Tengkuluk misalnya, penutup kepala perempuan yang berasal dari Sumatera Barat dan Jambi. Penutup kepala ini di Jambi memiliki tiga jenis berdasarkan kegunaannya, untuk sehari-hari, kegiatan seni dan budaya, dan upacara adat.
Tengkuluk Jambi juga mengidentifikasi status seorang perempuan lewat juntaiannya. Apabila juntaiannya berada di sisi kiri, menandakan perempuan itu belum menikah, dan sebaliknya bila berada di sisi kanan.
Sedangkan tengkuluk di budaya Minangkabau, lebih disebut sebagai tikuluak. Jumlah jenisnya lebih beragam dari segi bentuk dan daerahnya, contohnya tengkuluk yang memiliki sisi tanduk yang tumpul dari Lima Puluh Kota.Ada pula yang berbentuk sederhana dan ada yang menyerupai cerobong yang bisa digunakan secara ikat dari Tanah Datar dan Solok.
Bahan yang menjadi kain tengkuluk bisa dari kain tenun, kain bugis, telekung, kain ludru, kain mukena, kain batik, hingga pasmina.
"Menurut pandangan kami, sebenarnya menggambarkan kedaulatan perempuan di Minangkabau dan hiasan kepala perempuan," ujar Yefri Heriani yang memperkenalkan tikuluak di forum itu.
"Tingkuluak melambangkan kekuatan hati, mempunyai kemauan yang tinggi untuk mencapai yang baik, gigih tidak pernah berputus asa, berani, ramah tamah dan tidak ingin melukai hati, keseimbangan, bersifat adil sesuai kebutuhan."
Sedangkan di Jambi, tengkuluk masih dipakai dan diwajibkan oleh pemerintah daerah sejak 2010 untuk digunakan dalam instansi pemerintahan.
Baca Juga: Apa Kabar, Dewi-dewi Nusantara Penjaga Kemakmuran Alam Semesta?
Bagi perempuan adat Simalungun di Sumatera Utara, Bulang sebagai penutup kepala perempuan juga memiliki jenis berdasarkan kegunaannya: bulang sulappei untuk adat atau pesta, bulang siteget untuk pengantin, bulang gijang untuk yang berusia tua, dan bulang salalu untuk dipakai sehari-hari. Semua bisa dibedakan dengan cara melipatnya.
Penutup kepala ini hanya dikhususkan bagi perempuan yang sudah menikah. Bulang akan diberikan oleh mertua kepada menantunya sebagai tanda memasuki keluarga baru.
Bulang berbahan kain tenun yang panjangnya 1,5 meter dan lebarnya 30 sentimeter, dengan rumbai sepanjang 18 sentimeter. Yang membuatnya berbeda dari semua jenis. Dalam coraknya terdapat simbol alat kelamin perempuan dan laki-laki di sisi yang berbeda.
Perempuan yang menggunakan bulang harus menonjolkan simbol perempuan itu, tetapi bagian simbol laki-laki harus dimasukkan atau disembunyikan.
"Artinya secara filosofi, perempuan Simalungun itu mengangkat harga diri suaminya, sehingga kalau ada kekurangan itu harus ditutupi," ujar Anita Martha Hutagalung yang memperkenalkan bulang. "Kendalanya sekarang tergerus oleh zaman, perempuan zaman sekarang mulai berkurang yang mau memakai."
Baca Juga: Walau Rentan Ketika Masa Pagebluk, Perempuan Memiliki Manuver Juang
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR