Nationalgeographic.co.id—Safron atau kuma-kuma banyak digunakan sejak zaman dahulu kala. Ia digunakan sebagai bumbu penyedap masakan, obat, pewarna, juga parfum. Bahkan di Mesir, Cleopatra mencampurkan safron ke dalam bak mandi agar lebih bergairah saat bercinta. Meskipun safron kian populer akan khasiatnya, safron kini menghadapi ancaman yang beresiko membuatnya punah untuk selama-lamanya.
Safron pun terkenal karena fungsinya sebagai bumbu dalam membuat hidangan. Beberapa hidangan populer yang menggunakan safron dalam persiapannya termasuk paella Spanyol, nasi permata Iran dan khoresh, dan biryani India.
Di Cina dan India, safron juga digunakan sebagai pewarna kain. Oleh bangsa romawi, safron digunakan sebagai pengharum ruangan. Pada abad pertengahan, para biksu mencampur safron dan putih telur, untuk menghasilkan lapisan kuning yang dapat berfungsi sebagai pengganti emas.
Safron di masa lalu, dinilai sebagai obat yang dapat mengobati segala macam penyakit. Alexander the Great begiatu dia usai berperang, dia akan mandi dengan air hangat yang telah dipadukan dengan safron. Dia percaya bahwa air safron berkhasiat untuk menyembuhkan lukanya.
Pada abad pertengahan, safron bahkan menjadi obat yang diresepkan untuk mengobati penyakit pes. Sampai saat ini, safron kersap digunakan untuk mengobati penyakit seperti asma, depresi, dan disfungsi seksual.
Safron diperoleh dari bunga Crocus sativa (umumnya dikenal sebagai safron crocus). Meskipun asal-usulnya belum jelas, kebanyakan menceritakan safron pertama kali di Iran, Mesopotamia, atau Yunani. Dari wilayah tersebut kemudian menyebar ke wilayah lain di dunia.
Baca Juga: Takdir Nusantara, Dari Jelajah Rempah Sampai Jelajah Emas Hitam
Ada sebuah kisah tentang bagaimana safron tiba di Kashmir. Kisah tersebut mengklaim bahwa safron diperkenalkan ke wilayah Kashmir, oleh Persia, pada 500 SM dalam upaya memperluas pasar.
Sumber lain menyebutkan safron dibawa oleh dua orang sufi pada abad ke-12 bernama Khawaja Masood Wali dan Sheikh Sharifudin Wali. Mereka menghadiahkan umbi safron kepada seorang kepala suku di Kashmir, karena telah menyembuhkan mereka dari penyakit.
Safron adalah rempah termahal di dunia, ia bisa dihargai 35 ribu rupiah sampai 260 ribu rupiah per gram. Banyak para pembeli yang tertarik dengan safron Afghanistan karena dinilai bentuknya lebih cantik dan menarik. Tingginya harga safron disebabkan oleh sulitnya mendapatkan tanaman tersebut. Karena dinilai sebagai tanaman yang berharga, safron pun banyak dipalsukan.
Baca Juga: Jalur Rempah Utara-Selatan: Simpul Filipina, Tiongkok, dan Nusantara
Pemalsuan safron kini menjadi masalah, tetapi bukan permasalahan yang besar. Safron crocus tumbuh subur di iklim yang relatif cerah dan kering. Namun, perubahan iklim yang kini sedang terjadi memberikan dampak negatif pada pertumbuhannya. Dilaporkan bahwa di Kashmir, tanaman safron mengalami kerusakan yang disebabkan oleh curah hujan ekstrem, juga kekeringan yang berlebihan, dalam beberapa tahun terakhir.
Hal tersebut mengakibatkan para petani yang mengalami gagal panen. Seorang petani safron Kashmir melaporkan bahwa, selama tahun 1990-an, panennya mencapai 400 kg. Namun, selama tahun 2000-an jumlah panennya selalu berkurang, bahkan kurang dari setengahnya. Terlebih pada 2016-2018, mereka hanya dapat memanen safron sejumlah 7-15 kg sekali panen.
Karena perubahan lingkungan , khususnya kurangnya hujan, budidaya safron di Kashmir telah mengalami dampak negatif seperti itu. Upaya dan dana telah dihabiskan untuk memastikan ladang safron diairi, meskipun tampaknya tidak ada gunanya. Beberapa menyalahkan mafia tanah, yang lain pada ketidakefektifan departemen pemerintah yang terlibat dalam proyek, dan yang lain lagi pada petani itu sendiri, yang mengandalkan metode tradisional budidaya kunyit, dan tidak menyadari perubahan kondisi, dan metode untuk melawannya.
Baca Juga: Gara-gara Rempah: Pencurian Peta Hingga Ekspedisi Compagnie van Verre
Perubahan iklim yang terjadi mengakibatkan tingkat panen tanaman safron menjadi berkurang. Walaupun warga mengeluarkan dana dan upaya yang lebih untuk mengairi ladang, kekeringan yang terjadi membuat hal itu menjadi seakan percuma. Beberapa orang menyalahkan mafia tanah dan pemerintah setempat. Beberapa lainnya menyalahkan petani yang dinilai tidak berkembang, dan terpaku pada metode budi daya safron secara tradisional.
Menurut PBB, 85% safron di dunia diproduksi di Iran. Jika di negara tersebut terkena dampak perubahan iklim, seperti yang dialami di Kashmir, suatu hari nanti safron mungkin akan menjadi langka, bahkan hilang untuk selamanya dari muka bumi.
Baca Juga: Kisah Pelacur dan Pelacuran Pada Zaman Perdagangan Jalur Rempah
Source | : | ancient-origins.net |
Penulis | : | Fadhil Ramadhan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR