Pada masa silam saat belum ada gedung-gedung tinggi seperti sekarang, bukit kecil ini pasti terlihat sangat jelas dari Sungai Musi. Tak mengherankan jika lokasi ini pernah dijadikan suatu pusat keagamaan.
Di dataran yang merupakan puncak bukit, kini terdapat sejumlah makam yang letaknya berdekatan, membentuk semacam kompleks kecil. Tiap-tiap makam itu dikeramatkan oleh masyarakat. Banyak orang berziarah dan berdoa.
Saya melihat plang penanda nama-nama orang yang dimakamkan di sana—nama-nama Melayu—lengkap dengan “pangkat” mereka di “Sriwijaya”. Tentu saja, sebenarnya tidak terdapat latar belakang ilmiah tentang nama-nama yang terpampang di sana.
Dalam perjalanan turun kembali ke kota dengan menumpang ojek yang bergulir perlahan, saya mendapat kesan. Cukup logis jika permukiman baru Dapunta Hyang diperkirakan berada di kawasan ini. Tempat penemuan prasasti Kedukanbukit tak mungkin saya kenali, namun memang berada di salah satu titik di Karanganyar ini. Kawasan ini merupakan lereng dan kaki Bukit Siguntang di sebelah selatan, berupa dataran cukup luas sampai tepian Musi.
Di salah satu bagian kawasan ini pula didirikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya pada masa pemerintahan Orde Baru. Kompleks ini terdiri atas setidaknya lima bangunan modern yang cukup besar yakni museum, teater, gedung pendopo, menara pandang, dan gedung prasasti. Luas totalnya 20 hektare.
Di mata saya, kompleks ini justru agak mengganggu karena dibangun persis di lokasi di mana terdapat suatu jaringan kanal dan pulau-pulau buatan manusia. Menurut Bambang, “Kanal-kanal di kawasan Karanganyar dibuat pada masa Sriwijaya. Di sekitarnya ditemukan banyak sisa peradaban seperti manik-manik, keramik, struktur fondasi tembok batu bata yang berasal dari masa itu.”
Kanal yang terpanjang mencapai lebih dari tiga kilometer. Mulai dari satu sisi Sungai Musi lalu membelah bentukan seperti tanjung kecil sampai bertemu Musi lagi di sebelah baratnya.
Pertanyaan berikut: mengapa tak ditemukan semacam keraton di sana? Jawabannya akan mengecewakan jika kita membayangkan bekas kerajaan di mana terdapat istana, atau paling tidak reruntuhan bangunannya, yang masih dapat dilihat mata telanjang.
“Pusat Sriwijaya dibangun dengan konsep mendesa. Bahan yang digunakan adalah kayu dan bambu. Tentunya cepat lapuk dan hancur. Hal ini karena lokasinya terletak tak jauh dari tepian Sungai Musi yang kadangkala meluap. Permukiman Sriwijaya di sekitar Karanganyar ini mungkin sekali terdiri dari rumah-rumah panggung, juga rumah-rumah terapung. Hanya tempat-tempat terkait keagamaan di dataran lebih tinggi yang dibangun oleh Sriwijaya dengan bahan batu bata,” papar Bambang panjang lebar.
Saya mengirim surat elektronik kepada Pierre-Yves Manguin, seorang profesor studi Asia Tenggara dari EFEO. Untuk topik yang sama, jawabannya sesuai dugaan saya. Bahkan ia sangat tegas, seakan-akan mengetik dalam kemarahan: “Pencarian suatu ‘ibu kota Sriwijaya’ seperti model di negeri-negeri Eropa atau Cina adalah suatu hal mustahil!”
!break!
TAMAN UNTUK KEBAIKAN
Dua tahun setelah perjalanan suci, ekspedisi penaklukan, serta pendirian permukiman baru Sriwijaya, terbit lagi kabar tentang Dapunta Hyang. Kabar pertama, Dapunta Hyang ternyata merupakan suatu gelar dari raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa. Kabar kedua, pada tahun 684, ia mendirikan sebuah taman.
Beritanya termuat dalam prasasti Talang Tuo yang ditemukan di Desa Gandus di kaki Bukit Siguntang. Letaknya beberapa kilometer saja ke arah barat dari Palembang. Kalimat pertama dari keseluruhan berita yang terdiri dari 14 baris itu kira-kira berbunyi demikian: “Pada tanggal 23 Maret 684, sebuah taman Sri Ksetra didirikan atas perintah Sri Baginda Sri Jayanasa.”
Di dalam taman tersebut ditanam pohon kelapa, pinang, enau, sagu, bambu, labu, dan lain-lain. Pendirian taman itu dimaksudkan oleh Sri Jayanasa untuk “kebaikan semua makhluk.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR