Akhirnya, Pemerintah Hindia Belanda menitahkan pembangunan gereja berangka beton di tapak Kapel Haantjeskerk. Upacara tatakan batu pertamanya pada 24 September 1913, dan diresmikan pembukaannya pada 1915.
Tengara arsitektur dan menara kembarnya, yang bergaya Neo-Romanik, merupakan karya biro arsitek Cuypers en Hulswit. Sepintas gereja ini mengingatkan saya pada Notre Dame de Paris yang bermenara kembar. Bedanya, Haantjeskerk dihiasi ayam jago, sementara Notre-Dame dihiasi imajinasi monster fantastis.
Kami menapaki anak tangga di menara lonceng dan jam. Dia bertutur bahwa renovasi sebagai bangunan cagar budaya bertipe “A”, sudah sepantasnya tiada yang boleh diubah dari bangunan yang berusia satu abad ini.
Lonceng antik yang ia maksud ternyata memang unik. Saya membaca nama pembuatnya, A.H. Van Bergen Azin. Lonceng itu terhubung dengan jam kuno yang memiliki sistem mekanik bagai sumur katrol. Mesin jam ini tersimpan dalam lemari jati, terlihat laksana lokomotif zaman batu bara yang hitam mengilap.
Jam kuno itu pun bertahan menyintas waktu. Seperti Gereja Ayam yang bertualang dalam ruang dan waktu, melayani kaum pinggiran hingga masyarakat gedongan di pusat Jakarta.
“Gereja bukanlah organisasi eksklusif,” ujar Pendeta Adriano. Peran sosial gereja, ungkapnya, turut membantu masyarakat sekitar, baik program pelayanan kepada orang tak mampu maupun berpartisipasi dalam program lingkungan hidup. Kini, gereja ini tak hanya menjadi persinggahan religi, tetapi juga destinasi historis yang dapat menjadi sumber penelitian lintas bidang. Ia adalah aset sejarah.
Saat menapak keluar dari gereja, saya menyaksikan seekor ayam jago terlihat berputar-putar di langit biru. Ia bertakhta di puncak; sebagai penunjuk arah mata angin dan pengingat iman umatnya.
Sebermula adalah sabda.
Dan, Gereja Ayam pun lahir sebagai sabda Sang Pencipta. Ketika saya memandang ayam jago yang menyilaukan ditingkahi sinar matahari, saya merasa hari-hari di Jakarta akan cerah pula pada akhirnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR