“Anda mengakui adanya genosida?” dia berkata sambil mendesak saya. Dia orang Armenia.Dia terlihat gelisah.
Saya terperanjat. Saya sedang berada dalam penugasan, jawab saya.
“Saya tidak peduli,” katanya. “Anda mengakui atau menentang adanya genosida?”
Dia terus mengulangi pertanyaannya. Dia berkata: Saya bukan hantu.
Pertanyaan tentang kenangan: Jangan sekali-kali melupakannya. Namun, tentu saja kita melupakan masa lalu.Pada akhirnya kita selalu melupakannya.
Di sebuah kota di luar Yerevan, seorang lelaki tua yang sudah bungkuk menjatuhkan dirinya duduk di sebuah sofa. Namanya Khosrov Frangyan. Usianya 105 tahun.Dia salah seorang korban peristiwa pembantaian Armenia yang masih hidup.Segelintir orang tua yang sudah sangat renta ini, dihormati sebagai pahlawan nasional di Armenia.Karena mereka adalah bukti hidup terakhir yang merupakan penghubung ke peristiwa kejahatan yang berlangsung pada 1915 itu.Karena mereka bukti hidup yang dapat menentang para penyangkal.
“Saya baru berusia lima tahun saat orang Turki datang,” kata Frangyan parau. “Mereka mengejar kami sampai ke puncak gunung.”
Dia pun menceritakannya.Hal yang dikisahkannya adalah peristiwa genosida itu. Sekitar 4.700 penduduk desa Armenia yang kini merupakan kawasan Turki bagian selatan, melarikan diri ke gunung di pesisir pantai, yang disebut Musa Dağ. Mereka menggelindingkan bebatuan ke bawah, mengenai para pemburu mereka, orang-orang Turki itu.Mereka bertahan lebih dari 40 hari.Para korban selamat itu melambai-lambaikan kain buatan tangan ke kapal yang melintas di sepanjang pesisir Mediterania. “KRISTEN TERLANTAR—TOLONG SELAMATKAN.” Bagaikan mukjizat, sebuah kapal perang Prancis menyelamatkan mereka dan membawa mereka ke Mesir.Mereka pun hidup dalam pengasingan.
Mata Frangyan yang berwarna cokelat tampak berkaca-kaca dan tepiannya tampak merah. Dia tidak terus berkisah, seperti yang dilakukan oleh sejumlah saksi lainnya, tentang kengerian, tentang eksekusi kilat orang tua mereka di halaman depan, tentang pemerkosaan massal, juga tentang pemenggalan. Tidak. Suaranya meninggi saat mengingat buah-buahan di kampung halamannya yang musnah: “Kebun kami! Kakek saya menanam pohon ara—masing-masing tingginya 50 meter! Saya ingin makan pisang itu sekarang! Saya ingin menyimpan kenangan tentang pisang itu!”
Putri Frangyan yang sudah setengah baya menggelengkan kepalanya.Dia minta maaf.Ayahnya yang sudah tua itu sering linglung, katanya.Padahal ayahnya tidak linglung.Saya pernah mengunjungi kampung halamannya di Provinsi Hatay, Turki.Saya berdiri di dekat desa lamanya di tengah kebun subur yang ditanami oleh pepohonan jeruk tangerine dan lemon. Desa itu sungguh ibarat taman surgawi subtropis. Dan saya pernah memandang dari puncak bukit ke lautan biru yang sama, tempat kapal perang Prancis itu berlabuh.
Satu abad yang lalu, Angkatan Laut Prancis menyelamatkan Frangyan berikut keluarganya. Namun, siapa yang akan menyelamatkan para pelaut Prancis dari kekejaman manusia? Dan siapa yang akan menyelamatkan kita?
!break!Saya berjalan keluar dari Afrika. Saya menelusuri jejak langkah para leluhur kita yang hidup di Zaman Batu.Di setiap tempat yang dikunjungi para perintis ini, penduduknya musnah.Mereka telah lenyap.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR