Suatu hari Minggu terakhir pada Februari 1921, pojokan antara Gang Melaka dan Kalibesar West di Batavia—kini Jl. Kalibesar Barat—tampak tidak seperti biasanya. Seorang gadis bernama Joyce Murray Stewart melakukan peletakan batu pertama di sebidang tanah untuk pembangunan gedung berlantai tiga. Dia merupakan anak perempuan pimpinan perwakilan Chartered Bank of India, Australia, dan Cina di kota ini.
Kantor perwakilan Chartered Bank di Batavia dibuka sejak 1863 yang menjadi bank berkebangsaan Inggris pertama di Hindia Belanda. Pada 1921 arsitek yang ditunjuk untuk pembangunan bank kebangsaan Inggris ini adalah arsitek Amsterdam, Eduard Gerard Hendrik Hubert Cuypers—keponakan dari Piere Cuypers arsitek sohor Belanda.
Tidak diketahui pasti kapan bangunan dengan luas lebih dari 2.000 meter persegi ini selesai dibangun. Namun, desain arsitektur karya E.G.H.H. Cuypers telah menampilkan gaya neoklasik. Kubah merahnya menjadi penanda kawasan Kalibesar, hingga hari ini. Beranda yang memanjang dan mirip lorong dihiasi desain lengkung dan pilar-pilar khas neoklasik. Tampaknya gaya yang awalnya berkembang pada kekaisaran Romawi itu digunakan juga oleh Inggris di India—dan juga Hindia Belanda.
Berbagai bank yang berkantor di kawasan Batavia umumnya menunjukkan kemewahan seni kaca patri sebagai pemikat estetis. Kaca patri telah dikenal di Eropa sejak ratusan tahun lalu, namun pengaruhnya baru dinikmati secara luas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Terdapat pesona lima kaca patri yang membujur di salah satu bagian dinding selatan gedung bank ini. Kaca patri tersebut hasil karya“J. Sabelis & Co.” di Haarlem, Belanda. Perusahaan kaca patri itu didirikan oleh seniman J. Sabelis pada 1889, namun bangkrut pada 1926. Si pemilik wafat sebelum perusahaannya bangkrut, yaitu pada 1909. Jadi kemungkinan yang mengerjakan pesanan kaca patri milik kantor perwakilan Chartered Bank di Batavia itu bukan J.Sabelis, melainkan para seniman penerusnya.
Bagai cahaya yang menari-nari, kaca patri tersebut menuturkan kisah kuli-kuli perkebunan pada masa Hindia Belanda. Sosok lelaki yang digambarkan selalu mengenakan penutup kepala mirip sorban, bertelanjang dada, dan berbusana bawahan dari lilitan kain. Sementara sosok perempuannya digambarkan berbusana mirip dewi-dewi Yunani. Tampaknya sang seniman mencoba menerjemahkan eksotisme dunia timur.
Semuanya digambarkan dengan wajah tertunduk, tanpa gores keceriaan: lelaki yang sedang menenteng daun-daun tembakau, perempuan yang sedang menumbuk padi dengan alu dan lumpang, lelaki yang mengangkut tebu, perempuan pemetik teh, dan lelaki yang menenteng ember berisi getah karet.
Pasca Cultuurstlesel yang dihapus pada 1870—satu dasawarsa setelah novel Max Havelaar terbit—pemerintah kolonial mulai mengeluarkan aturan pertanahan dan memberikan keleluasaan pemodal asing untuk membuka bisnisnya di Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 pembukaan perkebunan meluas di pedalaman Jawa dan Sumatra.
Begitu juga pembangunan kantor-kantor bank dan asuransi kian menjamur. Permintaan komoditi perkebunan pun meningkat pesat sebelum depresi ekonomi. Permintaan tenaga kerja kasar di sejumlah perkebunan baru juga bertumbuh. Mungkin inilah masa emigrasi terbesar dari Jawa ke Sumatra dan pulau lainnya sebelum tamatnya Hindia Belanda. Masyarakat desa di pedalaman Jawa diiming-imingi kehidupan yang lebih baik dengan bekerja di tanah seberang.
Kepemilikan gedung tua ini telah berpindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia sejak 1964. Pemikiran “Nekolim” (neo-kolonialisme dan imperealisme) yang digagas Soekarno menyebabkan semua perusahaan milik Inggris di Indonesia telah dinasionalisasikan. Chartered Bank pun menjelma menjadi Bank Umum Negara, yang beberapa tahun kemudian menjadi Bank Bumi Daya. Kini, gedung megah yang menjadi aset Bank Mandiri ini menyurut pamornya lantaran dibiarkan kosong.
Meskipun telah berganti kepemilikan dan peradaban, kaca-kaca patri nan memesona itu tetap menorehkan hikayat masa lalu negeri ini. Suatu kisah tatkala perkebunan-perkebunan swasta mengubah wajah dan peradaban kota, juga derita diaspora para pemuda dan pemudi desa di tanah rantauan.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR