Kami membongkar semua peralatan untuk memasak dan bermalam. Bagasi mobil belakang laksana dapur berjalan. Saya memanjat pohon untuk mengikat tali penopang utama fly sheet lebar yang mampu memayungi hingga delapan velbed. Setiap anggota yang ikut di dalam satu mobil bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan timnya. Dalam IOX tak boleh jadi orang cengeng. Dandosi Matram, salah seorang anggota tim, berkata, “Peserta adalah panitia. Panitia adalah peserta.”
Bersama pecinta off-road seperti Syamsir Alam, Yogi Yogaswara, Toto Widyarto, Ceri Wibisono, Haji Iro, Syahrial Oesman, Teddy Wibowo, dan Dandosi Matram, kami berbincang sembari menunggu senja. Mereka pernah mencetuskan ide gila yang diberi nama Indonesia Off-Road Expedition. Mereka juga telah menempuh perjalanan menyusuri jalur menantang di berbagai pelosok Indonesia menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda.
“Kali pertama penyelenggaraan IOX kami menjelajah Sumatra,” ujar Dandosi. “Ini Pak Frans yang membuat jalur. Dia bikin kita menggerutu. Ini orang agak kurang waras juga. Jalur dengan kemiringan hampir 90 derajat itu nyaris menyurutkan nyali peserta.”
Kemudian, Frans menghampiri kami. Lelaki asal Pekanbaru yang menunggangi mobil buatan Inggris tahun 1956, Land Rover dengan enam roda menanggapinya dengan rendah hati. “Hanya beberapa mobil yang melewati tebing itu menggunakan winch. Saat mendaki, mobil itu seperti ember yang ditarik dengan katrol untuk menimba air,” pungkasnya.
Pada hari kedua perjalanan IOX 2016, semua peserta melewati trek tunggal. Seluruh mobil berpenggerak empat roda akan melewati jalan yang sama dari titik awal di Candi Borobudur menuju Umbulharjo di lereng Gunung Merapi. Sebelum memasuki jalur aliran lahar Merapi, seluruh mobil peserta berhenti. “Ayo, semua peserta berkumpul. Kali ini kita melakukan penanaman bibit pohon dulu,” seru Syamsir.
IOX memang berbeda dengan kegiatan off-road kebanyakan. Tak sekedar euforia perjalanan belaka, mereka juga melakukan kegiatan penanaman pohon, menyinggahi desa kecil, dan panti asuhan. Mereka juga melibatkan perkumpulan kesenian lokal untuk menampilkan seni dan tradisi di setiap garis awal dan akhir rute. Mereka juga mengabarkan kepada masyarakat tentang destinasi yang dilintasi agar kegiatan IOX ini lebih berwawasan dan bermanfaat.
“Mundur dulu, Cek,” aba-aba seorang navigator memaksa pengemudi memasukkan gigi mundur. Ban kirinya hampir saja terjerembab di jalur Jurang Jero di lereng Gunung Merapi. Pengemudi itu bernama Al Aththur Muchtar, atau orang akrab menyapanya Bucek. Dia adalah co-leader dari kegiatan IOX bersama Syamsir Alam yang bertindak sebagai leader. Tanpa menggunakan winch, mereka sukses melibas jalur penuh batu yang membuat mobil miring hingga 30 derajat.
Sementara itu penduduk desa berbondong-bondong menunggu aksi mobil ini melibas setiap tanjakan. Di mobil lain tampak Mahardika Nasution, navigator yang baru pertama kali mengikuti IOX. Dia sedang mengulur sling dari winch. Usai menambatkan sling ditempat yang tepat, Mahardika memberi aba-aba ke Frans.
“Eeeengggggggg....kriiiiiiikkk,” suara putaran mesin bercampur dengan putaran winch. Kombinasi dari putaran ban dan bantuan tenaga dari winch akan memudahkan peserta menyelesaikan setiap medan jalanan. Terbukti, kendaraan itu menyelesaikan trek Jurang Jero di lereng Merapi. Matahari tepat di atas ubun-ubun usai kami menyelesaikan tanjakan.
“Yuk, kita makan siang dulu disini sebelum melanjutkan perjalanan,” ujar Herman Harsoyo di tengah hutan Merapi.
“Ada yang mau ikan sarden sama telur?” ujar Elung. Siang itu, Elung bertindak sebagai koki.
“Lah, bawa telur, Lung?” tanya Herman Harsoyo yang raut wajahnya berubah menjadi serius setelah mendengar Elung menawarkan telur.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR