Lelaki itu muncul begitu saja. Berdiri di sebelah kiri saya lalu mengiringi berjalan perlahan. Rambut, kumis, dan kemeja lengan panjang yang dikenakannya semua berwarna putih. Celananya berwarna abu-abu. Ia menegur, “Anda datang dari mana?”
Handuk berwarna merah muda tergantung di leher dan dadanya. Lelaki yang sekurangnya berumur 60-an tahun ini terkesan lelah. Saya menjawab, “Indonesia.” Ada kilat cahaya di matanya. Seakan-akan ia telah menduga. “Wihara ini dahulu dibangun oleh seorang raja dari Sumatra yang sekarang bagian dari Indonesia,” katanya cepat-cepat, sebelum berlalu untuk mendampingi satu keluarga pelancong lokal. Ia rupanya seorang pemandu wisata.
Saya sedang berada di Nalanda, suatu desa di Negara Bagian Bihar, India. Tepatnya di dalam salah satu bangunan dalam kompleks berdinding bata merah yang sebagian besar bagiannya telah berusia lebih dari satu milenium.
Kompleks ini, Nalanda Mahawihara, dikenal sebagai sisa-sisa dari pusat pendidikan ajaran Buddha yang paling terkenal sejak abad kelima hingga ke-12. Selain wihara tempat saya berdiri, yang ditandai dengan nama Monastery 1, terdapat sembilan bangunan bekas wihara lain. Semua wihara bentuknya seperti bujursangkar kalau dilihat dari atas.
Pada keempat sisi setiap wihara terdapat jajaran kamar untuk para biksu. Lantainya dua tingkat. Pelataran utama terdapat di tengah lantai bawah, tempat berdirinya beberapa bangunan lain—di antaranya untuk pemujaan.
Pelataran bagian tengah ini tidak sama antara satu wihara dengan lainnya. Khusus di Monastery 1 terdapat sumur di satu sudut. Ada juga dua ruangan menyerupai gua, diperkirakan gudang ransum untuk para biksu. Dekat salah satu dinding berdiri struktur persegi yang merupakan caitya (tempat pemujaan) utama. Di balik bentukan itu terdapat panggung kecil persegi dari batu. Di atasnya diletakkan batu-batu, untuk tempat duduk dan berdiskusi antara guru dan murid-murid—suatu kelas terbuka.
Monastery 1 di Nalanda Mahawihara ini merupakan salah satu saksi tertua tentang hubungan resmi antara suatu negeri dalam wilayah Indonesia sekarang dengan negeri lain di seberang lautan. Adalah Balaputradewa—dengan titel maharaja (raja di antara raja-raja)—yang terkait erat dengan pembangunan Monastery 1. Ia raja dari Swarnadwipa, sebutan orang India untuk Sumatra di masa sejarah klasik. Namanya terukir bersamaan dengan pembangunan Monastery 1 ini menjelang pertengahan abad kesembilan.
“Atas permintaan Maharaja Balaputradewa yang termasyhur, raja Swarnadwipa melalui utusannya, saya membangun wihara ini.” Itu bunyi kalimat pertama bagian inti isi prasasti berbahan pelat tembaga ini. Prasasti Nalanda, para ahli menyebutnya, ditemukan di reruntuhan tangga masuk Monastery 1 pada penggalian tahun 1921.
Bagian atas prasasti dihiasi semacam cap resmi dengan ukiran indah. Secara keseluruhan, prasasti ini memang menyerupai piagam. Cendekiawan India bernama Hirananda Sastri yang pertama kali menerbitkan isinya pada 1924. Menurut Sastri, penerbit prasasti Nalanda adalah Raja Devapala dari Kerajaan Pala di Benggala yang waktu itu menguasai wilayah luas di India. Devapala sendiri berkuasa pada 810-850.
!break!
Permintaan Balaputradewa kepada Devapala itu disampaikan melalui seorang utusan bernama Balawarman. Raja Devapala tidak hanya mengabulkan. Ia sekaligus mengalokasikan lima desa untuk kesejahteraan para biksu serta mendukung perawatan wihara atas nama Maharaja Balaputradewa.
Pada baris lain dari prasasti yang kini disimpan—namun tak dipamerkan—di National Museum di New Delhi itu, disebutkan nama-nama keluarga Balaputradewa.
Ia anak dari pasangan Samaragrawira—kelak diidentifikasi sebagai Samaratungga—dan Tara. Nama terakhir ini adalah putri Dharmasetu, raja Sriwijaya sebelumnya. Jadi, Balaputradewa adalah cucu dari raja Sriwijaya Dharmasetu (dari pihak ibu) dan cucu dari raja Sailendra yang dipuji sebagai permata di wangsanya, Rakai Panamkaran. Penyebutan silsilah dalam prasasti Nalanda menyiratkan kebanggaan Balaputradewa akan asal-usulnya, keturunan Wangsa Sailendra.
SRIWIJAYA BUKAN RAJA
Balaputradewa adalah raja Sriwijaya, kerajaan yang pernah berpusat di Sumatra. Isi prasasti Nalanda ini memperkaya pengetahuan tentang Sriwijaya yang baru dikenali lagi namanya di awal abad ke-20. Sebelumnya, selama ratusan tahun Sriwijaya (Crivijaya, Srivijaya) terlupakan.
Sembilan tahun sebelum publikasi Sastri, tepatnya pada 1913, J.H.C. Kern, ahli epigrafi di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (lembaga pengkajian seni dan ilmu pengetahuan Kerajaan Belanda di Batavia), menerbitkan teorinya. Menurut Kern, “Sriwijaya” adalah nama seorang raja.
Kern saat itu mengulas terjemahan isi prasasti Kotakapur. Prasasti yang ditemukan pada 1892 di pesisir barat Pulau Bangka itu menyebutkan kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang berkhianat kepada Sriwijaya. Juga menyebutkan penyerangan Sriwijaya terhadap Jawa.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR