Matahari memanggang Baluran. Segalanya memuai. Batu-batu gosong di atas tanah yang pecah-pecah. Pepohonan meranggas; rerumputan meregang nyawa. Satwa liar berlomba mereguk air kubangan yang berlumpur. Asap kebakaran hutan mengepul di lereng-lereng pegunungan.
Di sela kehidupan yang sedang di titik nadir, ada harapan untuk kembali bangkit. Kala pepohonan meluruhkan daun, randu alas justru menebar benih. Kapuknya ringan mengambang di udara, memboyong biji-biji mengikuti tiupan angin. Satu-satu butir biji jatuh ke tanah kering.
Di bawah kapuk-kapuk yang mengudara, saya dan fotografer Yunaidi melewati jalan aspal yang menguapkan hawa hangat. Jalan ini sedikit menipu: bermula dengan aspal mulus, lantas berantakan. Para pelancong pasti melewati jalan lurus Batangan-Bekol (lihat peta) yang membelah dua ekosistem: hutan musim dan hutan selalu hijau abadi.
Kami mengendarai sepeda motor tua milik Swiss Winasis, staf pengendali ekosistem hutan Taman Nasional Baluran. “Namanya Wiwin,” Swiss mengisahkan julukan sepeda motor rakitan tahun 1996 itu. Julukan feminin buat tampilan motor yang maskulin.
Kami baru tahu Wiwin bertangki bocor. Bensin mengucur tepat di tengah-tengah paha. Awalnya dingin, lalu panas menyengat. Yunaidi menggelinjang—pahanya memuai. “Saya juga tidak tahu, nggak pernah mengisi bensin penuh,” tutur Swiss. Sialnya, mendekati padang Bekol, Wiwin mogok.
Keringat mengucur: menghidupkan Wiwin. Lalu deg-degan: monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) berarak-arak menuju Bekol. Gerombolan monyet itu merangkak di tepi jalan hingga padang Bekol. Seekor lutung (Trachypithecus cristatus) hanya terdiam di batang yang roboh, mengawasi kawanan monyet.
Saya khawatir rombongan yang dipimpin monyet berjambang lebat itu mengeroyok perbekalan kami. Pegunungan Baluran menepis sinar matahari yang telah condong ke barat. Bara gerah alam padang sedikit meredup.
Detak Padang Liar
Burung cekakak sungai (Todirhamphus chloris) menjerit-jerit. Burung cerewet berparuh tajam ini mengembara dari pohon ke pohon. Gerah telah meruap-ruap di pagi yang masih ranum. Padang Bekol masih memendam bara kemarau.
Pagi akhir pekan itu, sekelompok muda-mudi telah meriung di satu sudut padang Bekol. “Berangkat tadi malam dari Surabaya,” tutur Aswin, seorang di antara rombongan. Pagi adalah waktu tepat buat mengamati satwa liar Baluran.
Sejumlah titik kubangan air di Bekol menjadi tempat paling tepat untuk menanti datangnya satwa liar. Hanya perlu kesabaran yang berkeringat. “Saat kemarau, satwa liar mendekat ke kubangan-kubangan air, termasuk yang di Bekol,” Swiss menerangkan, dengan kesabaran seorang pemandu.
Kala musim hujan, hewan sulit ditemui karena sumber air lebih menyebar. Vegetasi yang rimbun juga menyamarkan kawanan satwa liar. Padang rumput yang lengang, dengan pepohonan yang jarang sejatinya memudahkan pengunjung mengamati satwa liar. Lihatlah: tatapan rusa jawa (Cervus timorensis); pendar bulu merak hijau (Pavo muticus); ayam hutan (Gallus sp) yang mematuki tanah; kerbau liar (Bubalus bubalis) yang tenang berkubang.
Gairah kehidupan liar di pagi hari terlewatkan begitu saja. Para wisatawan muda ini lebih asyik mengobrol dan berpotret ria. Sekeping telepon cerdas berkamera bertengger di pucuk tongkat narsis: jepret, jepret, jepret! Mereka berbaris menatap kamera telepon. Tawa riang pecah. Satu-dua orang berlari-lari kecil di jalanan, kawan-kawannya sibuk memotretnya.
Deretan tengkorak kerbau liar, rusa, dan banteng yang dipajang di tepi sabana menjadi tempat favorit muda-mudi itu. Etalase ini agaknya ingin meneguhkan kejayaan Baluran sebagai padang liar ujung timur Jawa. Namun, di sisi lain juga membersitkan kabar lain: Bekol telah banyak kehilangan.
Akasia duri (Acacia nilotica) telah merombak hamparan rumput di padang seluas 300 hektare ini. Kini rumput rayapan, kapasan, dan otok-otok merajalela. Tumbuhan ini menyingkirkan rumput lamuran yang disukai banteng jawa (Bos javanicus). Pada petak yang berpagar, Balai Taman Nasional berusaha menumbuhkan kembali rumput lamuran.
Sabana dan banteng adalah ikon yang mengibarkan Taman Nasional Baluran. Dan kini, butuh keberuntungan untuk menemui sang banteng. “Sembilan puluh sembilan persen mimpi buruk,” kata Swiss saat tahu kami ingin mengamati banteng jawa. Mau tak mau, kami memupus keinginan berjumpa dengan mamalia besar itu.
Kendati begitu, Bekol tetap menjadi jendela untuk mengintip alam dan satwa liar Baluran. Layar kehidupan tetap berkembang di padang rumput yang datar dan lapang ini. Dalam tatapan para rusa, saya berteduh di bawah pohon pilang (Acacia leucophloea) mengamati kawanan lutung. Semakin saya mendekat, lutung-lutung berlarian ke atas pohon. Jeritannya memecah sabana yang sunyi. Kawanan rusa berlindung dengan menyusup ke dalam tegakan akasia duri.
Dua minibus merambat pelan di jalan berbatu antara Bekol dengan pantai Bama (lihat peta). Kaca mobil yang gelap menyembunyikan para penumpangnya. Mesin yang mendengus lirih mengisyaratkan pendingin udara memompa kesejukan di dalam minibus.
Pelancong domestik lebih suka menjelajahi Bekol dalam mobil yang dingin. Tiada keintiman dengan alam kerontang dan satwa liar yang hidup prihatin. Padahal, tak jauh dari jalan, beberapa lutung turun ke tanah, berdampingan dengan kawanan rusa.
Yunaidi bersama Arief Budiman sempat berjumpa gerombolan ajag (Cuon alpinus) yang sedang berburu rusa dekat kawasan ini. Arief adalah salah satu pengamat lapangan untuk studi ajag yang dilakukan Sandy Nurvianto, peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dia telah menyisir sudut-sudut Baluran mengikuti gerak jelajah ajag. Satwa pemangsa ini bersarang di ceruk-ceruk tebing kapur. “Sebaiknya pagi atau sore hari untuk bisa mengamati ajag,” kisah Arif, “kalau siang terlalu panas, ajag dan semua satwa tidak aktif. Ngeyup, berlindung.” Tetapi, imbuh Arief, perjumpaan dengan anjing hutan itu tanpa jaminan. “Tetap tidak bisa dijadwal,” kelakarnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR