Nationalgeographic.co.id—Pada 23 Juli mendatang diperkirakan sebanyak 70.000 orang yang terdiri atas atlet, pelatih, staf, ofisial, dan media yang akan hadir ke Olimpiade Tokyo. Padahal, pada 8 Juli lalu, pemerintah Jepang mengumumkan keadaan darurat COVID-19 keempat di Tokyo, yang akan diperpanjang hingga akhir Olimpiade di bulan Agustus.
Kasus baru COVID-19 yang muncul dari salah satu pengunjung Olimpiade tidak hanya dapat mengganggu Olimpiade tetapi juga menodai Olimpiade tahun ini di tengah pandemi global yang telah merenggut kurang lebihnya 4 juta jiwa.
"Hal terburuk yang akan terjadi adalah Olimpiade mejadi acara yang sangat menyebar ke seluruh dunia." kata Michael Osterholm, direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular University of Minnesota di laman Time.
Akan tetapi, penyelenggara Olimpiade bekerja mati-matian mencegah hal itu terjadi.
Setelah berkonsultasi dengan pakar penyakit menular dari seluruh dunia, pejabat Tokyo 2020 telah membuat pedoman-pedoman untuk semua yang pergi ke Olimpiade. Seperti pengujian rutin, mandat masker, prosedur jarak sosial, dan menciptakan gelembung isolasi sebanyak mungkin untuk peserta Olimpiade.
Tantanganya terletak pada meminimalkan resiko infeksi dan dampaknya. Tidak hanya pada Olimpiade, tetapi juga publik Jepang dan pada akhirnya dunia ketika para delgasi kembali ke negeri asal.
"Kami harus mengamati dengan cermat bagaimana situasi berkembang sebelum dan selama Olumpiade," kata Hidemasa Nakamura, pejabat Olimpiade Tokyo yang paling terlibat dalam koordinasi dan pelaksanaan langkah-langkah keamanan COVID-19 selama Olimpiade. "Dalam hal itu, saya merasa bahwa Olimpiade dan Paralimpiade adalah mikrokosmos dunia."
Baca Juga: Olimpiade Tokyo Akan Tetap Berjalan Dengan Atau Tanpa COVID-19
Olimpiade Tokyo 2020 ditunda setahun dengan harapan pandemi akan lebih terkendali pada tahun ini. Ketika pemerintah Jepang dan komite Olimpiade terus mengupayakan perhelatan olahraga akbar ini, bahkan ketika infeksi meningkat secara global, sentimen anti-Olimpiade telah mencapai puncaknya di Jepang.
Survei pada Mei silam membuktikan hanya 14 persen orang Jepang yang mengatakan bahwa mereka ingin Olimpiade berjalan sesuai jadwal.
Persatuan Dokter Jepang dan surat kabar Asahi Shimbun, berpendapat bahwa risiko tersebut tidak dapat diterima. Kampanye daring yang menyebut Cancel the Tokyo Olympics telah mengumpulkan hampir 450.000 tanda tangan dari seluruh pelosok negeri. Dorongan itu melampaui keenggaanan yang diungkapkan warga negara tuan rumah sebelum Olimpiade apapun.
Kecemasan publik dan mandat medis berbenturan dengan tekanan ekonomi dan kekuatan politik. Tampaknya, pada saat ini, situasi berpihak pada kepentingan keuangan dan politik untuk melanjutkan Olimpiade.
"Pemerintah Jepang telah mengatakan bahwa mereka sedang mencari cara untuk menyeimbangkan ekonomi dan penegakan penanggulangan COVID-19, tetapi saya pikir prioritasnya adalah ekonomi," tutur Kenji Utsonomiya, mantan ketua Federasi Asosiasi Pengacara Jepang sekaligus pendiri kampanye Cancel the Tokyo Olympics.
Baca Juga: Vaksinasi Jepang Baru Satu Persen, Bagaimana Nasib Olimpiade Tokyo?
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Source | : | Time |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR