Pada 1918, direktur National Library Bangkok, George Coedes, mengapungkan bantahan yang mengejutkan. Menurutnya, Sriwijaya bukanlah raja melainkan kerajaan. Teori Coedes dalam tulisan berjudul Le Royaume de Crivijaya itu dimuat dalam buletin Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO)—institusi Prancis yang mempelajari masyarakat Asia.
Teori Coedes segera masyhur di kalangan cendekiawan internasional. Memancing penelitian lebih dalam soal apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut Sriwijaya. Kini, hampir seratus tahun setelah Sriwijaya dikenali kembali, namanya dipinjam di mana-mana dan untuk apa saja.
Di suatu tempat kita menyebut Sriwijaya sebagai klub sepak bola, pabrik pupuk, atau maskapai penerbangan. Di tempat lain sebagai nama hotel, perseroan dagang, universitas, toko, restoran, judul film, dan lain sebagainya. Dongeng dan mitos tentang Sriwijaya ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan India. Alhasil, informasi dari kalangan ilmiah harus mengimbanginya.
!break!
JALUR NALANDA
Penelitian untuk mengungkapkan, mengon-firmasi, dan merunutkan sejarah Sriwijaya sangat rumit. Para peneliti harus menelusuri banyak serpihan bukti seperti remah-remah yang tersebar di mana-mana. Ibarat merangkai mozaik dari petunjuk berupa prasasti, sisa-sisa struktur bangunan, arca, serta catatan kuno milik bangsa Cina, India, Arab yang menyebutkan Sriwijaya dengan nama berbeda-beda.
George Coedes dan ahli epigrafi terkemuka Indonesia, Boechari, dalam karya-karya ilmiah mereka pernah menulis, topik ini telah “mengucurkan banyak tinta.” Kiranya demikian. Baru soal kajian dari catatan Bangsa Cina saja sudah menyulitkan.
Menurut ahli sejarah dan filologi Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya, “Nama-nama tempat dan tokoh sejarah yang diberitakan oleh Bangsa Cina pada masa itu ditulis menurut pendengaran penulisnya.” Padahal, ucapan kata-kata dalam bahasa Cina yang digunakan pun beragam sehingga sulit ditafsirkan. Selain itu, antara dinasti Cina yang satu dengan dinasti lain tidak menandai Sriwijaya dengan nama sama.
Bagaimanapun, kerja keras para ahli dari berbagai disiplin ilmu selama seratus tahun lebih telah memberikan kita banyak pengetahuan penting. Pada awal abad ke-20, salah satu sumber penelitian yang sangat membantu adalah apa yang disebut sebagai “Jalur Nalanda”.
Ketika Nalanda berkembang sebagai pusat pendidikan agama Buddha, banyak biksu dari berbagai negara mengunjunginya, termasuk dari Negeri Cina. Mereka menumpang kapal dagang. Pada masa itu, pelayaran dari Cina ke India tak dapat dilakukan sekali jalan. Kapal-kapal layar melaju dengan bantuan angin, karenanya tergantung pada angin monsun. Dari Cina, biasanya kapal berangkat pada bulan November atau Desember saat angin bertiup ke selatan.
Kemudian, kapal-kapal dagang itu akan singgah di pelabuhan-pelabuhan penting untuk berdagang, mengisi perbekalan, dan menunggu angin baik. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya ikut disinggahi. Dari Sriwijaya, kapal akan mengangkat sauh dan berlayar ke utara pada bulan Mei atau Juni tahun berikutnya.
Menjelang akhir abad ketujuh, salah seorang biksu Cina yang pergi ke Nalanda melalui jalur perdagangan laut ini adalah I-Tsing. Ia membuat catatan-catatan perjalanan, juga tentang praktik agama Buddha yang disaksikannya di negeri-negeri lain. Tak lupa, ia membuat periplus tempat-tempat yang disinggahinya.
I-Tsing menulis catatannya sebagai suatu reportase kepada khalayak di negerinya. Ia tidak pernah mengira, sekitar 1.300 tahun kemudian, sebagian kecil saja dari catatan itu sangat berjasa mengungkap pengetahuan tentang suatu negeri di seberang samudra, Sriwijaya.
!break!
Sebagai saksi mata, catatan I-Tsing sangat berharga. Ia pun tinggal cukup lama di Sriwijaya. Persoalannya adalah menentukan lokasi dari tempat-tempat yang disebutnya dengan kata-kata bahasa Cina pada masa itu. Sebuah bundel catatan I-Tsing diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada akhir abad ke-19 oleh J. Takakusu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR