah, segera terpukul. Mereka yang membahayakan, yang mendurhaka, yang tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datuk, mereka yang berbuat demikian itu mudah-mudahan dibunuh oleh sumpah ini. Tetapi kebalikannya mereka yang berbakti kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi perbuatan datuk, hendaknya diberkati segala perbuatannya dan sanak keluarganya, berbahagia, sehat, sepi bencana dan berlimpah-limpah rezeki segenap penduduk dusunnya!
Tahun Saka 608 hari pertama bulan terang Waisaka, itulah waktunya sumpah ini dipahat. Pada waktu ini, tentara Sriwijaya berangkat memerangi Bhumi Jawa karena tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.” Demikian terjemahan bebas dari isi prasasti Kotakapur.
Para ahli pada umumnya menafsirkan bahwa Bhumi Jawa yang dimaksud adalah Jawa bagian barat. Di pesisir daerah Karawang memang terdapat kompleks candi Buddhisme yang luas, di daerah Batujaya. Pada masa sebelum Sriwijaya, Karawang termasuk wilayah Kerajaan Hindu Tarumanagara. Akan tetapi, Boechari dalam suatu tafsirnya menduga, Bhumi Jawa sebenarnya nama tempat di daerah Lampung.
TELAGA BATU
Selain Kotakapur terdapat empat prasasti Sriwijaya lain yang mengandung kutukan serupa. Keempatnya adalah Karangberahi (Jambi), Palaspasemah (Lampung), Bungkuk (Lampung), dan Boom Baru (Palembang) yang paling akhir ditemukan pada 1992.
Kesemua prasasti itu menyiratkan ekspansi Sriwijaya ke negeri-negeri lain di sekitarnya dalam kurun waktu yang dekat dengan catatan I-Tsing. Hal ini pun senada dengan kronik Dinasti Tang yang menyebutkan utusan terakhir dari Melayu datang pada 644-645. Setelah itu yang datang adalah utusan-utusan Sriwijaya.
Ancaman-ancaman kutukan serta berita ekspedisi militer juga sinkron dengan prasasti lain yang ditemukan di Palembang—dikenal sebagai prasasti Telaga Batu. Isinya berupa persumpahan agar setia kepada Kadatuan Sriwijaya. Juga memuat banyak nama jabatan, pangkat, dan profesi dalam kadatuan.
Berturut-turut disebutkan status seperti putra raja, menteri, bupati, panglima, tokoh masyarakat, bangsawan, penguasa bawahan, hakim, pemimpin buruh, pengawas pekerja rendah, ahli senjata, tentara, pejabat pengelola, karyawan toko, pengrajin, nakhoda kapal, pedagang, pelayan raja, sampai budak raja.
Diduga, prasasti Telaga Batu terkait dengan rangkaian ekspedisi militer pada masa itu ke berbagai daerah. Ketika balatentara hanya tersisa sedikit di kota, kemungkinan terjadinya pengkhianatan cukup besar.
!break!
Prasasti Telaga Batu sendiri paling indah secara desain walaupun bernuansa menakutkan. Batu andesit merupakan bahan dasarnya sebelum dipahat, diratakan, dan dibentuk sedemikian rupa. Pada sepanjang tepian bagian atas yang dibuat melengkung setengah lingkaran, dipahatkan tujuh bentukan kepala ular yang menonjol ke depan.
Ular yang berada di tengah berukuran lebih besar dibanding lainnya. Sepertinya ular kobra, meskipun pernah ada ahli masa silam yang menduga naga. Prasasti yang lebar dan tingginya lebih dari satu meter itu dibuat agak menyempit hingga ke bagian bawah. Pada bagian tengah, di bawah bentuk tujuh kepala ular, dipahatkan 28 baris tulisan dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno berisi nama-nama pangkat dan persumpahan tadi.
Lalu, pada bagian bawah prasasti dipahatkan semacam pancuran kecil yang mencorong ke depan. Sepertinya tempat mengalirkan air pembasuh—atau bilasan darah yang diteteskan dalam persumpahan, seandainya kita berimajinasi demikian.
JALUR SUTRA LAUT
Kebangkitan Sriwijaya yang cepat itu diawali, dan tak mungkin dilepaskan, dari posisi strategis Selat Malaka dalam jalur perdagangan laut dunia. Sederhananya begini. Jalinan dagang antara bangsa Cina, India, Persia, dan Arab perlahan-lahan menjadi semakin ramai antara abad kelima hingga ketujuh. Kepulauan yang sekarang kita sebut Nusantara terletak di tengah-tengah jalur perdagangan itu.
Kapal dagang bangsa Arab, Persia, dan India berlayar ke timur. Demikian pula kapal-kapal bangsa Cina mulai berlayar ke selatan dan barat. Teknologi maritim yang bergantung kepada angin monsun juga menyebabkan pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya menjadi persinggahan.
Saat kapal-kapal asing merapat ke bandar-bandar Sriwijaya, transaksi terjadi. Ketika lalu lintas komoditas di Selat Malaka semakin sibuk, muncullah motivasi untuk mengambil keuntungan lebih banyak lagi.
Ekspedisi-ekspedisi militer yang dilancarkan Dapunta Hyang bermula dari keinginan agar negeri-negeri lain di sekitarnya mematuhi politik dagang Sriwijaya. Sebagai negeri dagang yang mementingkan keuntungan, cukup terserap akal bagaimana prasasti-prasasti Sriwijaya berbunyi demikian keras. Untuk menjamin komitmen.
Sebagai pelabuhan Nusantara yang paling ramai pada masa itu, produk-produk alam dari wilayah Nusantara lainnya banyak dikapalkan ke Sriwijaya untuk dijual atau ditukar dengan produk-produk dari luar negeri. Selain itu, Sriwijaya memiliki komoditas sendiri, terutama hasil alam. Menurut biksu I-Tsing, komoditas dari Sriwijaya di antaranya adalah pinang, pala, cengkih, dan kapur barus.
Sekitar 10 tahun sebelum akhir abad ketujuh, berkat jasa Dapunta Hyang, Sriwijaya dengan cepat mulai memegang peranan penting dalam perdagangan laut. Sriwijaya mulai mengendalikan Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa bagian barat, dan Selat Karimata hingga tepian Laut Cina Selatan.
“Kelak, raja dari Jawa yakni Dharmawangsa Tguh juga memiliki ambisi untuk mengambil keuntungan dari perdagangan laut. Hal ini ikut menyebabkan hubungan Sriwijaya dengan Mataram menjadi kurang baik bahkan berperang pada akhir abad ke-10,” jelas Ninie Susanti, pengajar arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
!break!
Berita-berita Arab menyebutkan, Sriwijaya kemudian menarik pajak dari kapal-kapal yang lewat atau singgah—sering kali dengan kekerasan. Kelak, politik dagang semacam ini, ditambah peperangan dengan Jawa, akan mengundang keruntuhan Sriwijaya.
Ahli-ahli empat ilmu serumpun—arkeologi, sejarah, epigrafi, dan filologi—sampai sekarang terus berusaha menggali petunjuk untuk melengkapi sejarah kerajaan maritim besar ini. Akan tetapi, ada yang jauh lebih penting lagi.
“Untuk apa bangsa kita mengagung-agungkan kebesaran masa lalu kalau tidak menjadikannya sebagai pijakan dan pedoman ke masa depan?” tanya Bambang Budi Utomo kepada saya. Sebuah pertanyaan retoris.
—
Selain bonus sisipan peta dua sisi, kisah ini adalah bagian pertama dari dua kisah tentang Kadatuan Sriwijaya. Bagian kedua dimuat di National Geographic Indonesia edisi Desember.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR