Nationalgeographic.co.id - Tak semua generasi yang hidup pada masa kini pernah melihat harimau jawa (Panthera tigris sondaica). Satwa ini merupakan kucing besar tangguh dan pernah menguasai kawasan hutan dan lereng gunung di Pulau Jawa.
Jangankan harimau, habitat hutan di Pulau Jawa sudah sangat menipis sebagai habitat satwa liar. Kini kita hanya bisa menyaksikannya lewat foto dan lukisan masa lalu, yang mendokumentasikan betapa malangnya kucing raksasa itu ketika bertemu dengan manusia hingga mengakibatkannya punah.
Salah satu pelaku dokumentasi keberadaan harimau jawa yang pernah berjaya adalah sang maestro Raden Saleh Sjarif Boestaman. Dia memang dikenal dengan gaya lukis nuansa romantikisme seperti lukisan peristiwa penangkapan Dipanegara, dan potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.J van den Bosch.
Mikke Susanto, Ketua Program Studi Tata Kelola Seni FSR ISI Yogyakarta, memaparkan bagaimana Raden Saleh melukiskan harimau semasa hidupnya. Ia menerangkannya dalam Bincang Redaksi ke-30: Misteri Harimau di Lukisan Raden Saleh, Kamis (29/07/2021), yang merupakan peringatan Hari Harimau Sedunia. Acara ini digelar atas kerja sama National Geographic Indonesia dan Program Studi S-1 Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
"Sederhananya, saya membayangkan Raden Saleh dirinya kompleks, tetapi dia bisa menjadi model profesi yang sekarang banyak digeluti oleh kita-kita ini," terang Mikke. "Hidupnya dimanfaatkan untuk bidang seni rupa, fashion, botani, antropologi, arsitektur, sastra/literasi."
Pergulatan Raden Saleh melukis satwa, khususnya harimau, sudah digandrunginya sejak usia belasan. Hal itu bisa dibuktikan dengan beberapa lukisan latihan harimaunya, yang ditampilkan dengan gaya modern Barat. Gambar-gambar harimau itu juga menjadi kerja dokumentatif, atau pencatatan yang biasa dilakukan oleh pelukis alam abad ke-19.
Baca Juga: Catatan Jurnalistik Seorang Ningrat Jawa Kala Bertamu di Rumah Raden Saleh
"Jadi pelukis pada masa itu, itu kebanyakan diimpor oleh Belanda untuk datang ke Indonesia, dan bekerja untuk mendokumentasikan keadaan di Jawa, atau Nusantara umumnya," papar Mikke.
Kemampuan Raden Saleh melukis, khususnya satwa, dilirik oleh direktur Museum Zoologi di Buitenzorg (Bogor) Caspar Reinwardt. Reinwardt merekomendasikannya untuk mendapatkan ikatan dinas di departemennya. Lambat laun, usahanya itu mengantarkannya untuk ke Eropa.
Selama di Eropa, pendalaman Raden Saleh akan gaya Barat makin kuat. Tetapi, dia juga tidak melepaskan identitasnya sebagai orang Nusantara, sehingga menambahkan unsur daerah asalnya di dalam lukisan.
Buktinya bisa ditunjukkan dalam lukisan harimaunya, papar Mikke, dengan latarnya yang bernuansa tropis, seperti gunung vulkanik, padang rumput kering, dan rimba. Mikke juga memahami beberapa lukisan harimau Raden Saleh adalah bentuk keperihatinan atas bangsanya yang seperti 'diburu dari segala arah'.
Baca Juga: Sering Jadi Sasaran Pemburu, Bagaimana Jadinya Jika Seluruh Harimau Punah?
Lewat lukisan, Raden Saleh juga mendokumentasikan bagaimana manusia berinteraksi dengan harimau. Bahwa, masyarakat di Pulau Jawa kerap kali memburu satwa tersebut, lengkap dengan gambaran siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban.
Mikke menyebut, apa yang dilukiskan itu memang menggambarkan kondisi masyarakat pada masa itu yang sering berselisih dengan manusia.
Tradisi di Pulau Jawa tempo dulu misalnya, dikenal dengan rampogan, dimana harimau dibantai atau ditangkap untuk diadu dengan satwa lain. Kondisi ini menyebabkan jumlah harimau berkurang, hingga akhirnya dilarang pada awal abad ke-20.
Baca Juga: Lima Kucing Terbesar yang Hidup di Alam Liar: Harimau hingga Puma
"Saya kira teman-teman sudah mulai merasakan malang betul nasib harimau di masa lalu," papar Mikke saat mepresentasikan beberapa lukisan kuno akan harimau sebelum dan semasa Raden Saleh berkarya.
"Ini jadi riuh. Saya tampilkan sebagai ingatan kita akan harimau-harimau yang menyesakkan, yang harus kita peringati untuk memori bersama," tambahnya. "Tergambar betapa bangganya orang-orang itu. Betapa susahnya memperingatkan mereka untuk tidak seperti ini (memburu harimau). Ini mengakibatkannya nasib harimau."
Mikke juga melihat bahwa lukisan harimau adalah gambaran emosi Raden Saleh sendiri. Emosi itu bisa tertuang dalam betapa detailnya lukisan itu dibuat.
Baca Juga: Rusaknya Habitat Hingga Perburuan Liar Jadi Tantangan Bagi Kelestarian Harimau
Sebenarnya, tidak hanya lewat harimau, Raden Saleh juga menggambarkan emosinya lewat singa. Lukisan singa itu diyakini adalah cara menumpahkan lukisan yang paling kuat di antara yang lainnya, termasuk harimau.
"Sejumlah alasannya bisa dilihat di kemampuan teknik Antara Hidup dan Mati yang sekarang ada di Museum Istana Kepresidenan Bogor," ujar Mikke.
"Detail rumput, detail pakaian, ataupun amarah singa dan kuda itu kuat sekali. Ini tidak bisa dikerjakan asal-asalan oleh pelukis, dan menjadi puncaknya ketika dia sampai di Eropa lalu kembali ke Indonesia."
Baca Juga: Misteri Harimau-harimau di Lukisan Raden Saleh Syarif Bustaman
Penggambaran pemahamannya akan hidup, Raden Saleh menuangnya lewat lukisan Kebakaran Padang Rumput atau Forest Fire. Lewat lukisan itu, Mikke menerangkan, Raden Saleh memahami bahwa kehidupan ini berjalan sangat ganas. "Harimau digambarkan sebagai korban."
"Hakikat pelukis bukan untuk melukis binatang dalam lukisan ini, sebenarnya adalah keganasan untuk memperlihatkan keganasan alam yang memasukkan hawa panas dalam warna lukisan," ujarnya. "Itu berhasil dengan baik, kita bisa lihat lagi soal ini hewan apa atau dimana, tetapi ini [yang terpenting] adalah kondisi alam."
Terakhir, Mikke menyimpulkan bahwa Raden Saleh lewat karya-karya terkait satwa yang bahkan dikenal hingga ke Eropa lewat ragam pameran, memiliki sisi universal. Lukisan itu dinilai berisi tema-tema kemanusiaan dan kebinatangan.
"Pameran ini menunjukkan sisi universal, betapa lukisan bukan saja perkara estetika, tetapi juga persoalan lain: pertarungan antara kemanusiaan dan modernitas," pungkasnya.
Baca Juga: Alam, Manusia, dan Masa Depan dari Lukisan Raden Saleh
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR