Tersusun dari ribuan pulau, Indonesia dilingkari jalur gempa paling aktif di dunia yaitu, Cincin Api Pasifik. Di negeri ini terjadi tumbukan tiga lempeng benua yaitu Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah Nusantara selalu berada dalam bencana akibat letusan gunung api, gempa, dan tsunami.
Nyatanya, di atas Bumi yang paling bergolak ini, masyarakat tumbuh dan berkembang selama ribuan tahun. Gunung api memang bukan hanya soal geologi dan geofisika, melainkan juga masalah budaya. Berkali-kali letusan gunung api merenggut kehidupan. Namun masyarakat selalu kembali dalam naungan Kerajaan Gunung Api, karena di balik kehancuran yang diakibatkannya , gunung api menyimpan berkah yang menghidupi.
Debu akibat letusannya menyuburkan tanah dan merajut Nusantara sebagai untaian zamrud yang berjajar sepanjang Katulistiwa. Jalur Cincin Api juga berarti potensi energi tenaga panas bumi yang berlimpah, kekayaan jenis dan sebaran mineral yang terendapkan, serta kekayaan hayati yang khas.
Kompas berupaya menguak berbagai fenomena tersebut dengan melakukan perjalanan jurnalistik yang dirajut dalam “Ekspedisi Cincin Api (Ring of Fire)” selama setahun penuh (September 2011 – Oktober 2012). Tim ekspedisi Kompas mendaki gunung-gunung api teraktif di dunia dan menelusuri jejak-jejak tsunami di masa lalu dalam upaya menyingkap kompleksitas fenomena Cincin Api.
Tim ekspedisi bertolak dari Tambora, mengarungi kaldera Toba, mendaki puncak-puncak berapi lainnya yaitu Sinabung dan Sibayak. Dilanjutkan ke Krakatau, Agung, Batur, Rinjani, Semeru- Bromo-Penanggungan, Merapi-Sundoro-Sumbing, Guntur-Galunggung-Patahan Lembang.
Melangkah ke Sesar Sumatra Gunung Kerinci-Danau Tujuh, mendengarkan hikayat Smong dan ancaman tsunami ke depan di Simeulue-Aceh-Padang. Dilanjutkan dengan melacak kehidupan purba yang terkubur di Gunung Egon-Anak Ranakah, Rokatenda, Cekungan Soa di Flores.
Menyusuri zona bahaya di kepulauan rempah gunung Gamalama-Ternate, Gunung Kie Besi-Pulau Makian, Gunung Banda Api-Pulau Banda, hingga melacakjejak gempa di pulau Seram dan Pulau Ambon, hingga ekspedisi berakhir di Sulawesi.
Tim tersebut melibatkan para ahli seperti geologi, ahli botani, vulkanolog, tim Litbang Kompas, fotografer, juru kamera teve, dan desainer infografis yang bersama-sama mendaki lebih dari 25 gunung, dan menjejakkan kaki di empat pulau terbesar di Indonesia.
“Waktu setahun sangatlah terbatas, namun dalam tekanan waktu yang terbatas itu tim ekspedisi Kompas sudah menagkap, sekalipun sangat kecil, misteri Cincin Api yang terpantul lepas pada berbagai sosok gunung api yang sungguh menakjubkan,” tutur Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bangun.
Kisah ekspedisi ini kemudian melahirkan model jurnalistik baru, sebuah model “Beyond Journalism” yaitu karya jurnalistik yang melampaui jurnalisme, karena tidak sekedar mengungkap peristiwa, tetapi mampu mengungkap relasi manusia dulu, kini, dan masa depan dengan lingkungannya, dengan bumi di mana dia tinggal.
Ketua tim Ekspedisi Cincin Api, yang juga wartawan Kompas, Ahmad Arief mengharapkan, “semoga isu kebencanaan semakin banyak ditulis media. Tak hanya memberi takan bencana saat kejadian, tetapi media lebih fokus pada faktor pengurangan resiko bencana.”
Ahmad Arief menambahkan, “Bagi ilmuwan dan peneliti, banyak isu kebencanaan di berbagai daerah yang belum diteliti. Negeri ini memiliki sejarah bencana yang panjang. Semoga ekspedisi ini menjadi pintu awal untuk melakukan penelitian-penelitian berikutnya.”
Semua kekayaan informasi hasil perjalanan tim ini disajikan dalam berbagai bentuk media (multiplatform) yaitu media cetak (harian Kompas), media online (Kompas.com), dan media elektronik (KompasTV). Tidak hanya disajikan dalam beragam bentuk media, hasil tim ekspedisi juga didokumentasikan dalam bentuk buku untuk memperkuat kesadaran masyarakat akan mitigasi bencana, tentang hidup berdampingan dengan alam yang dapat menjadi menyenangkan karena kekayaan dan pesona keindahannya, namun sekaligus berpotensi menjadi sumber bencana.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR